Episode 22
"Hah ... "
Karlina menghembuskan napas panjang. Ia duduk di dapur sambil menyentuh pelipisnya yang terasa berdenyut nyeri. Saat ini fokus Karlina tengah tercerai-berai. Dalam sehari ini saja, ia sudah memecahkan dua piring dan hampir lupa memberi terapi rutin untuk memulihkan keadaan Nyonya Misha.
Kehadiran wanita cantik dengan polesan make up mencolok itu sedikit mengusik ketenangan hati Karlina. Senyum sinis ketika bersalaman terus terekam di benak Karlina. Sekalipun Zafir mengenalkannya sebagai sekretaris dan akan menginap karena pekerjaan, tetapi tak mampu meredakan kegelisahan hati Karlina. Ia takut, Zafir akan pergi darinya.
"Nggak mungkin. Mas Zafir pasti tepat janji. Dia udah bilang sama Ayah mau nikahin aku." Gumam Karlina, berusaha menepis pikiran negatif.
Iya, Mas Zafir nggak mungkin berpaling. Iya 'kan? Batin Karlina kembali bergumam meyakinkan.
Pada dasarnya, ketika seseorang jatuh cinta ia akan menemui tahap cinta buta. Tahap di mana hanya sifat-sifat positif yang akan dilihat dan menepis segala kemungkinan hal negatif, menjadikan sang pujaan hati sebagai segala pembenaran atas segala hal dan mungkin Karlina tengah berada dalam fase tersebut.
Wasti berjalan menuju dapur sambil membawa piring kotor bekas Misha makan. Ketika ia hampir sampai, langkahnya terhenti dan matanya memicing melihat Karlina duduk melamun.
"Itu perempuan ngapain sih di situ? Sok-sokan duduk ngelamun kayak di sinetron. Di kata cantik? Cantikan juga saya!" Cibir Wasti.
Wasti berjalan menuju wastafel, menaruh piring dan menyalakan air. Mendengar suara aliran air, Karlina tersentak kaget dan melihat Wasti tengah mencuci piring. Secara spontan ia berdiri, menawarkan bantuan pada Wasti.
"Nggak usah!" Ketus Wasti. "Mending kamu lanjutin aja ngelamunnya. Nanti piringnya pecah lagi. Emangnya kamu sanggup ganti rugi? Kamu pikir piring di sini murah?"
Dada Karlina terasa berat, sesak mendengar ucapan Wasti. "Maaf, Bu. Lina tadi nggak sengaja."
"Kalo nggak betah kerja di sini, mending keluar aja." Sambil mencuci, Wasti sesekali melirik sinis pada Karlina. "Daripada bikin rugi yang punya rumah. Ngelamun aja kerjanya."
Karlina merasa tersindir sekaligus malu. Ia membenarkan ucapan Wasti. Hatinya tengah diliputi gundah gulana, membuat kinerjanya tidak maksimal. Harusnya ia bisa bekerja dengan profesional, memisahkan urusan hati dan juga pekerjaan.
"Lina mohon maaf, Bu," sesal Karlina.
Wasti menaruh piring di rak, mematikan air lalu mengeringkan tangan dengan lap. "Ya jangan minta maaf sama saya dong! Nggak nyambung!"
Bibir Karlina terbuka hendak bicara, tetapi ia kembali merapatkan bibir ketika dengan angkuhnya Wasti pergi meninggalkannya di dapur.
Karlina tertunduk dalam. Sebelum Ibunya meninggal, Ibunya selalu berpesan untuk selalu tegar dan kuat menghadapi segala ujian. Jangan mudah mengambil hati ucapan orang lain. Hanya akan membuat hidup terus terbebani. Namun Karlina tidak bisa menampik, kedatangan perempuan yang diakui Zafir sebagai sekretarisnya benar-benar mengusik Karlina, dan di tambah lagi ucapan Wasti yang terasa begitu menyakiti hatinya.
Satu persatu air mata Karlina berjatuhan dalam kesendiriannya.
