Episode 19

Dedaunan kering berserakan, jatuh dari pohonnya tertiup angin. Meski matahari beranjak naik tetapi hawa sejuk masih terasa dari pepohonan. Ditengah sejuknya suasana, suara sapuan kasar terdengar.

Wasti tengah menyapu penuh penekanan, membuat suara yang didengar juga kental akan rasa kesal. Bibirnya menipis disertai wajah yang ditekuk. Sesekali gerutuan muncul dari mulutnya.

"Mau nikahin si Lina," cibir Wasti. "Emangnya Lina punya apa? Nggak pantes jadi istrinya Pak Zafir."

Di sisi lain, Pak Naryo yang baru saja selesai mencuci mobil berjalan pelan sambil membawa kopi. Ketika telinganya menangkap gerutuan Wasti dan sapuan kasar, ia berhenti sejenak sebelum memutuskan mendekat.

"Kenapa sih, Ti? Ngomel aja kerjaan kamu," tanya Pak Naryo lalu menyesap kopi susu buatannya. Jelas terlihat Wasti tengah kesal. Bukannya menjawab, wanita paruh baya itu malah menyapu semakin kasar.

"Ya gimana nggak ngomel. Katanya Pak Zafir mau nikahin Si Karlina!"

Byur!

Terlampau kaget, kopi yang masih berada di mulut Pak Naryo menyebur. Sisa kopi tersisa di dagunya, ketika ia menatap Wasti kaget. Wasti semakin kesal melihatnya, terutama lagi ketika melihat senyum cerah dari supir pribadi majikannya itu.

"Wah ya bagus itu. Karlina itu anaknya baik," sahut Pak Naryo antusias, tersenyum semringah.

"Baik gimana? Dia yang bikin Tini di pecat."

Pak Naryo tertawa pelan. "Kamu punya dendam apa sama Lina? Tini di pecat bukan karena Lina. Memang karena salah dia."

Bibir Wasti terbuka siap menyanggah, tidak terima ketika merasa Pak Naryo memojokkannya. Namun kemudian, Pak Naryo lebih dulu menyahut.

"Lina pernah ngelakuin apa sama kamu?" Perlahan, Pak Naryo menyesap kembali kopi. Menyecap sisa pahit dan manis di bibirnya, Pak Naryo kembali bicara, "kasian, Ti. Misal kamu punya anak perempuan dibegituin sama orang gimana?"

Wasti tidak menjawab. Percuma, Pak Naryo berada dipihak Karlina jadi apapun alasan yang diungkapkannya pastilah akan berujung dengan dirinya yang salah. Wasti tidak suka, membuatnya hanya bisa terus mengomel di dalam hati.

"Aku duluan, Ti. Mau ngaso dulu," Pamit Pak Naryo. Wasti masih diam, tidak menjawab dan hanya terus menyapu dengan kasar.

Pak Naryo hanya bisa tersenyum geli. Ia paham betul kekesalan Wasti, tetapi baginya terasa lucu. Wasti seperti anak gadis yang cemburu laki-laki yang ditaksirnya menyukai perempuan lain. Namun sudahlah, jika memang benar majikannya ingin menikahi Karlina, Pak Naryo akan mendukung. Gadis itu ramah dan baik hati, mengingatkannya akan anak gadisnya di kampung.

Dedaunan sudah selesai dikumpulkan, malas membakar karena sedang kesal, Wasti memilih kembali masuk ke dalam rumah setelah menyimpan sapu.

Wasti berniat mengambil air di dapur, menyegarkan tenggorokan, tetapi seakan tersulut api, kekesalan Wasti bertambah saat melihat Karlina tengah membuat teh di dapur.

"Karlina!" Bentak Wasti sambil mengayunkan kakinya cepat menuju Karlina.

Tubuh Karlina terperanjat kaget, gelas dalam pegangannya hampir lepas dan jatuh bila ia tidak hati-hati. "Iya, Bu?"

"Pake pelet di mana kamu? Hebat loh sampe bisa bikin Pak Zafir mau nikahin kami," tuduh Wasti seketika. "Pake di mana?"

"Pelet apa, Bu?"

"Halah! Pura-pura nggak tau. Kamu pake pelet 'kan biar Pak Zafir mau nikahin kamu? Rasanya nggak mungkin kamu disukain Bapak. Kamu tuh nggak ada apa-apanya sama Bapak. Seneng ya pas Pak Zafir mau nikahin kamu?"

Kedua mata Karlina menatap nanar pada Wasti. "Bu, Lina nggak—"

"Kamu sama saya itu nggak jauh beda! Sama-sama pembantu, harus sadar diri. Jangan mimpi nikah sama Pak Zafir. Ngurusin Ibu aja masih nggak bener, ini pengen nikah sama Pak Zafir." Wasti mengacungkan telunjuk ke depan wajah Karlina. "Udah gila ya kamu?! Nggak usah ngimpi mau jadi majikan di sini!"

Karlina tertunduk diam sambil memegang erat gelas di kedua tangannya. Panas gelas seakan tak terasa dibandingkan panas hatinya saat ini. Ia hanya diam, memperhatikan Wasti yang pergi setelah berkata demikian padanya.

Kedua matanya memanas, membiarkan pandangannya mengabur oleh air mata yang muncul. Satu isakan lolos. Mungkin benar, ia mimpi terlalu tinggi. Namun Karlina sudah terlanjur menaruh Zafir di dalam hatinya.

Karlina mengusap ujung matanya, menghapus air mata. Sudah ada dua penentangan hadir tentang hubungannya dan Zafir, membuat gundah di hati Karlina semakin membesar.

