10.

*****

ARUNIKA HIMALLAURA PUTRI
.

"Aku akan menikahimu," kata Ranu.

Aku memang diam saat dia mengatakan itu. Tanpa menyanggah. Tanpa membantah. Tapi ada satu kata yang terlintas di pikiranku saat dia mengatakan itu.

GILA!

Ranu benar-benar gila! Bagaimana bisa dia berkata demikian saat adiknya baru saja meninggal? Sedangkan aku adalah calon istri dari adiknya yang baru saja meninggal itu. Bagaimana bisa dia mengatakan akan menikahiku? Astagaaa seharusnya di sini aku yang gila karena baru saja ditinggalkan oleh orang yang paling kucintai tepat sehari sebelum pernikahannya, tapi kenapa malah Ranu yang gila?

Aku tertawa sumbang. Inginnya sih tertawa sarkas biar dia sadar akan ucapannya yang tidak masuk akal itu. Tapi aku tak punya tenaga. Badanku rasanya lemas semua seolah di tubuhku ini hanya ada urat dan daging yang tak bertulang.

"Gila!" gumamku tanpa sadar mengutarakan apa yang ada di pikiranku yang langsung diberi peringatan halus oleh Mama dan Papa. Bunda hanya menatapku biasa sedangkan Ranu sendiri menatapku datar. "Mas Ranu sudah gila?" tanyaku lagi memberi penekanan. Aku tidak peduli jika dikatakan tidak sopan sudah mengatai orang yang lebih tua yang notabenenya kakak dari calon suamiku sendiri. Tapi kurasa apa yang dikatakan Ranu juga pantas mendapatkan perlakuan demikian.

"Apanya yang salah dengan itu?" tanyanya tanpa dosa seakan aku adalah anak kecil yang sedang menangis karena baru saja kehilangan sebuah permen. Dan dia yang tiba-tiba datang bak pahlawan menawarkan akan menggantikan permenku yang hilang. Mungkin kalau seandainya permasalahannya sesederhana itu aku akan dengan senang hati menerimanya. Tapi Binar bukanlah sebuah permen yang bisa didapatkan di mana saja. Binar hanya ada satu. Binar istimewa. Binar tidak tergantikan oleh siapapun itu. Termasuk dan terutama Ranu sendiri.

"Apanya yang salah dengan itu?!" cibirku mengulang pertanyaannya.

"Ya. Apanya yang salah?"

Aku sungguh tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Apanya yang salah? Sungguh dia bertanya demikian? Ya jelas salah, lah! Aku calon adik iparnya, dia calon kakak iparku. Bagaimana bisa dia mau menikahiku?

"Mas Ranu masih bertanya apanya yang salah? Bukankah sudah jelas ini salah? Aku calon adik iparmu. Bagaimana bisa Mas Ranu mengatakan akan menikahiku?"

"Tapi kenyataannya Binar sudah meninggal. Jadi sah-sah saja jika aku menikahimu."

"Haha. Lucu," cibirku lagi.

"Apanya yang lucu, Aru? Ini semua demi kamu. Demi Binar. Demi kita semua."

"Demi kita semua? Yakin?!"

"Lalu menurutmu demi siapa? Aku? Menurutmu kenapa aku mau menikahimu?"

Aku diam. Tidak bisa memberi bantahan. Tidak ada kata juga yang bisa keluar dari mulutku untuk membantah Ranu. Kenapa Ranu mau menikahiku? Aku juga bertanya-tanya kenapa dia mau? Selama ini dia tidak pernah menyukaiku lalu kenapa mau menikahiku tiba-tiba seperti ini?

"Lalu kenapa Mas Ranu mau menikahiku?" tanyaku menatapnya tajam.

"Bukankah tadi sudah kubilang? Karena kamu. Karena Binar. Karena Binar pernah menitipkanmu padaku."

Hening. Aku tidak lagi bisa mengucapkan sesuatu. Yang ada di kepalaku hanya bayangan saat Binar mengatakan jika aku tidak jadi menikah dengannya dia ingin aku menikah dengan Ranu.

Tenggorokanku rasanya tercekat. Lidahku yang seharian tidak makan apa-apa terasa semakin pahit. Aku baru sadar kalau Binar pernah mengatakan itu. Apakah saat itu dia sudah mempunyai firasat akan terjadi kejadian seperti ini? Apa itu salah satu tanda yang ia berikan padaku sebelum kepergiannya?

"Binar juga pernah berkata seperti itu," gumamku.

"Mengatakan apa?"

"Menyuruhku menikah dengan Mas Ranu jika aku tidak jadi menikah dengannya."

Lagi-lagi keadaan kembali hening. Meskipun sejak tadi mereka lebih banyak menyimak. Sekarang seolah suara cicak saja tidak ada.

