Episode 25
BARU SADAR KHM NGGAK LENGKAP SENDIRI:( MAAPIGAAIIISSSS, TAPI UDAH UPDATE KOOK, SELAMAT MENYELAM TANPA ERLU KE LAUT.
[ ... ]
"Jangan kebanyakan klorinnya, Pak."
Tubuh Pak Naryo mendadak kaku. Gerakan menuang cairan dalam tutup botol ke dalam ember terhenti tak kala suara sang majikan terdengar. Pak Naryo mengangkat pandangan, melihat Zafir yang berdiri tak jauh darinya sambil memperhatikan dengan seksama. Pengantin baru itu beberapa waktu yang lalu memerintahkannya untuk menyemprot area rumah dengan desinfektan.
Pak Naryo mengangguk. "Siap, Pak."
Bibir Zafir kembali merapat, kedua tangannya di belakang sambil memperhatikan. "Satu tutup botol aja, Pak!" Serunya kala Pak Naryo akan menuang kembali ke tutup botol kedua.
Pak Naryo mengangguk tanpa bantahan. Lelaki setengah baya itu kemudian menutup botol hijau berklorin dan menaruhnya. Ia mulai mengaduk campuran air dan klorin dengan tangan yang sudah memakai sarung tangan plastik dan siap ia pindahkan ke alat penyemprot.
Melihat Pak Naryo mulai berkeliling, menyemprotkan desinfektan, Zafir meraih botol hijau berklorin tersebut. Raut wajahnya sedikit muram. Hampir saja Pak Naryo menuang dua tutup botol. Di saat seperti ini, semua harus serba hemat.
Ia tidak bisa bekerja secara optimal karena lockdown akibat COVID-19, membuat Zafir harus benar-benar memutar otak untuk menghemat mengeluaran.
Dari dalam rumah, Karlina menghampiri. Ia cemas ketika melihat suaminya berdiri di depan rumah, mengkomandoi Pak Naryo yang tengah menyemprot desinfektan. Segaris senyum terangkat, betapa bahagianya Karlina. Selain tampan, baik dan murah hati, Zafir juga begitu perhatian.
Terbukti dengan Zafir yang memerintahkan Pak Naryo untuk menyemprotkan desinfektan agar seluruh anggota keluarga terhindar dari virus yang sedang merebak.
"Mas," panggil Karlina lembut.
Zafir menelan ludah kering, suaranya terdengar begitu indah syahdu, tetapi Zafir menolak untuk terpesona. Ia menutup mata sejenak dan untuk sesaat ekspresinya berubah tak suka sebelum berbalik dan mengumbar senyum.
"Sayang," Zafir tersenyum melihat kedua mata Karlina membulat, kaget. Ia terkekeh dan mengusap puncak kepala Karlina. "Kenapa di sini? Ayo masuk. Mommy udah kamu urusin keadaannya?"
Karlina memalingkan wajah, malu. "U—udah, Mas. Lina baru aja bantu Mommy ganti baju."
Gitu dong. Tanpa harus gue suruh, udah sadar sendiri. Nggak rugilah, batin Zafir menyeringai puas.
Zafir mengusap puncak kepala Karlina yang tertutup jilbab pink. "Masuk ya? Mas nggak mau kamu kenapa-kenapa. Kamu sama Mommy aja."
"Tapi, Mas .. " Karlina ragu. Ia juga mengkhawatirkan keselamatan Zafir. Sekalipun virus Corona lebih rentan menyerang pada usia lanjut, tetapi jika sistem imun sedang tidak bagus, bisa saja menyerang siapapun tanpa pandang bulu.
Seringai yang hendaknya terbit, urung terjadi. Melihat kecemasan yang tulus datangnya dari kedua manik indah Karlina, Zafir merasa ada yang ganjil dalam hatinya. Senang, hangat dan beberapa hal yang Zafir tidak pahami.
Zafir menghela napas. "Masuk. Kamu sama Mommy aja ya. Mas mau bantuin Pak Naryo dulu nyemprot desinfektan." Takut nuang klorin kebanyakan.
Mau tak mau, Karlina akhirnya menurut. "Iya, Mas. Lina duluan ya, Mas. Hati-hati." Ungkapnya tanpa memandang Zafir, malu.
Kekehan pelan terdengar, Zafir menepuk kepala Karlina. "Iya, Sayangku."
Tak tahan, Karlina memilih kembali masuk ke depan dan sementara Zafir yang masih berdiri memandang kepergian Karlina langsung terdiam. Ia berdiri menyamping, menggaruk pelipisnya, bingung atas hati dan logikanya yang seakan tak berjalan beriringan.
Gue kenapa sih? Batin Zafir bingung. Berulang kali ia menegaskan kembali niatnya menikahi Karlina, tetapi hal itu malah membuatnya pusing. Akhirnya ia memilih melipir, berjalan ke samping rumah untuk masuk ke dapur, mengambil minum dan duduk.
Dari sudut terhalang tanaman hias tinggi, Wasti mengintip dengan raut wajah penuh dengki. "Hm! Pembantu nikah sama majikan, ya jelas belagu. Nggak terima aku, Si Lina jadi majikanku. Mending Non Shiren!"