———
Malam hari, Zafir baru pulang bersama sekretarisnya, Shiren. Wanita itu tampak terus mengumbar senyum di depan Zafir dan entah hanya perasaan Karlina tetapi Shiren selalu membusungkan dada ketika berdekatan dengan Zafir. Tidak perlu pemikiran dalam untuk mengetahui Shiren tertarik pada Zafir.
"Non Shiren mau makan apa?" Tanya Wasti ramah. Ia senang melihat sekretaris majikannya itu. Terlihat modis dan cantik.
"Apa aja deh, Bi. Aku yakin makanan masakan Bibi pasti enak. Jadi terserah Bibi aja mau masakin apa," Ucap Shiren tersenyum, memuji.
Wasti tersenyum malu. "Non bisa aja. Saya masakin ikan kuah kuning aja ya? Non suka ikan nggak?"
Kedua mata Shiren berbinar. "Ih kok Bibi tau makanan kesukaan aku? Jangan-jangan kita sehati, Bi."
Hati Wasti berbunga-bunga. Wanita di depannya, sudah cantik, modis, ramah pula. Tidak ada yang kurang dari wanita berambut panjang itu. Wasti akan mendukung penuh seandainya Shiren yang menjadi calon istri majikannya, bukan perempuan lemah yang mudah menangis dan tidak sederajat dengan majikannya.
Perempuan tidak tahu diri.
Shiren tersenyum penuh kemenangan. Matanya berkilat licik ketika melihat perempuan berjilbab yang ia tahu calon istri bosnya itu tampak terdiam ketika ia bercengkrama dengan pembantu rumah Zafir. Shiren tidak tahu mengapa, tetapi ia merasa pembantu Zafir seperti tak suka pada Karlina.
Karlina menutup termos, mengambil sendok dan mengaduk teh manis buatannya. Wasti begitu ramah pada Shiren, berbanding terbalik ketika bicara padanya.
"Kamu ... " suara angkuh Shiren menghentikan langkah Karlina, " ... yang namanya Karlina?"
Shiren melirik ke arah lain, memastikan Zafir tidak ada. Bagus, Zafir belum kembali setelah berkata ingin bicara dengan ibunya, memberikan Shiren kesempatan untuk menekan perempuan yang begitu lancang mengambil posisi incarannya; calon istri Zafir.
Jantung Karlina berdegup lebih cepat. "Iya. Saya Karlina. Kenapa, Kak?"
Shiren melipat kedua tangan di depan dada, menelisik penampilan Karlina. Tak lama, senyum sinis muncul disaat kesan tak pantas dan kampungan yang ia dapat. "Dari mana kamu? Kok bisa kerja sama Mas Zafir?"
"Mas?" Ulang Karlina. Ia kaget mendengar Shiren memanggil Zafir dengan sebutan Mas. Karlina pikir hanya dirinya yang memanggil Zafir dengan sebutan Mas, membuat Karlina berpikir dirinya istimewa, tetapi kenyataannya ada wanita lain yang menyebut 'Mas'.
"Iya! Mas Zafir sendiri yang nyuruh aku buat manggil Mas. Katanya biar lebih deket. Secara gitu kan, kami sering bareng di kantor." Shiren mengulas senyum manis, memasang ekspresi polos. "Kamu nggak tau?"
Karlina menggeleng.
"Oh ... " senyum Shiren tenggelam, seolah sedih. "Kasian banget. Jangan-jangan kamu nggak tau apa-apa ya soal Mas Zafir?"
"Lina tau kok." Meski gemetar saat menjawab, Karlina berusaha membalas. "Mas Zafir baik sama Lina. Mas Zafir udah izin sama Ayah Lina buat nikahin Lina."
"Baru izin," cibir Shiren. "Belom sampe nikah. Yang nikah aja bisa cerai. Kamu gimana sih? Dipake dong otaknya. Jangan dulu sombong, Mbak."
"Tapi, Mas Zafir udah janji kok," Ucap Karlina keukeuh. Ia mulai gerah dengan sikap wanita didepannya. Shiren bicara seolah Zafir akan mengkhianatinya.
