Episode 28

Promo sebentar ya 😽

Jangan lupa mampir di cerita kami ya,

• Fragmentasi Juni : Asean26

• 22 Juni 1527 : BahiyaPadmi

• Rokugatsu in Love : etvlbplr99

-----

Chapter ini ditulis oleh : Asean26

···

Tagihan membengkak.

Zafir menghela napas kasar seraya melempar struk pembayaran listrik, air, jaringan TV kabel, tagihan telpon dan tagihan lain yang nominalnya membengkak sejak pandemik yang melanda. Ia menyandarkan punggung di kursi putar dan sedikit memutarnya, melihat ke arah jendela yang menampilkan kota yang tak pernah mati dan seolah semakin hidup di malam hari.

Rahang Zafir mengetat, kedua alisnya mencuram tajam. Kapan sih ini penyakit kelar? Gue bisa bangkrut! Duit gue bisa-bisa abis di pake bayar listrik di rumah! Sialan!

Belum lagi, sedikit besarnya untuk mendalami peran suami, Zafir harus mengeluarkan uang untuk keluarga Lina.

"Hah!" Zafir bangkit dari kursi dengan cepat, membuat kursi terdorong cukup jauh. Ia menghela napas lalu berdiri di depan jendela kamar. Sekarang apa?

Ketukan pintu menyentak Zafir. Ia menoleh sebelum mengintrupsi seseorang di balik pintu untuk masuk. Deritan pintu terdengar begitu melesat di tengah heningnya ruangan kerja Zafir. Cahaya dari ruangan lain masuk, merasuki ruangan yang memang sengaja di buat remang-remang, memanfaatkan cahaya dari lampu-lampu kota yang terang lewat jendela.

"Mas," panggil Karlina. "Mas, belumm tidur?"

Zafir hanya terdiam, tak menjawab. Seuntai tanya hadir di kepala Lina. Ia menatap lekat punggung lebar sang suami. Ada apa? Karlina merasa ada sesuatu yang Zafir sembunyikan. Perihal apa, Karlina tak tahu.

Menarik napas dalam, Karlina melangkah mendekati Zafir. "Mas,"

Zafir berbalik. Ada senyum simpul yang menawan ketika ia berbalik. Menghadap Karlina sepenuhnya, Zafir mengusap pipi Lina. "Apa, Sayang? Kenapa? Kangen? Mas juga kangen kamu."

Kedua pipi Karlina terasa memanas. Meski hanya gombalan kecil, tapi mampu membuatnya tersenyum malu. "Mas mau kopi?"

"Kalo Mas bilang mau kamu, gimana?"

Kedua mata Lina melebar. Lidahnya kelu dan ia hanya bisa terdiam mengedipkan matanya beberapa kali sebelum kemudian menundukkan pandangan, merasakan hawa panas di kedua pipinya.

Zafir terkekeh kecil. Dengan gemas dan ia merengkuh tubuh Lina. "Ah ... lucu banget kesayangannya Mas ini."

Dalam pelukan Zafir, Karlina hanya bisa diam karena malu. Meskipun sudah menjadi suami dan istri, tapi Karlina masih saja malu-malu. Tubuh hangat Zafir yang memeluknya membuat hawa yang di rasakan Karlina terasa kian panas.

"Mas," ucap Lina ragu-ragu. "Mas ... mau Lina bikinin kopi atau teh?"

Zafir melonggarkan pelukan, menatap lekat wajah Lina yang bersemu merah meski ruangan kerjanya tak diterangi lampu dengan terang. Ia mendekatkan wajah, membuat Karlina semakin ingin menunduk menghindar.

"Lina,"

Karlina hanya terdiam, ia menaikkan bahu menghindari Zafir yang semakin mendekatinya. Pikirannya mulai kacau. "Mas, jangan deket-deket."

"Tapi Mas suka dekat denganmu, Sayang."

"Iya, tapi ... "

"Sudah." Zafir tersenyum simpul, mengetuk ujung hidung Lina dengan pelan. "Tolong buatkan Mas teh, Sayang. Jangan terlalu manis karena manisnya sudah dari kamu."