Setelah meluapkan kekesalannya, Wasti mengambil ember dan lap pel sebelum kembali ke belakang untuk menaruh dua benda tersebut.
Di sisi lain, Pak Naryo tengah asik menyemprotkan cairan desinfektan ke seluruh area rumah. Tak lupa, ia memakai masker lengkap, sarung tangan dan kacamata hitam miliknya.
Biar matanya terlindung dari Corona.
Dari balik pagar, suara derap langkah terdengar cepat mendekat. Pak Naryo yang asik dan tak sadar, terus saja menyemprot hingga tak sadar ada yang datang dari balik gerbang.
"Aduh!!! Apaan sih ini?!" Jerit Shiren. Ia menutup mukanya. "Ah! Aduh!! Perihhh!"
Pak Naryo terdiam, ia tengah mencerna apa yang baru saja terjadi. "Non, Non nggak papa?"
"Nggak papa apanya!" Bentak Shiren. Ia masih menutup mata ketika wajahnya begitu pas terkena semprotan berbau kimia menyengat. "Gimana sih?! Kalo saya buta gimana?! Ini sakit banget ya ampun!!"
"Waduh!" Terkesiap kaget, Pak Naryo spontan berteriak, "TOLONG!!!"
Tak peduli dengan teriakan menganggu itu, Shiren hanya terus menutup mata, tapi ia juga berharap jika Zafir yang menolongnya. "Aduh!! Sakit banget!"
Shiren merasakan tubuhnya di bimbing untuk berjalan masuk. Ia sedikit percaya diri, pasti yang membantunya adalah Zafir.
Dinginnya air menyapa wajah Shiren, ia terus menutup mata dan pasrah. Ketakutan matanya buta karena cairan berbau menyengat itu membuatnya diam tak bergerak. Setelah dinginnya air, sekarang ia merasakan wajahnya di usap pelan oleh kain lembut dan ketika tak ada lagi yang ia rasakan, Shiren tersenyum.
"Makasih, Mas Za—" tenggorokan Shiren tercekat. Bukan wajah tampan dengan rahang tegas menawan yang ia lihat, melainkan wajah perempuan yang menjadi pangkal kekesalannya. "NGAPAIN KAMU?!"
Karlina tersentak, tubuhnya mundur kaget. Beruntung Zafir selalu setia berdiri di belakangnya hingga menahan tubuh Karlina agar tak terjatuh.
Wasti yang melihatnya diam-diam mengubah raut wajahnya menjadi muak tak suka.
Pak Naryo meneleng, mengintip. "Non nggak papa?" Tanyanya merasa bersalah.
Kedua mata Shiren mendelik pada Pak Naryo, sebelum beralih menatap pada Zafir yang tengah bertanya penuh kelembutan tentang keadaan wanita itu. Sejenak, sorot mata terluka dan sesak timbul bersamaan. Shiren merasakan patah hati yang luar biasa.
"Mas Zafir." Panggilnya dan membuat pasangan suami istri itu menoleh. "Mas, beneran udah nikah?"
Zafir mengangguk.
Sumbu amarah Shiren terbakar, membuat mesiu terpendam menyala berkobar. Ia berdiri, memandang dengan sorot terluka dan marah bercampur benci. "Mas nggak bisa gitu dong!"
"Nggak bisa apa?"
"Kenapa Mas nggak ngasih tau aku?! Terus kenapa Mas bisa nikah sama cewek miskin itu!" Tunjuknya pada Lina. "Ada aku, Mas! Aku yang sederajat sama kamu dan aku yang selalu cinta kamu! AKU, MAS!"
Mata Zafir bergulir ke samping, tapi lo nggak bisa dipake buat jagain Mommy.
Karlina mendongak, menatap Zafir dan suamianya itu dengan pas menunduk lalu tersenyum, seolah menguatkan.
Wajah Shiren memanas. Kedua tangannya mengepal erat. Gemuruh di dada kian menjadi tak kala harapan besarnya telah hancur direnggut seseorang yang berada jauh di bawahnya.
"KAMU JAHAT SAMA AKU, MAS!!!"
"Jahat apa?" Tanya Zafir terlampau santai. "Saya nggak pernah—"
"Tapi Mas selalu nerima semua perhatian aku!" Potong Shiren dan entah sejak kapan, Wasti berada di sampingnya, mengusap lengannya. Ia menoleh pada Wasti. "DIEM KAMU! NGGAK USAH SOK BAIK!"
Wasti menarik kembali tangannya, berjalan pelan, berdiri di samping Pak Naryo.
Pak Naryo menoleh. "Dibilangin apa? Diem aja. Jangan ikut campur." Dan Wasti hanya diam.
"MAS!!"
"APA?!" Suara Zafir menyentak keras. Shiren terkesiap, dan setetes air mata jatuh. "Hati saya hanya untuk istri saya! Soal saya yang menerima perhatian kamu, harus kamu tau kalau saya hanya menganggap kamu sebatas bawahan!"
