21
***
"Kamu kenal sama Bu Sita, Mas?" tanyaku begitu aku masuk ke dalam mobilnya Ranu.
Ranu sendiri sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil selepas Bu Sita dan Bu Rani pergi tadi.
"Hmm," jawabnya sembari memasang seat beltnya.
"Kenal di mana?" tanyaku lagi sembari ikut memasang seat belt juga. "Nggak mungkin kan dari sanggar yoga tadi?"
Bukannya menjawab, Ranu justru tertawa. "Ada-ada saja kamu. Masa iya aku ikutan yoga."
Sontak saja aku memukul lengannya.
"Heh! Jangan salah ya, Anda. Ada kok yoga untuk pria. Memangnya yang boleh yoga cuma perempuan saja? Untuk laki-laki juga ada!" sungutku yang justru membuat Ranu semakin tertawa.
Aku memasang wajah merengut padanya.
Apa dia tidak tahu kalau yoga bukan olahraga untuk wanita saja. Laki-laki juga banyak kok yang ikutan yoga. Yoga adalah olahraga yang bisa dilakukan oleh semua kalangan baik pria maupun wanita. Bahkan untuk anak juga ada.
"Iya. Iya. Ngerti kok."
"Terus kenal di mana?" tanyaku lagi karena aku masih merasa penasaran. Apalagi melihat interaksi mereka tadi yang begitu dekat seperti seorang kenalan lama yang tidak berjumpa.
Lagi-lagi Ranu tidak segera menjawab. Dia hanya menoleh padaku dengan mata berkeling nakal. "Kepo ya?"
Aku langsung melotot dan mencubit lengannya. "Ish, nyebelin." Ranu mengaduh dan mengusap-usap lengannya, tapi aku tak peduli.
"Sakit, Aru," adunya.
"Bodo amat," dumelku.
Ranu masih tertawa-tawa sembari mengusap lengannya, tapi tetap saja tak lantas segera menjawab pertanyaanku hingga kami tiba di mall yang ada di derah Cilandak. Kami turun di sana karena memang tujuannya untuk berbelanja.
Kulkas di rumah memang isinya masih penuh, tapi hanya ada buah-buahan, susu dan jus kemasan saja. Untuk bahan masakan sama sekali nggak ada. Makanya malam ini Ranu mengatakan mau menjemputku sekalian mengajakku berbelanja.
Dan saat sudah masuk ke dalam mall, saat itu juga aku melupakan perihal Bu Sita.
***
Dulu aku sering membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang istri yang sedang memasak di dapur sembari ditungguin oleh suaminya. Setelah masakannya matang kita sarapan bersama dan setelah selesai makan kita akan mencuci piringnya bersama-sama.
Dulu, aku juga sering membayangkan, saat hari libur seperti ini kami akan menghabiskan waktu berdua untuk bersantai dan bercumbu mesra. Bergelung di dalam selimut seharian sampai pagi lagi datang menerjang.
Dulu, bayanganku seperti itu. Dan rasanya itu adalah bayangan umum yang dibayangkan oleh banyak perempuan di luar sana yang belum menikah. Apalagi kisah cerita seperti ini banyak diceritakan di novel-novel dan film-film.
Namun, faktanya? Mana ada!
Yah, bukankah memang selalu seperti itu. Ekspektasi tak selalu berbanding lurus dengan realita.
Karena nyatanya, sekarang aku sedang memasak sendirian sedangkan Ranu justru asyik-asyikan main game di ruang tengah.
Mana ada tuh masak-masak bersama sambil bercanda, bergurau atau saling melempar rayuan? Gak ada! Itu semua hanya ada di film-film saja.
Yah, mungkin beginilah nasibnya seseorang yang menikah karena terpaksa, bukan karena cinta. Andai Binar masih ada pasti dia tidak akan membiarkanku memasak sendirian seperti ini, karena Binar tidak pernah suka melihat tanganku terluka, karena dia juga tidak suka aku menangis saat mengupas bawang, karena Binar adalah kekasihku sedangkan Ranu hanya berstatus suamiku.
Aku memukul-mukul talenan dengan pisau keras-keras, agar Ranu sadar jika sekarang aku sedang kesal padanya. Dan sepertinya caraku berhasil karena sekarang dia tengah mematikan gamenya dan mendekat padaku.
"Masak apa?" tanya Ranu begitu dia tiba di sampingku, tapi aku sudah terlanjur tidak mood padanya, jadi kuabaikan saja dia.
"Masak apa?" ulangnya lagi. Tapi aku tetap tak mau menjawab pertanyaannya.
Sekarang aku benar-benar marah padanya. Dia sendiri yang tadi menyuruhku memasak tapi dia sendiri tak mau membantuku memasak. Padahal di saat libur seperti ini paling enak jika bergelung-gelung di dalam selimut tanpa melakukan apa-apa.
"Dih, marah."
"Bodo amat!"
Ranu tergelak, sementara aku mendengus kesal padanya. Kurasa, Ranu memang sengaja ingin membuatku kesal karena itulah yang ia lakukan akhir-akhir ini. Mungkin wajah kesalku adalah hiburan tersendiri baginya. Tapi anehnya, aku tetap selalu menuruti apa kata Ranu meskipun aku tak menyukainya.