"Jadi, Mas Ranu mau menikahiku?" tanyaku lagi. Tidak makan seharian ditambah sedikit emosi sepertinya membuat tekanan darahku naik hingga membuat mataku rasanya berkunang-kunang. Kupejamkan mata untuk membuat kunang-kunang di mataku hilang.

"Iya. Aku akan menikahimu," ulangnya kembali seakan aku tidak mendengar ucapannya yang sebelumnya.

"Tapi aku tidak mau menikah dengan Mas Ranu!" kataku tegas sambil menegapkan badan dan itu adalah sebuah kesalahan karena setelahnya kepalaku rasanya berputar-putar. Aku kembali menjatuhkan punggung di sandaran sofa sambil memejamkan mata dan saat aku kembali membuka mata, kudapati Ranu sudah berdiri dari duduknya dan bergaya seolah dia akan menangkapku. Padahal aku hanya ingin menegapkan badan bukannya berdiri. Wajahnya tersirat rasa khawatir padaku seperti calon suami yang perhatian pada calon istrinya.

Cih!

"Tapi mau bagaimana lagi jika itu satu-satunya jalan keluar untuk kita semua," jawabnya setelah mendudukkan dirinya kembali ke sofa.

"Jalan keluar? Jalan keluar untuk apa?"

"Pernikahanmu besok."

"Ada apa dengan pernikahanku? Jelas-jelas aku tidak mungkin melanjutkan pernikahan. Aku tidak mungkin menikahi diriku sendiri!" kataku sedikit emosi.

Ranu diam. Dia melihat ke arah Papa dan Mama. Sebelum dia kembali melihat datar ke arahku. Aku pun ikut melihat ke arah mereka.

"Memangnya ada apa dengan pernikahanku besok?"

Papa mendesah. Mama mengelus punggungku. Bunda dan Rinjani melihatku prihatin. Ranu masih tetap menatapku datar.

"Acara besok tidak bisa dibatalkan Aru. Kami semua tidak ada yang mengurusnya karena hari ini semuanya fokus pada pemakaman Binar. Mau tidak mau pernikahanmu harus tetap dilanjutkan," jawab Papa yang semakin membuat kepalaku berdenyut-denyut tak karuan. "Jalan satu-satunya kamu harus menikah dengan Ranu."

"Pa, apa tidak ada jalan keluar lain?"

"Tidak ada Aru."

"Jadi aku harus menikah dengan Mas Ranu?"

"Iya."

Aku mendesah pasrah. Karena sepertinya aku telah kalah. Kalah dengan takdir Tuhan yang selalu mengombang-ambingkan nasibku. Kemarin aku masih berbahagia menyambut acara pernikahanku. Hari ini calon suamiku meninggal. Dan besok aku akan menikah dengan calon kakak iparku. Betapa lucunya takdirku.

*****

Badanku panas. Kepalaku pusing. Hidungku tersumbat. Tubuhku lemas. Perut melilit sakit. Mual-mual parah sampai muntah. Efek seharian tidak makan membuat maagku kambuh juga disertai demam. Dan sialnya orang yang menemukanku sedang muntah-muntah parah adalah Ranu yang kamarnya bersebelahan dengan Binar.

"Bisa jalan ke kamar?" tanyanya setelah membantu memijit tengkukku saat aku sedang muntah-muntah di toilet.

Ranu mengulurkan tisu yang segera kuraih untuk mengelap bibirku.

Aku mengangguk. "Bisa. Aku bukan anak kecil!" jawabku agak ketus setelah membuang tisu ke tempat sampah.

"Aku tidak pernah menganggapmu anak kecil. Kamu sedang sakit, Aru," ujarnya sambil mencoba membatuku berjalan, tapi tangannya yang mau menyentuh pinggangku segera kutepis. Aku menatap Ranu horor. "Aku bisa jalan sendiri!"

Ternyata Ranu mengerti maksudku. Dia tidak lagi memaksa ingin memapahku. Tapi sialnya lagi saat baru berjalan satu langkah kepalaku terasa berputar-putar. Jalanku limbung. Aku sempoyongan. Jika Ranu tidak segera menangkapku saat itu mungkin aku sudah jatuh di toilet dengan mengenaskan.

"Ini yang kamu bilang bisa jalan sendiri?" cibirnya yang kuabaikan. "Jangan keras kepala Aru," lanjutnya memberi peringatan.

Sekarang Ranu tidak hanya memapahku tapi menggendongku ala-ala pengantin baru. Aku hanya bisa pasrah dalam gendongan Ranu. Kusenderkan kepalaku saja di dada bidangnya yang terasa keras itu yang entah kenapa justru rasanya nyaman.

Sesaat aku teringat saat aku histeris di depan jenazah Binar. Saat itu Ranu juga memelukku seperti ini yang juga bisa membuatku tenang.