"Iya, Mas. Tunggu ya." Karlina mengangguk. Senyumnya merekah dan hatinya begitu di limpahi kehangatan. Perasaan di cintai dan perilaku Zafir yang begitu manis membuainya, membuatnya merasa begitu berharga dan Karlina begitu tersanjung oleh itu. Ia mencintai Zafir, pria yang selalu mencintainya dengan tulus dan memperlakukannya seperti berlian berharga.

"Terimakasih, Sayangku," ucap Zafir lembut. Kedua matanya tampak begitu teduh, memberi kesan menyejukkan. Lina tersenyum kecil, mengangguk pelan lalu menutup pintu.

Pintu tertutup, kembali meninggalkan Zafir sendiri.

Seketika senyumnya tenggelam. Ekspresi dingin, selayaknya angin malam yang berhembus ketika ia menatap pintu. Ia tengah berpikir, apa yang harus ia lakukan untuk mengakhiri semua ini?

Zafir menghela napas kasar, lalu memikirkan tabungannya yang semakin menipis sementara pengeluaran semakin banyak semenjak ia menikah dengan Karlina. Baru saja Zafir sedikit dibebaskan dari tekanan pembayaran obat ibunya, kini secara terpaksa ia juga harus memikirkan keluarga Karlina.

'Banyak banget pengeluaran gue. Gue bisa mati bangkrut kalo gini terus. Sialan! Bukan untung malah buntung.'

****

"Mas."

"Ah?" Zafir tersentak, bangun dari lamunannya. Ia mengangkat pandangan, melihat kedua mata Karlina yang tengah mengerutkan kening, menatapnya khawatir dan bingung. "Apa, Sayang?"

Tatapan Karlina menyelidik. Sejak pagi, Zafir tampak berbeda. Ia lebih sering diam dan melamun. Sebagai seorang istri, hatinya berkata ada sesuatu yang tengah Zafir sembunyikan. Inginnya, Zafir lebih terbuka. Berbicara dan berbagi keresahan dengan dirinya.

"Kamu kenapa, Mas?"

Zafir tersenyum. "Memangnya Mas kenapa?"

Ragu, Karlina menjawab, "Mas lagi banyak pikiran?"

Zafir tak menjawab, ia hanya menatap Karlina lekat. Karlina yang menerima perlakuan demikian, semakin merengut. Kedua alisnya berkerut. Pikirannya menggebu ingin bertanya, mengapa, tapi hatinya melarangnya untuk bicara. Ia takut pertanyaannya akan mengusik Zafir, tapi di sisi lain ia ingin Zafir membagi keluh kesahnya.

Senyum Zafir membuat Karlina menghentikan perdebatan pikiran dan hatinya.

"Nggak papa. Kamu pikirin aja keluarga kamu. Mereka lebih penting." Senyum Zafir terasa aneh di mata Karlina setelah mengatakannya.

"Iya, Mas," jawab Karlina pelan, ada perasaan sedih yang terdengar.

Karlina tertunduk lesu dan kembali berjalan ke dapur untuk mencuci piring. Langkahnya terasa sepi dan hampa, keluhan di hatinya mengenai sikap Zafir membuatnya tak tenang dan resah.

Lewat sudut matanya, Zafir melihat Karlina. Ia tidak bodoh sampai tidak menyadari perusahan raut wajah dan aura suram dari Karlina. Karlina tampak sedih, tapi ia tak mau terlalu ambil pusing. Meskipun timbul dalam hatinya setitik perasaan bersalah dan keinginan untuk memeluk Karlina seraya mengatakan semuanya baik-baik saja, tapi tidak, uangnya sudah terlalu banyak ia keluarkan untuk membiayai hidup keluarga Karlina.

"Tuan," Wasti datang menghampiri. Zafir menoleh, menunggu sambungan ucapan Wasti. Ada senyum cerah yang terlihat di bibir Wasti, mengingat sang majikan sudah lebih segar dan lebih baik. "Tuan, Nyonya manggil Tuan buat ke kamar Nyonya."

"Untuk apa?"

"Saya kurang tau, Tuan."

Menghela napas panjang, Zafir memaksakan diri untuk berdiri lalu berjalan menuju kamar Misha. Ibunya itu saat ini sudah mulai bisa kembali berjalan dan bicara dengan cukup lancar. Karena hal itu, Zafir mulai berpikir untuk mengakhiri semua hal yang melelahkan dan menguras dompetnya ini.

