Episode 21
Zafir sampai di kantor dengan menaiki ojek online yang di pesankan oleh adik dari Lina tanpa harus mengeluarkan uang. Walaupun harus terkena debu dan kemeja kerjanya harus terkena asap kendaraan dan panas matahari yang membuat baju apek, Zafir tetap menikmatinya karena tidak perlu membayar.
Apapun itu asalkan gratis kenapa nggak, sepertinya nanti harus minta minyak wangi milik Shiren, ujar Zafir dalam hati.
Memberikan helm pada pengemudi ojek online, Zafir langsung pergi tanpa mengucapkan terima kasih dan membuat pengemudi ojek online menggelengkan kepala atas sikap yang sangat baik yang di tunjukkan oleh penumpangnya yang satu itu.
Zafir melangkahkan kaki gontai memasuki Ikhsan Group, saat masuk ke dalam perusahaan Zafir menggelengkan kepala saat bau matahari begitu menyengat di indra penciumannya, membuat kepalanya mendadak pening karena bau yang tidak menyedapkan.
Membuka jas yang sebelumnya ia gunakan, Zafir melipat has tersebut lalu meyampirkannya di lengan tangan kirinya. Menuju salah satu lift, ia menekan tombol yang naik ke atas, setelah menunggu beberapa saat, pintu lift terbuka dan menunjukkan Shiren dengan bibir merah merona yang tersenyum kearahnya.
Sebelah alisnya terangkat, Zafir menatap sekertarisnya bingung. “Ada apa, dan kamu mau kemana?”
“Saya baru mau beli kopi Pak, Bapak mau?”
“Boleh,”
Mengurungkan niatnya untuk pergi ke ruang kerja yang ada di lantai paling atas, Zafir berjalan di sebelah Shiren dengan kepala yang sedikit tinggi memperlihatkan sikap angkuh dan yang tersembunyi di balik wajah tampannya.
Saat berjalan di sebelah Zafir, Shiren mencium bau matahari yang menyengat dari tubuh Zafir dan membuatnya reflek mengibaskan tangan di depan wajah, membuat Zafir menoleh kearahnya dengan tatapan datar.
“Kenapa kamu, ada masalah?” tanya Zafir dengan nada tidak suka.
“Bu–bukan! A-ku hanya mencium bau matahari yang sangat menyengat, mau aku belikan parfum? Maaf bukan bermaksud menyinggung sebelumnya.”
Begitu, memang seharusnya begitu Shiren. Melirik Shiren sinis, Zafir memilih untuk mengambil satu roti dan satu snack kecil yang harganya terjangkau untuk di makan di ruangannya nanti.
Melihat itu, Shiren benar-benar di buat panik karena Zafir tidak merespon ucapannya, bahkan lelaki itu menatapnya dengan tatapan sinis yang sungguh, itu membuat hatinya terluka.
Pokoknya aku harus menangin hatinya Mas Zafir, dia nggak boleh sampai marah sama aku! Aku harus bayarin semua makanannya, itu cara terampuh membuatnya luluh dan berpikir aku wanita loyal yang mencintainya dengan begitu tulus, batin Shiren.
“Mmm.. Pak, ambil yang besar aja chiki sama rotinya, biar saya yang mentraktir hari ini,” ujar Shiren dengan mengambil keranjang berwarna biru yang di isi minyak wangi untuk laki-laki, roti, snack, dan satu bungkus permen.
“Nggak perlu!”
“Pak, kata Ibu saya tuh ya, menolak rezeki itu nggak boleh Pak,”
saya nggak akan menolak selama gratis, setidaknya harus jual mahal sedikit agar kamu semakin memaksa dan membuat saya seolah mengalah seperti tipe laki-laki yang kamu inginkan, mengalah pada perempuan.
Tanpa Shiren sadari, Zafir menunjukkan seringaian tipis saat tangan kananya menaruh roti dan snack ke dalam keranjang biru. Berdiri di sebelah Shiren yang mengantri di kasir, tangan Zafir bergerak seolah ingin mengeluarkan dompet, membuat Shiren buru-buru mencegah hal itu dengan mengeluarkan kartu credit card miliknya untuk membayar.
“Kan saya yang traktir Pak,” kesal Shiren. Saat ingin melanjutkan ucapannya, Shiren di tanya oleh penjaga kasir apa ada tambahan atau tidak di belanjaannya, dengan cepat, Shiren menjawab. “Americano satu, dan Espresso satu.”
Menyebutkan semua totalnya, penjaga kasir menyuruh Shiren untuk memasukkan password credit cardnya. Dengan lincah, jari telunjuk Shiren menekan angka-angka, setelah itu menekan tombol yang berwarna hijau.
Menunggu beberapa saat, Shiren dan Zafir mengambil pesanan mereka berdua dan Shiren memberikan minyak wangi pada Zafir.
“Apa ini, kamu mau bilang kalau saya bau?” ketus Zafir.
