26

*****

Tepat pukul tujuh malam aku baru keluar dari sanggar. Bisa dibilang terlalu malam sebenarnya karena kelasku dimulai dari pukul empat sore dan selesai pukul lima lebih lima belas menit tadi. Sedangkan Ranu sendiri sudah menungguku sejak pukul enam tadi saat Yogi menemuiku di dalam ruangan, tapi aku memintanya untuk menunggu dulu karena aku masih harus menemui Bu Lidya yang baru tiba sehabis Maghrib yang katanya ada yang ingin dibicarakan denganku.

Aku pikir Bu Lidya akan membahas tentang acara Festival Yoga Indonesia di Jogja nanti dan aku salah satu yang akan ikut pergi, tapi ternyata aku salah, yang dikatakan Bu Lidya ternyata aku diminta untuk mengisi kelas besok hingga seminggu ke depan karena Vina, selaku instruktur yang mengisi kelas tidak bisa berangkat karena ada urusan keluarga.

Yah, mau tidak mau aku harus menggantikan Vina, karena toh aku juga sedang kosong kan. Tapi aku tak bisa menampik kalau aku juga sangat mengharapkan bisa ikut ke Jogja nanti, meskipun harus mengganti uang tiket mahal juga nggak masalah, asal bisa pergi. Tapi mengingat aku yang masih baru di sini, sepertinya aku harus merasa legowo jika nanti bukan aku yang akan pergi. Karena bagaimanapun toh aku baru di sini.

"Loh, belum pulang, Ru?" sapa Yogi begitu aku hendak membuka pintu. Dia sendiri baru keluar dari dalam kelas yang ada di belakang ruangan administrasi.

FYI, ruangan di sanggar ini ada dua, satu indoor dan satu outdoor.

Yang indoor seperti yang kukatakan tadi ada persis di belakang ruangan administrasi di mana aku berada sekarang, dan yang outdoor agak lebih ke dalam sedikit di mana ada taman, air mancur dan gazebo.

Pokoknya saat masuk ke dalam sana sudah seperti di surga rasanya karena tamannya memang dirancang khusus untuk yoga di mana nanti seolah kita menyatu dengan alam dengan air mancur sebagai musik relaksasinya.

Sedangkan yang indoor meskipun bisa digunakan untuk yoga biasa seperti Hatta Yoga, Vinyasa yoga, Ashtanga yoga atau Prenatal yoga yang khusus untuk ibu hamil itu, tapi seringnya di sini digunakan untuk Hot yoga.

Hot yoga sendiri adalah di mana kita berlatih yoga dalam ruangan yang sengaja dipanaskan untuk mendetoks tubuh karena nanti keringat akan bercucuran.

Hot yoga sendiri ada berbagai macam, tapi yang menjadi favorit di sini adalah Bikram yoga, di mana kita akan melakukan yoga dengan suhu ruangan 42 derajat celcius dengan 26 geragak yoga.

Sayangnya itu bukan kelasku. Aku hanya mengajar kelas yoga biasa. Seperti Vinyasa.

"Iya, Mas. Tadi dipanggil Bu Lidya."

Yogi menatapku dengan kening berkerut tiga. Aku tahu apa yang dimaksudnya. Apakah Bu Lidya menawariku untuk pergi ke FYI atau tidak. Segera saja aku menggeleng.

"Bukan, kok. Bu Lidya nggak ngomongin tentang itu," kataku. "Gue diminta buat ngisi kelas besok gantiin Vina."

Yogi ber oh tanpa suara. "Kirain."

Aku nyengir kecut padanya. "Duluan ya, Mas."

Yogi hanya mengacungkan jempolnya saja.

Aku lekas mendorong pintu kaca dan keluar dari sanggar, mataku melihat-lihat di mana Ranu berada. Biasanya dia akan menungguku di kursi depan tapi sekarang kursi itu kosong, Ranu tak ada di sana.

Kucoba untuk meneleponnya tapi tak diangkat juga.

"Di mana sih ini orang?" dumelku sebal.