Ia bahkan begitu tertekan ketika secara tidak langsung adik Karlina—Rani selalu mengharapkan makanan ataupun barang ketika Zafir bertamu ke rumah Karlina.

'Sayang banget duit gue. Nyesel gue kasih.'

Sampai di depan pintu kamar Misha, Zafir terlebih dahulu masuk, memberitahu kedatangannya sebelum memutar kenop dan mendorong pintu, masuk. Pemandangan yang terlihat pertama kali adalah Misha yang tengah duduk di kursi roda sambil menghadap jendela, membiarkannya terbuka membuat suhu ruangan sedikit terasa lebih dingin.

"Mommy," panggil Zafir.

Misha menoleh tanpa gangguan. "Nggak ... kangen?"

"Kangen, Mom. Cuma ... " Zafir mengalihkan pandangan, tersenyum kecut seraya mengusap tengkuknya. "Lagi banyak kerjaan."

Misha hanya mengangguk pelan, lalu kembali menatap ke arah luar lewat jendela. Zafir terdiam. Zafir tak tahu apa niat Misha memanggilnya dan terdiam seperti ini membuat suasana terasa tak menyenangkan. Dalam diam, Zafir memperhatikan Misha. Perkembangan kesehatan Misha semakin signifikan. Zafir menduga, cukup dengan perawatan dari Wasti dalam waktu dekat Misha akan sembuh.

Zafir mengalihkan pandangan. Timbul perdebatan dalam kepalanya. Misha sudah hampir pulih sepenuhnya. Satu beban pikiran dan masalah pengeluaran uangnya sudah selesai, tapi sayangnya, masih ada satu hal yang masih menyangkut.

'Masih ada benalu nempel di hidup gue.'

"Zafir," panggil Misha.

"Iya, Mom?"

Misha kembali menoleh. Di wajahnya yang tampak bersahaja dan tenang, terukir senyum lembut. "Kapan ... ngasih Mommy ... cucu?"

****

Wasti tengah menggoreng ayam. Rona bahagia tampak menghiasi wajahnya. Kondisi majikannya yang membaik membuat hati Wasti terasa begitu lega dan senang.

"Mau Lina bantuin, Bu?"

Euforia bahagia yang tengah Wasti rasakan mendadak hilang, seakan palu yang memecah kaca. Ia melirik lewat sudut matanya pada Karlina yang berdiri di belakangnya. Kembali menatap wajan, ekspresinya tampak begitu jelek. "Nggak usah!"

Karlina mencoba tersenyum, meskipun tak ayal ada nyeri berdenyut di hati. "Kalo gitu, Lina ambilin piring buat ayamnya ya, Bu?"

"Eh kamu!" Wasti mendelik, melotot. "Kenapa sih gangguin saya terus? Saya lagi goreng—aduh!"

Letupan minyak mengenai tangan Wasti, membuatnya tanpa sadar melepas serokan hingga menyentuh kakinya. Ia mengaduh, mengeluarkan makian karena berpikir dirinya ditimpa musibah sekaligus di waktu yang sama. Tangannya yang kepanasan dan nyeri oleh minyak, lalu kakinya yang kesakitan.

Karlina yang melihatnya, bergerak cepat mematikan kompor ketika Wasti tengah berjalan ke kamar mandi. Keningnya berkerut dalam, mengawasi. Ia lantas berjalan cepat menghampiri.

"Ibu lagi ngapain?" Tanya Karlina melihat Wasti hendak mengambil pasta gigi.

Wasti tak menjawab. Kedua alisnya mencuram dan bibirnya berkerut. Ia membuka tutup pasta gigi dan mencolek isinya sedikit. "Ngobatin luka saya lah! Kamu pikir apa?"

"Jangan pake odol, Bu. Pake air mengalir. Nanti berbekas."

"Peduli apa sih kamu?!"

Karlina tak menghiraukannya. Ia meraih tangan Wasti dan membuka keran, membasuh tangan Wasti dengan telaten. "Kalau luka juga, Bu, seperti luka jatuh, lebih baik di basuh di air mengalir. Biar nggak kotor, dan nggak terjadi infeksi. Nantinya juga, kalo sembuh, insyaa allah nggak terlalu berbekas."