Shiren tersenyum sinis. "Emangnya kamu punya apa sampe Mas Zafir harus memperjuangkan kamu? Mas Zafir itu ganteng, kaya, baik, idaman banget deh. Nah kamu? Aduh ... nggak banget."
Mulut wanita itu benar-benar tajam. Hati Karlina panas membuat dadanya naik-turun cepat karena emosi yang meluap. Seandainya Karlina punya keberanian lebih seperti kebanyakan perempuan yang bisa mengungkapkan emosinya, mungkin Karlina sudah menjambak rambut ombre Shiren.
"Siapa yang nggak banget?"
Suara berat bernada dingin merasuk ke telinga keduanya. Shiren terdiam membeku dalam keterkejutan bercampur takut. Ia bahkan taka berani menoleh. Sementara Karlina yang juga kaget, memiringkan kepala melihat Zafir yang berjalan mendekat.
"Mas?" Panggil Karlina.
"Kamu nggak papa, Sayang?" Tanya Zafir mengusap puncak kepala Karlina. Lewat sudut mata, ia melirik tajam pada Shiren yang melebarkan mata terkejut.
Sialan. Itu perempuan kalo ngomong suka nggak bener. Kalo sampe Karlina mundur, nggak mau jadi istri gue, gimana Mami? Tolol! Perempuan tolol!
"Pak—Pak Zafir ... " ucap Shiren gugup. Perlahan ia membuka lipatan tangannya sambil melihat ke arah lain tak berani. "Saya ... "
Zafir berbalik menatap Shiren, menyembunyikan Karlina di belakang tubuhnya seolah melindungi. "Kamu tadi ngomong apa?"
Lidah Shiren kelu. Gila saja jika ia bicara mengenai apa yang tadi ia ucapkan pada Karlina. Ia kesal dan marah. Kenapa waktunya begitu tepat? Padahal tadi ia lihat tidak ada tanda-tanda Zafir akan ke dapur. Sialan, umpat Shiren dalam hati. Pandangannya terangkat, menatap Karlina penuh kebencian.
"SHIREN!" Bentak Zafir.
Tubuh Shiren tersentak. Kedua matanya menatap nanar pada Zafir. Hatinya berdenyut sakit. Selama ia bekerja dengan pria tampan itu, baru kali ini ia dibentak. Dulu, sekalipun Zafir sering bersikap acuh dan dingin, tetapi tak pernah ada sikap Zafir yang demikian.
"Mas, udah. Nggak papa," bujuk Karlina. Ia menyentuh lengan Zafir. "Lina nggak papa kok."
Zafir tak bergeming, terus menyorot tajam pada Shiren. "Sekali lagi kamu mengusik calon istri saya. Lebih baik kamu keluar dari perusahaan. Saya nggak butuh karyawan yang nggak berkompeten seperti kamu!"
Shiren terdiam, menunduk sambil meresapi denyutan di hatinya lalu kemudian ia mengangguk kaku. "Baik, Pak. Saya minta maaf."
"Jangan minta maaf sama saya, minta maaf sama CALON ISTRI saya!"
Untuk beberapa saat, rahang Shiren mengetat kesal sebelum akhirnya ia menekan semua kekesalannya dan mengangkat pandangan, melihat pada Karlina. "Aku minta maaf."
"Iya. Nggak papa," ucap Karlina mengulas senyum tipis.
Zafir melepas napas kasar. Apa gue harus buru-buru nikahin Lina ya? Makin ke sini, makin banyak halangan buat nikahin dia, tapi gue juga nggak mau kalo harus biayain keluarganya. Sayang duit gue.
Setelahnya, Zafir meminta izin pada Karlina untuk meneruskan pekerjaan di ruang kerjanya dan sebelum pergi, Zafir mengusap puncak kepala Karlina, membuat Shiren kembali terbakar cemburu.
Cewek kampungan nggak tau diri! Batin Shiren.
------
Weeeuuuzzhhhhh! Kambek! Diketik oleh Asean26 semoga kalian suka, terimakasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top