Dan akhirnya aku memutuskan untuk mencarinya di tempat parkir. Dan ternyata dia ada di sana sedang bersandar di Outlander putih miliknya.

Tapi Ranu tidak sendiri. Dia bersama seorang perempuan berambut hitam panjang yang tingginya semampai bak model internasional. Dari belakang kelihatannya perempuan itu sangat cantik. Kulitnya putih karena hanya memakai gaun tanpa lengan, bodynya juga sangat bagus, pinggang yang kecil, bokong bulat dan kaki yang jenjang. Dan mereka sedang tertawa bersama, entah sedang menertawakan apa. Tapi si perempuan sampai membungkuk-bungkuk sembari menutup mulutnya dan menepuk-nepuk lengan Ranu. Sedangkan Ranu sendiri bersikap santai seolah mereka memang sedekat itu.

Aku bingung bagaimana caranya menyapa mereka berdua. Karena mereka terlihat seperti berada di zona di mana seolah di dunia ini hanya ada mereka saja.

Jadi aku hanya mendekat dengan pelan-pelan sampai Ranu sadar akan kehadiranku.

"Pinter banget ya berarti sekarang?" tanya Ranu begitu si perempuan itu reda dengan tawanya.

"Iya, banget. Apalagi kalau sudah aku tunjukin foto kamu. Pasti langsung dicium-cium," balas si perempuan.

Ranu terkekeh dengan raut muka takjub seolah itu hal yang sangat luar biasa. "Oh, ya?"

"Terus kalau ada temennya yang jahil dia pasti bilang, nanti kuaduin sama pap__"

Kalimat itu terhenti karena Ranu sudah melihatku dan si perempuan juga ikut menoleh padaku. Padahal aku masih penasaran dengan lanjutannya.

Dan yup, sesuai dugaanku dia cantik sekali. Mirip kayak Anya Geraldine. Bahkan tingginya juga kurasa sama.

Kini mereka berdua tengah menatapku. Ranu dengan tatapan santainya seperti biasa sedangkan si perempuan menatapku bingung.

Akhirnyaa aku mulai mengeluarkan suara begitu jarakku dengan mereka tinggal beberapa meter saja. "Tadi kucari-cari di depan sanggar nggak ada ternyata Mas Ranu di sini," kataku kikuk karena atmosfer di sekitar mereka juga berubah kikuk.

"Ah, iya. Tadi nunggu di sana tapi karena kamu lama aku ke masjid dulu untuk salat," balas Ranu.

Perempuan itu menoleh pada Ranu, lalu menoleh lagi padaku dengan alis berkerut.

"Ah, iya, Aru, sini!" pinta Ranu dan aku segera mendekat ke arahnya. "Kenalin ini Theresia."

Oh, ternyata ini toh yang bernama Theresia-Theresia yang tadi dibicarakan Yogi.

Aku lekas mengulurkan tangan pada perempuan bernama Theresia ini.

"Dan Tere ini Arunika."

Dia menyambut uluran tanganku. Akhirnya kami berjabat tangan.

Dan setelah itu, sudah.

Ya, sudah.

Perkenalannya hanya sampai di situ saja. Tidak ada perkenalan formal seperti ini 'istriku' atau ini 'temanku'. Ranu hanya mengenalkan nama kami masing-masing seolah hal itu tak perlu ia katakan pada kami.

Setelah itu Theresia pamit untuk masuk ke sanggar dulu. Katanya mau ambil barang lalu pulang.

Aku pikir Ranu akan menawarinya tumpangan karena seingatku kata Yogi tadi dia keponakannya Bu Sita yang juga tinggal satu kompleks dengan kami, tapi Ranu hanya diam saja dan langsung mengajakku untuk pulang.

"Tadi nggak ditawari buat bareng, Mas?" tanyaku begitu mobil Ranu sudah keluar dari parkiran sanggar.

"Siapa?" tanyanya balik.

Aku mencibir. "Dih, pura-pura nggak paham. Ya, Theresia tadi."