Wasti hanya diam, memperhatikan.

"Udah." Karlina menutup keran. "Ayo, Bu, di keringin dulu."

Kesal di wajah Wasti sedikit terurai. Kedua matanya tak lepas menatap Karlina. Ia duduk di kursi, setelah Karlina menyuruhnya duduk dan Karlina mengangkat ayam yang sudah hampir matang. Ada sesuatu yang mengusik perasaan Wasti.

Selesai mengangkat ayam, Karlina menghampiri Wasti. Kekhawatiran tergurat jelas di wajahnya. "Masih sakit ya, Bu? Ibu diem aja dulu ya?"

"Lina." Wasti menatap wajah Karlina dengan lekat. Sejenak, matanya bergulir ke arah lain dan diam tak bersuara.

"Kenapa, Bu? Ada yang sakit? Mau saya beliin obat? Kalo mau, saya minta Pak Naryo buat beliin."

"Nggk usah," tolak Wasti. "Kamu kenapa sih sok baik sama saya?"

"Lina nggak sok baik kok, Bu."

Kedua mata Wasti menyipit. "Terus kenapa kamu bantuin saya? Nggak ada urusan sama kamu."

Karlina tersenyum. "Apa Allah menolong hambanya juga butuh alasan?"

Wasti terdiam. Ada sesuatu yang membuat hatinya tercubit.

"Kalau Allah Yang Maha Perkasa dan pemilik seluruh alam dunia selalu menolong hamba-hambanya tanpa alasan, lalu kenapa kita yang hanya manusia lemah dan fana harus membutuhkan alasan untuk menolong orang?" Karlina tersenyum lembut. "Kalau liat Ibu, Lina selalu inget sama ibu Lina. Kangen banget sama beliau."

"Memangnya Ibu kamu kemana?" Tany Wasti sedikit ketus.

"Ibu Lina udah sama Allah, Bu."

Kembali, Wasti merasa ada yang menghantam hatinya. Ia tak bisa bersuara, lidahnya kelu. Perlahan-lahan, rambatan perasaan sesak menyentuh hatinya.

"Lina ... " Wasti menunduk dalam, suaranya terdengar sedikit bergetar, "saya minta maaf. Saya udah jahat sekali sama kamu."

Tanpa ragu, Karlina memeluk Wasti dan mengusap punggung Wasti dengan lembut. "Lina juga mohon maaf atas segala kesalahan Lina selama di sini. Lina sering bikin Ibu marah."

Tangis Wasti lirih terdengar dan Karlina tak berkata apapun. Tanpa sepengetahuan keduanya, sepasang mata melihatnya tak suka.

****

"Manda."

Sebelah alis Manda terangkat. "Apa, Ri?"

"Cewek mandang hubungan tuh kayak gimana sih?"

"Hah?" Ekspresi Manda untuk sejenak tanpa bingung, keningnya berkerut dalam tak mengerti. "Gimana?"

Ari mengalihkan pandangan, menarik napas panjang. "Cewek ngeliat sebuah hubungan itu gimana?"

"Tergantung sih, Ri. Ada yang mikir hubungan itu sebagai sumber bahagianya dia, ada yang mandang itu cuma pelampiasan. Gimana orangnya."

"Kalo misal ... " Ari memperbaiki posisi duduknya, bertanya lebih lanjut, " ... sampe nggak mau dengerin pendapat orang. Itu apa?"

"Ini masalah Kak Lina ya?"

Ari tak menjawab. Namun tak lama ia menghela napas panjang. "Kita udah punya bukti dan lo liat sendiri kelakuan suami Kakak gue, tapi gue takut Kak Lina nggak percaya. Kak Rani juga terlalu memihak si batu sapir itu."

"Ya gitu kalo seseorang memandang hubungan adalah sumber kebahagiaan dia." Manda meraih ponselnya, lalu mengetik sebelum kembali menatap Ari. "Makanya gue ogah pacaran lagi. Bisa bikin ketergantungan."

"Ngeri."

"Emang. Cinta nggak selalu ramah ketika lo terlalu menganggapnya sebagai pusat dunia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top