Aku masih terhanyut dengan pikiran dan perasaan nyaman. Hingga akhirnya Ranu menurunkanku di ranjang. Yang kurasakan saat itu adalah rasa kehilangan. Mungkin aku sudah gila karena yang aku inginkan sekarang adalah Ranu tetap memelukku seperti tadi dan terus melakukannya hingga aku tertidur. Tapi karena aku masih waras jelas tak akan ku sampaikan keinginan konyolku itu.

Tiba-tiba Ranu menaruh telapak tangannya di keningku. "Demamnya lumayan tinggi," gumamnya seperti hanya pada dirinya sendiri. Dan setelahnya dia bangkit berdiri meninggalkan kamar.

Aku hanya bisa membuang napas panjang. Melirik jam di dinding yang baru pukul empat kurang lima belas menit. Sebentar lagi subuh dan aku harus pulang karena besok acara pernikahan akan tetap dilangsungkan.

Kucoba untuk memejamkan mata, mencoba tidur selagi bisa. Tapi belum sempat aku tertidur Ranu sudah datang lagi. Di tangannya ada sebuah nampan yang berisi sepiring makanan, minuman dan obat-obatan yang entah apa yang dia bawa.

"Makan dulu jangan tidur," katanya.

Aku melenguh. Menggerutu di dalam selimutku yang kutarik hingga ujung kepala. Membayangkan makan di jam segini dengan keadaan perut seperti ini pasti nanti bakal muntah lagi.

"Aru ayo makan dulu," pinta Ranu sambil berusaha menarik selimut yang menutupi kepalaku.

Aku semakin mengeratkan selimutku agar Ranu tidak bisa membukanya.

"Nggak enak, Mas. Nanti muntah lagi," keluhku.

"Makannya ini aku bawakan obat maag juga. Ayo buka, makan dulu."

Aku pasrah, karena Ranu tetap memaksa untuk membukanya.

Dia membantuku duduk dan menata bantal sebagai penyangga tubuhku. Setelahnya Ranu mengambil obat maag cair di dalam sendok dan menyuapkannya padaku.

Sembari menunggu reaksi obat itu di dalam perutku, aku memejamkan mata. Kurasakan Ranu mengelus keningku. Aku mencoba membuka mata sedikit untuk melihat apa yang sedang dia lakukan.

"Lemes banget ya?" tanyanya lembut.

Aku diam tak menjawabnya.

Kulihat dia yang masih menatapku khawatir. Sesaat aku merasa terpesona dengan Ranu. Bagaimana bisa dia setegar ini. Setenang ini. Selembut ini. Bahkan masih bisa mengkhawatirkan orang lain di saat dia sendiri juga sedang sakit. Bukan sakit fisik yang kumaksud tapi sakit hati. Karena aku tahu Ranu sangat menyayangi Binar. Dan keputusannya untuk menikahiku, apa hal itu tidak menyakitinya juga? Kenapa dia sampai mau mengorbankan dirinya untukku?

"Mas," panggilku.

Ranu mengangkat satu alis sebagai respon.

"Besok beneran kita akan menikah?" tanyaku pelan. Aku ingin membicarakan hal ini dari hati ke hati karena mumpung semuanya belum terjadi. Kalaupun toh besok harus memberikan klarifikasi pada seluruh tamu undangan, rasanya itu masih jalan terbaik dari pada mempertaruhkan diri pada sesuatu yang belum pasti.

"Iya. Kenapa? Kamu masih tidak yakin?" tanyanya balik.

"Kenapa Mas Ranu mau menikahiku?"

Dia tidak langsung menjawab, dan justru malah menatapku datar seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.

"Apa keuntungan Mas Ranu dengan menikahiku?" tanyaku lagi.

"Serius kamu bertanya itu? Bukannya sudah jelas kalau aku menikahimu aku akan mendapatkan istri?"

"Tapi kita tidak saling mencintai."

"Cinta itu urusan belakangan Aru. Orang yang menikah karen cinta juga tidak bisa jadi patokan akan keluarga bahagia. Nyatanya banyak yang bercerai, kan? Dan pernikahan tanpa cinta juga tidak bisa dianalogikan sebagai pernikahan yang gagal. Kita belum menjalaninya jadi jangan berspekulasi dulu tentang pernikahan kita nanti."

"Tapi pernikahan bukan untuk uji coba, Mas. Jika berhasil ya lanjut jika tidak ya cerai? Apa di mata Mas Ranu pernikahan sesederhana itu?"

"Aku tidak pernah menganggap pernikahan adalah sesuatu yang sederhana, Aru. Aku serius ingin menikahimu," terangnya yakin.