Ranu menoleh padaku.

"Enggak," jawabnya santai.

"Kenapa? Bukannya dia satu kompleks sama kita, ya?"

"Kamu kenal sama dia?" tanyanya balik tanpa menoleh padaku.

"Nggak kok. Baru juga ketemu tadi."

Ranu diam tapi aku tahu kalau dia juga menunggu jawaban.

"Dia keponakannya Bu Sita, kan. Yang tinggalnya di Andara juga?"

"Kamu kenal Bu Sita?"

Aku mengangguk. Rasanya sudah dua kali aku mendapat pertanyaan ini. Ternyata Bu Sita lumayan terkenal juga.  "Dia salah satu yang ikut kelasku kemarin."

Ranu menganggkuk-angguk. "Terus tahu Theresia dari mana?"

"Aku tahu dari Yogi. Tadi dia cerita kalau ada orang dari Jogja yang datang ke sanggar," jelasku panjang lebar.

Ranu hanya ber-oh panjang.

Sebenarnya aku masih menunggu Ranu untuk menjelaskan siapa Theresia ini dan apa hubungannya dengan Ranu. Apalagi tadi mereka membicarakan soal foto-foto dan pap? Pap apa? Papa? Papa apa? Tapi nyatanya sampai kami tiba di rumah Ranu masih tetap saja bungkam. Dan itu membuatku semakin penasaran.

Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada Ranu begitu kami masuk ke dalam rumah.

"Tadi emang siapa, Mas?"

"Siapa?" tanya Ranu lagi.

Aku berdecak sebal sembari menghempaskan bokongku di sofa ruang tamu. Kenapa seolah Ranu tidak mau membicarakan tentang Theresia padaku.

"Theresia."

"Oh," jawabnya. Lalu pergi meninggalkanku begitu saja yang masih duduk di ruang tamu untuk melenggang ke dapur.

Sontak saja aku segera bangkit dan mengikutinya. Aku akan mengejarnya sampai Ranu mau mengatakan dia siapa.

"Jadi siapa?" cecarku begitu Ranu duduk di kursi meja makan dan meminum segelas air putih. Aku mengambil tempat duduk di depan ranu.

"Temen kuliah," jawabnya. Lalu dia menatap padaku. "Udah? Ada yang mau ditanyakan lagi?"

"Cuma temen kuliah?"

Alis Ranu terangkat tapi senyum tipis juga terbit di bibirnya. "Iya. Dulu teman dekat bersama dua orang lainnya."

"Cuma deket aja? Nggak yang deket banget?" tanyaku lagi seraya memajukan tubuh di meja makan.

Dan Ranu ikut-ikutan memajukan tubuhnya. Kini posisi kami seperti dua orang kriminal yang sedang membahas rencana-rencana jahat yang tidak boleh didengar orang.

"Kenapa sepertinya kamu penasaran sekali dengan Theresia?" tanyanya pelan. Sangat pelan dengan tubuhnya yang semakin condong ke depan. "Apakah ini hilalnya tanda-tanda kecemburuan?" Matanya mengerling padaku.

Aku mencebik dan menjauhkan tubuh dari meja. Melipat tangan di dada dan lekas bangkit berdiri.

"Yaudah kalau Mas Ranu nggak mau jawab," kataku ketus. "Kayaknya dari tadi berat banget buat cerita Theresia ini siapa." Aku menjeda. Lalu mulai melangkah meninggalkan meja makan. "Malam ini aku nggak jadi tidur di kamar Mas Ranu ya?!" teriakku begitu sudah keluar dari dapur.

Aku pikir Ranu akan menyusulku dan memintaku untuk tetap tidur di kamarnya seperti kesepakatan kami kemarin, tapi nyatanya dia hanya duduk diam di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun, cengiran tentil terlihat di bibirnya yang membuatku semakin sebal padanya.

Lalu saat aku hendak menaiki tangga, aku mendengar dia mengatakan, "coba saja kalau bisa masuk ke kamarmu."

Hah? Maksudnya?

TBC
*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top