Menggeleng panik, Shiren menatap Zafir dengan tatapan berkaca-kaca. “Bu–bukan begitu Pak, sebentar lagi kita akan rapat dan nggak mungkin Bapak hadir dengan keadaan yang nggak sempurna.”
“Tubuh saya lengkap, bagian mana yang tidak lengkap?”
“Bukan Pak, maksud saya bukan seperti itu, tetapi soal kemeja Bapak yang bau matahari. Jadi saya memberikan minyak wangi untuk Bapak.”
Kena kamu Shiren, aku memang butuh minyak wangi, walaupun minyak wangi murah seperti ini, tetapi lumayan aku tidak perlu mengeluarkan uang. batin Zafir senang.
“Hm.”
------
Lina duduk di atas tempat tidurnya dengan kedua tangan yang menangkup rahangnya. Menghela napas kasar, Lina menggelengkan kepala saat mengingat cara Ari berbicara pada Zafir.
Dalam hati Lina berdoa agar Zafir tidak membatalkan niat baiknya untuk menikahi dirinya, tetapi di sisi lain, ia tidak mau membuat adiknya membenci dirinya karena keinginannya untuk bersama Zafir.
“Memangnya apa yang salah dengan Mas Zafir? Dia baik, tampan, mapan, dan Sholeh, lalu apa yang membuat Ari menolak sampai seperti itu?”
Kepalanya bergerak miring, kedua matanya menyiratkan rasa tidak puas bahkan taut wajahnya terlihat sangat kusut karena jawaban Ari, satu-satunya orang yang berhak menjadi walinya jika ia menikah dengan Zafir.
Mencengkram kepala nya sendiri, Lina berteriak tanpa suara, kedua matanya terbuka lebar, begitu juga dengan bibirnya, karena merasakan pusing yang tidak terkira. Menghembuskan napas berat, Lina membanting tubuhnya di atas tempat tidur.
“Ya Allah, Ri.. Sebetulnya apa yang salah sama Mas Zafir di mata kamu?” gumam Lina dengan punggung tangan yang menutup kedua matanya.
Saat Lina ingin memejamkan matanya, pintu kamarnya di ketuk dari luar, membuat Lina mengurungkan niatnya untuk tidur sebentar.
Beranjak dari tempat tidur, Lina merapihkan kerudung yang ia gunakan lalu membuka pintu kamar dan menemuka Wasti berdiri di depan pintu dengan Mommy Misha yang duduk di kursi roda.
“Ya Allah!” menengok jam dinding yang terpasang di dalam kamar, Lina menepuk dahi karena lupa membawa Misha pergi keluar untuk rutinitas baru nya di sore hari. “Mommy, maaf.. Lina baru sampai,” ucapnya penuh penyesalan.
Misha mengangguk, lalu menyuruh Wasti untuk mendorong kursi roda itu ke dalam kamar Lina, membuat ia mengerutkan dahi bingung.
Setelah mendorong kursi roda Misha ke dalam, Wasti segera pergi keluar kamar Lina dengan menutup pintu kamar. Melihat itu Lina menghampiri Misha lalu berjongkok di depan kursi wanita itu.
“Mommy...” panggil Lina. “Mommy kenapa, Mommy marah ya sama Lina?”
Misha menjawab dengan terbata, “Ng-nggak, ka-kamu da-dari ma-mana?”
“Lina tadi pulang sebentar karena Mas Zafir mau bertemu dengan Ayah Lina tadi.”
Pupil matanya melebar, Misha benar-benar terkejut saat mendengar ucapan Lina yang terlihat sangat serius dari raut wajahnya dan cara wanita itu berbicara.
Apa mungkin? Nggak, ini nggak boleh terjadi! Pasti Zafir sudah di guna-guna oleh Lina! sangkal Misha.
Melihat kedua mata Misha yang berlarian dengan kepala yang menunduk, Lina menyentuh punggung tangan itu lembut seraya duduk di atas lantai kamar.
“Mommy kenapa?” tanya Lina lembut.
“Ka-kamu bercanda y-ya?”
Sebelah alisnya mengerut sedangkan sebelah alisnya terangkat, Lina tidak mengerti apa yang di ucapkan oleh Misha saat ini.
Bercanda? Apa yang bercanda? Soal Mas Zafir yang datang kerumah? tanya Lina dalam hati.
Misha menepuk punggung tangan Lina yang terlalu lama terdiam hanya untuk menjawab pertanyaanya. Mendongakkan kepala, Lina menatap kedua mata itu saat tertarik kembali ke dunia.
“Ya Mom?”
Menggelengkan kepala, Misha menghembuskan napas berat.
“Su-sudahlah, a-ayo keluar.” katanya dengan memalingkan wajah ke samping.
Lina beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan memutar untuk mendorong kursi roda Misha keluar dari kamarnya setelah membuka pintu kamar.
Merendahkan sedikit punggungnya, Lina mengajukan pertanyaan setelah mereka sampai di taman dekat rumah.