"Aku bisa bantu apa?" tanyanya unuk yang kesekian kalinya.
Karena tak mau terus terusan mengabaikannya, akhirnya aku menunjuk tepung terigu yang sudah aku encerkan untuk menggoreng mendoan, tanpa mengeluarkan suara.
Ranu mengambil tepung itu. "Terus ini diapakan?" tanyanya lagi.
Aku menunjuk tempe yang sudah kuiris tipis-tipis, masih tanpa suara. Ranu mengambil tempe itu.
"Lalu ini diapakan?"
Aku menunjuk tempe kemudian menunjuk ke arah adonan tepung bergantian, masih tanpa suara.
Dan Ranu segera melakukan sesuai instruksi bisuku.
Nah, begini dong. Kan rasanya nggak begitu dongkol di saat memasak ada yang menemani.
Tapi saat aku hendak menyalakan kompor untuk menggoreng tempe mendoan itu, kurasakan bibirku diolesi sesuatu oleh Ranu.
"Mas Ranu, ih," dumelku.
Sontak saja, aku langsung menoleh dan memelotot ke arahnya sembari mengusap bibirku yang ternyata ia olesi adonan tepung itu.
"Bibir itu gunanya ada tiga. Makan, ngomong sama ciuman," kata Ranu tapi aku abaikan, sibuk mengusap bekas tepung di bibirku. "Sekali lagi aku tanya sama kamu nggak dijawab, aku akan cium bibir kamu," ancamnya, tapi tetap saja aku abaikan, karena aku merasa tak takut pada ancamannya.
Kalau dia berpikir dengan mengancamku aku akan takut, Ranu salah.
Akhirnya dengan perasaan dongkol yang masih mencokol di dada, aku tetap mengabaikan Ranu. Baru saja hatiku mulai luluh padanya karena dia mau membantuku memasak, tapi sekarang dia sudah kembali membuat ulah.
Yah, kalau tadi aku merasa sebal sekarang jadi bertambah-tambah kesal.
Masih dengan bibir yang membisu, aku mengambil adonan tepung yang sudah dicelupi tempe dari hadapan Ranu. Membawanya ke depan kompor dan mulai menggorengnya satu persatu.
Ranu mendekat padaku dan mulai melihatku menggoreng tempe.
"Itu namanya apa?" tanyanya.
Apa dia tidak bisa melihat kalau ini namanya tempe goreng tepung?
"Dari tadi cuma masak itu doang?" tanyanya lagi.
Aku mendengkus, tapi tak lantas menjawabnya. Apa dia juga tak bisa melihat di atas meja makan sudah banyak makanan tersaji di sana? Ada sop iga, mie goreng jamur, sambal kecap, sambal tomat, kerupuk udang dan ditambah ini nanti mendoan. Untuk makan dua orang kurasa itu sudah lumayan banyak. Meskipun masakannya hanya dengan menu sederhana.
"Kalau ditanya itu dijawab, Arunika!"
Tapi aku tetap tak menanggapi gerutuannya karena menurutku pertanyaan Ranu tak butuh jawaban. Kurasa dia hanya ingin menggodaku saja.
Akhirnya goreng tempe terakhir sudah matang. Aku sudah mengangkatnya ke atas tirisan. Tinggal menaruhnya saja di atas piring dan membawanya ke meja makan.
Tada! Masakan ala Nyonya Arunika Aryasatya sudah matang.
Setelah menaruh mendoan itu di atas meja makan, aku hendak berbalik ke arah wastafel untuk mencuci tangan. Tapi tiba-tiba kurasakan tubuhku ditarik paska menghadap ke arah Ranu hingga membentur dadanya yang keras, kedua pipiku dibungkus dengan kedua tangannya yang besar.
"Kamu sendiri yang menantangku, Aru," ujarnya seraya mendekatkan wajahnya pada wajahku.
Aku hendak berteriak tapi sayangnya sudah tak bisa karena bibir Ranu sudah menempel di atas bibirku. Menekannya kuat, hingga gigi kami saling bergemeletuk saling bertabrakan. Ranu menciumku seperti ancamannya tadi. Bukan hanya mencium, tapi melumat. Bibirku ia lumat dengan bibirnya berkali-kali. Dalam dan basah.
"Hmmpph … hmmph …."
Aku mencoba untuk memberontak dengan mendorong dada Ranu menjauh dengan tanganku, tapi justru itu membuat Ranu semakin menekanku ke arah meja pastry di belakangku. Tanganku yang tadi mendorong dadanya ia kunci dengan satu tangannya di punggungku, Dan tangan yang lainnya menekan tengkukku agar ciuman kami semakin dalam.
Pergerakanku yang dibatasi oleh Ranu membuatku tak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan pasrah menerima ciuman Ranu. Hingga akhirnya dia melepaskan tautan bibir kami.
"Bajingan kamu, Mas!"
Aku langsung melayangkan tanganku ke arah wajahnya, tapi segera ia tangkis dengan tangannya.
"Aku sudah memperingatkanmu, Aru. Aku tidak suka diabaikan," tandasnya.
Apa dia pikir aku juga suka dia abaikan? Bukankah sejak tadi dia yang mengabaikanku dan lebih sibuk dengan game-nya? Kalau seperti ini siapa dulu yang memulai?
TBC
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top