"Kenapa? Kenapa ingin menikahiku?" tanyaku ingin memastikan. Karena sejak semalam yang selalu ia katakan adalah demi aku. Demi Binar. Demi kita semua. Terus apa dia tidak memikirkan dirinya sendiri? Apa tidak ada perempuan yang dia cintai? Perempuan yang ingin dia nikahi? Aku memang gagal menikah dengan Binar tapi bukan berarti aku harus menyeret orang lain untuk hidup sengsara bersamaku juga. Bagaimanapun ini bukan salahnya hingga membuatnya harus bertanggung jawab atasku yang gagal dinikahi adiknya.

"Karena aku ingin melindungimu. Karena aku ingin menjagamu. Karena aku ingin membuatmu bahagia. Karena aku ingin melihatmu bahagia juga. Karena aku ingin senyummu kembali ada,x jawabnya. Dia terdiam sejenak. "Karena aku menyayangimu Aru," pungkasnya.

Aku tercengang akan jawabannya. Aku pikir dia akan menjawab sama seperti semalam, ternyata aku salah. Keinginan Ranu ternyata sebanyak itu.

"Jadi kita akan benar-benar menikah?"

"Ya."

"Pernikahan seperti pasangan normal pada umumnya?"

"Ya."

"Bukan pernikahan kontrak?"

"Apa maksudmu?"

"Ya ... pernikahan kontrak? Kita menjalani pernikahan hanya untuk beberapa tahun saja."

"Dari mama gagasan itu?"

"Eum ... ya kan umumnya gitu?"

"Umum yang kamu maksud ini di mana?"

Aku tidak bisa menjawabnya karena tidak mungkin kan aku menjawab dari novel yang aku baca?

Ranu mendengus, seolah ide yang aku utarakan adalah hal yang gila.

"Jangan berpikir aneh-aneh. Cukup lakukan tugasmu sebagai istri dan aku akan melakukan tugasku sebagai suami. Aku tidak akan memaksamu untuk melakukan hal yang tidak kamu sukai."

Akhirnya aku diam. Kram di perutku juga sudah mulai enakan. Aku melirik sepiring nasi dan semangkuk gulai yang ada di atas nampan. Sepertinya enak jika bisa memakan itu, batinku. Tapi rasa nyeri saat maag kambuh itu membayang lagi.

Aku mengalihkan mataku dari piring ke arah Ranu yang ternyata sedang melihatku.

Ranu terkekeh. "Tinggal bilang aja kalau mau makan. Nggak usah malu-malu," selorohnya.

Aku mencebik menggerutu.

Ranu mengambil nampan itu dan menaruhnya di sampingku. Dia mulai menyendokkan nasi dan membawanya ke depan mulutku.

"A."

Aku mendengus. Tapi juga tersenyum. Mungkin kalau itu Binar yang melakukannya aku akan langsung menerimanya dengan mulut terbuka. Tapi karena ini ranu rasanya aneh saja.

"Aku bukan anak kecil. Bisa makan sendiri," kataku sambil mencoba mengambil sendok dari tangan Ranu. Tapi Ranu melah menjauhkan tangannya.

"Nggak. Aku suapi . Nanti makanannya jatuh ke kasur."

"Sudah dibilang aku bukan anak kecil, ih."

Ranu tersenyum tapi tetap tidak memberikan sendoknya padaku. Dia tetap menyuapiku.

Akhirnya aku membuka mulut menerima suapannya. Kuamati dia yang serius menyuapiku dalam diam. Aku baru menyadari ternyata Ranu lumayan tampan. Kontur wajahnya lebih lembut dari pada Binar yang terlihat lebih urakan. Alisnya tebal. Matanya teduh dengan iris berwarna cokelat madu cerah. Dia dan Binar sama-sama memiliki cambang tapi punya Ranu lebih tebal. Aslinya jika dia mau lebih sering tersenyum akan terlihat lebih menawan karena senyumnya tak kalah manis dari milik Binar. Hanya saja sayang dia jarang tersenyum jadi kesannya kayak arogan apalagi tubuhnya yang tinggi besar. Tapi ada satu hal yang dari tadi menggelitikku. Aku tak bisa mengalihkan mataku dari bibir tipisnya yang menawan. Apakah bibir itu semanis punya Binar?

Kuusap bibirku yang sepertinya ada sisa nasi di sana yang nyatanya tak ada.

Aku berdehem menghilangkan kecanggungan yang kubuat sendiri. Aku harus mencoba mengalihkan pikiranku ke hal lain agar tak melantur kemana-mana.

"Mas Ranu benar-benar mau menikahiku?" tanyaku lagi untuk ke sekian kali untuk menutupi rasa aneh yang timbul sejak tadi.

Kudengar dia berdecak melihatku bosan dan berkata, "Tanya lagi."

TBC
*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top