“Mommy nggak suka ya Mas Zafir menikah dengan Lina?” tanya Lina dengan hati-hati.
Ya. jawab Misha dalam hati.
Misha benar-benar bungkam, tidak ingin menjawab pertanyaan Lina, tetapi hati kecilnya menjawab jika Lina adalah wanita baik yang pantas menjadi istri dari anak sematawayang nya, Zafir.
Kedua mata Misha menangkap siluet sesorang yang baru saja keluar dari mobil Porches Cayman dengan lengan kemeja yang di gulung sebatas siku.
Mendongakkan kepala, Misha menatap langit sore yang berwarna orange bercapur hitam, pertanda malam akan segera menyapa.
“Assalamualaikum, Ma, Dek.” ujar Zafir dengan menyalami tangan Misha, lalu mengusap kerudung yang di gunakan oleh Lina.
“Wa’alaikum salam, Mas.” jawab Lina dengan semburat merah di kedua pipinya.
“Wa’alaikum salam..” jawab Misha. mereka benar-benar serius menjalani hubungan? tanya Misha penasaran.
“Loh Mas, bukannya tadi Mas nggak bawa mobil ya?” tanya Lina bingung saat melihat Zafir menaiki mobil.
Terpaksa minta antar mobil, kalau nggak gitu nanti keluar uang, pemborosan tau! Zafir tersenyum hangat. “Iya, tadi minta di antar ke kantor mobilnya, karena ada meeting di luar kantor.”
Mengangguk, Lina tersenyum manis sampai kedua matanya membentuk bulan sabit. Namun senyum nya menghilang saat melihat orang yang keluar dari mobil Porsche Zafir.
Seorang wanita yang mengenakan pakaian ketat dan di atas lutut, kemudian tidak lupa wajah wanita itu terpoles oleh make up yang sangat ketara sedikit di lebih kan di bagian bibir.
Menipiskan bibir, Lina tersenyum kecil saat wanita itu bersalaman dengan Misha lalu menatap sinis kearahnya dengan senyum yang merendahkan.
Lina tidak tersinggung, sungguh! Ia sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang seperti wanita yang ada di hadapannya ini, bahkan ada yang lebih terang-terangan dengan mengatai dirinya penjilat.
“Mom, kenalin dia sekertaris Zafir, namanya Shiren,” ujar Shiren memperkenalkan.
“Ya,”
“Lina, dia sekertaris Mas, hari ini dia akan menginap dirumah karena ada pekerjaan yang harus Mas dan dia kerjakan,” terang Zafir dengan raut wajah memohon pengertian dari Lina.
Shiren melirik Lina dan Zafir bergantian dengan dahi yang mengerut tidak mengerti mengapa Zafir seolah meminta izin kepada orang yang di panggil Lina.
Mengangkat bahu ringan, Lina mendorong kursi roda Misha pergi untuk melanjutkan perjalanan yang tertunda dengan melewati Zafir dan Shiren begitu saja.
Zafir mengikuti pergerakan Lina, sampai membalikkan badan saat wanita itu sudah melewatinya.
“Apa itu jawaban Ya? Jika tidak Mas akan menyuruhnya untuk pulang sekarang juga,” ujar Zafir.
Shiren yang mendengar itu sukses membulatkan matanya tidak setuju sekaligus terkejut.
APA-APAAN ITU?! GILA! SIAPA LINA? KENAPA MAS ZAFIR SAMPAI SETAKUT ITU SAAT LINA HANYA MERESPON SECUKUPNYA?! murka Shiren.
Lina berhenti mendorong kursi roda Misha dengan kepala yang menoleh ke belakang, menatap Zafir dan Shiren bergantian.
“Lakukan pekerjaan Mas, jika itu memang harus di kerjakan secepat mungkin, Mommy pasti setuju jika itu menyangkut pekerjaan, tetapi jika bukan dan masih bisa dikerjakan di lain waktu, lebih baik di kerjakan di tempat lain dan orang yang lebih banyak.”
Setelah mengatakan itu Lina kembali melanjutkan perjalanannya dengan Misha. Shiren benar-benar melongo di tepatnya berdiri.
Gila! pekik Shiren.
Bola matanya melirik Zafir yang raut wajahnya tidak terbaca, tetapi saat Lina menengok kearah mereka berdua, senyum terpasang di wajah Zafir, membuat Shiren mengerutkan dahi.
“Pak, maaf dia siapa?”
Melirik sinis kearahnya, Zafir melangkah menuju ke mobilnya, membuat ia kerepotan harus berjalan cepat dengan menurunkan rok yang di gunakan sekaligus berhati-hati agar kakinya tidak terkilir karena sepatu hak yang tinggi.
“Bukan urusan kamu, lebih baik kita cepat mengerjakan materi untuk besok, setelah itu kamu pulang.” ujar Zafir saat mereka berdua berasa di dalam mobil.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top