"Tapi aku cinta kamu, Mas."
"Saya nggak cinta kamu," ucap Zafir penuh penekanan. "Apalagi yang belum kamu pahami?"
"Kenapa Mas nggak ngundang aku ke pernikahan—"
"Karena kamu tidak penting. Kehadiran kamu sama sekali tidak dibutuhkan!"
Bibir Shiren terbuka, memandang tak percaya. Ia menatap penuh luka pada Zafir. Raut wajah pria itu begitu keras, tanpa gurat ramah ataupun tanda berniat meminta maaf. Pastinya tidak.
Shiren tidak terima. Ia mengarahkan tatapan penuh kebencian pada Karlina, membuat wanita berjilbab pink itu beringsut ketakutan.
"Oke!" Serunya. "Aku pergi, Mas." Ia melirik pada Karlina. "Dan lo! Gue nggak pernah ridho Mas Zafir nikah sama lo. Gue sumpahin lo ngerasain lebih dari yang gue rasain saat ini!"
Dengan penuh luka berdarah yang tersayat di hati, Shiren melangkah cepat, membawa dirinya yang sudah kecewa pergi dari rumah megah tersebut.
Karlina dilanda tremor kecil. Ia takut. Takut jika ucapan Shiren akan menjadi kenyataan.
"Mas," adu Karlina.
Zafir menunduk, mengulas senyum manis. "Mas nggak akan pernah ngebiarin kamu terluka, Sayang. Mas akan selalu jaga kamu."
"Janji?"
"Iya." Gimana nanti.
-—-—-——
Ketika masalah datang dan tak bisa ia urai untuk diselesaikan, nongkrong adalah salah satu penyegar penat Ari. Ia duduk, sambil sesekali menghela napas panjang, resah.
"Kenapa lo?"
Ari mengangkat pandangan, menatap gadis seusianya yang tengah mengambil kacang kulit. "Gue lagi mumet, Man. Mending lo jangan banyak tanya."
"Oh." Manda memasukkan kacang ke depan mulut, mengunyahnya lalu mengambil lagi sebuah kacang. "Kalo lo mau cerita, cerita aja."
Ari terdiam sejenak. "Nanti deh."
"Oke."
Pandangan Ari terangkat, menatap langit. Saat ini ia tengah duduk santai menemani Manda—teman semasa SD-nya di teras rumah gadis tomboi itu. Lebih baik pergi menepi sejenak daripada ia harus bertahan di rumah dan tidak bisa mengontrol mulutnya ketika emosi melanda.
"Kakak gue nikah, Man." Manda mengangkat pandangan, sebelah alisnya terangkat. "Kakak gue yang nomer satu."
"Oh. Ya ... terus kenapa? Harusnya lo seneng dong." Manda sebenarnya tak terlalu tahu tentang keluarga Ari, ia hanya tahu Ari memiliki dua kakak perempuan.
Ari terdiam cukup lama. "Gue nggak suka kakak ipar gue."
"Kenapa?"
"Gue ngerasa dia nggak tulus sama kakak gue. Dia emang keliatan baik, tapi gue ngerasa itu cuma pencitraan."
"Perasaan lo aja kali. Jangan baperan kayak cewek lah. Najisin," balas Manda enteng. "Gue juga lagi mumet sih sebenernya."
"Mumet kenapa?"
Manda menyandarkan punggung, menghembuskan napas kasar. "Lo tau sendiri Kakak gue udah dipecat dari tempat kerjanya sama atasan sarapnya."
Ari diam mendengarkan.
"Tau nggak kenapa kakak gue di pecat?" Ari menggeleng pelan. "Cuma karena ngomongin itu bos terus ketahuan!"
Manda mendengkus. "Kudunya tuh orang stress mikir, kenapa dia sampe diomongin sama pegawainya. Bukannya langsung mecat kakak gue. Nggak punya otak emang! Kesel gue, serasa mau gue pecahin aja palanya."
"Padahal lo datengin."
Manda menarik kursi, mendekat. "Itu orang medit banget!!! Masa di kantor nggak ada kopi, diganti sama teh herbal? Di kata Kakak gue apaan? Terus kalo sakit, denda 300 ribu! Sarap nggak tuh? Kuburannya sempit kali dah tuh orang!"
Bibir Ari bergetar, menahan senyum. "Sekarang Kakak lo gimana?"
"Ya ... " Manda sedikit mengendurkan urat sarafnya yang tegang. "Ada cewek yang demen ama kakak gue, dia ngasih kerjaan sama kakak gue. Lumayan meskipun cuma jadi satpam."
"Alhamdulilah segitu juga."
"Iya, alhamdulilah gue sama kakak gue masih bisa makan."
"Lo tau siapa bos kakak lu itu?"
"Taulah! Gue ada niatan buat nyantet tuh orang! Gedek abis gue. Izin sakit harus bayar 300 ribu! Kasian Kak Gio. Nggak ngotak kali tuh ya." Sungut Manda emosi.
"Nama siapa? Gue bantuin cariin dukun deh."
"Namanya Zafir."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top