****

Lampu-lampu telah di matikan, tak ada aktivitas yang terlihat. Semua hening, kecuali jarum jam yang terus berdetak menguntai waktu. Di dapur, Lina duduk memegangi gelas berisi air. Ia baru saja menyelesaikan sholat isya dan mendatangi dapur untuk mendapat segelas air minum.

Di tengah lamunannya, sebuah suara berat dan dalam menyentak Karlina.

"Lagi apa?"

Karlina menoleh, mengulas senyum saat melihat Zafir tengah berjalan mendekat. "Mas ... " bibirnya menipis. "Nggak lagi apa-apa."

Zafir tersenyum geli. Ia menarik kursi dan duduk di samping Karlina. Sepasang mata tajamnya tak luput terus memperhatikan gadis di depannya. 'Cukup di liatin, perempuan bisa luluh dengan mudah.'

Rona merah merambati pipi. Karlina mengalihkan pandangan gugup, malu dilihat begitu intens oleh Zafir

"Kamu kenapa?" Tanya Zafir lembut, tak lupa dengan senyum manisnya.

"Nggak papa, Mas."

"Jangan bohong sama Mas. Ayo cerita. Kenapa, Sayang?"

Panggilang sayang itu semakin membuat Karlina tak karuan. Ia meremas jari lalu menghembuskan napas, berusaha menetralisir. "Mas,"

"Iya, Sayang?"

"Mas, tentang masalah Mas mau ngelamar aku itu," Karlina menelan ludah kering, "kayaknya jangan, Mas. Mas bisa dapet perempuan yang lebih baik daripada Lina."

Kerutan dalam muncul di kening Zafir. "Kenapa begitu? Bukannya kamu—"

"Bukan gitu, Mas," Sela Karlina cepat, seraya menangkat pandangan menatap Zafir. "Kita ini beda, Mas. Aku nggak sebanding sama kamu."

Zafir terdiam, menatap Karlina dengan ekspresi dingin. 'Kenapa tiba-tiba nggak mau? Argh! Harus mau!'

"Kenapa tiba-tiba? Ada apa? Jujur sama Mas, Lina."

"Adikku yang paling kecil nggal setuju, Mas. Bu Wasti juga kayaknya nggak setuju sama kita." Sorot mata Karlina meredup. "Mas, lebih pantes dapet yang lebih baik dari Lina."

Rahang Zafir mengetat. 'Wasti! Bisanya cuma jadi penghalang aja. Apa mending aku pecat juga dia? Mengurangi pengeluaran juga.'

Zafir menghela napas berat, meraup wajah frustasi lalu balik menatap Karlina. "Dengerin Mas. Kamu lebih dari pantas buat Mas. Jangan dengerin omongan orang lain. Mas butuh kamu, Lina. Mas sangat butuh kamu." Dan Mommy juga butuh kamu.

"Tapi ... Mas,"

"Besok Mas ke rumah kamu ya?"

"Buat apa Mas?"

Zafir tersenyum. "Buat ngelamar kamu."

Kedua pupil mata Karlina melebar. Ia terlalu syok sampai tak mampu berkata-kata dan hanya diam. Sementara itu, diam-diam Zafir tersenyum puas. Mungkin memang butuh sedikit perjuangan dan lagi kebetulan tadi siang ia mendapat bingkisan makanan dari kliennya. Makanan yang tidak ia suka. Daripada harus dibuang, lebih baik Zafir berikan pada keluarga Karlina.

Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Makanan tidak terbuang dan ia bisa mendapatkan hati keluarga Karlina.

Bagus, Zafir memang pintar.

****

Karlina sesekali melirik Zafir yang tengah berjalan disampingnya. Pria itu tampak santai sambil membawa bingkisan. Hati Karlina menghangat. Pria itu rela berjalan kaki bersamanya untuk mencapai rumahnya bahkan Zafir juga membelikan bingkisan untuk Ari.

Dalam hati Zafir terus bertanya, kapan ia akan sampai ke rumah Karlina. Kakinya terasa nyeri karena berjalan jauh, tetapi Zafir menolak untuk memakai mobil. Mobil digunakan hanya untuk keperluan penting.

"Masih jauh?" Tanya Zafir pada Karlina.

"Sebentar lagi, Mas," balas Karlina. "Maaf ya Mas, rumah Lina jauh."

"Iya nggak papa."

Beberapa saat kemudian, Karlina berhenti di depan rumahnya, membuka pagar dan tanpa sadar mengulas senyum. Sementara di belakang, Zafir terdiam sambil mengerutkan kening. Rumah bercat kuning pudar dengan genteng berlumut di depannya terlihat tak nyaman baginya.

'Berjuang tapi kok gini banget?' Batin Zafir tak suka.

"Ayo, Mas," ajak Karlina.

Zafir tersadar dari lamunannya dan hanya mengangguk. Ia kembali terdiam saat melihat Karlina membuka sepatu ketika masuk. Apa ia juga harus melakukannya? Tetapi nanti kaos kaki yang ia beli di Amerika akan kotor.

Dengan berat hati Zafir melangkah masuk, mengikuti Karlina.

"Assalamualaikum!" ucap Karlina sedikit keras. "Rani! Ari! Kakak pulang!"

"Waalaikumsalam! Bentar Kak!" Suara Rani terdengar keras menyahut dari arah dapur. Tak lama, terdengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh. "Kak! Eh ... " Rani terbengong saat melihat sosok tinggi tampan berdiri di belakang Karlina.

Karlina tersenyum geli. "Kenalin Ran, ini yang Kakak ceritain waktu itu."

Karlina bergeser, memberi ruang bagi Zafir untuk mengenal adiknya. Untuk beberapa saat Zafir terdiam, masih sibuk mengedarkan pandangan melihat isi rumah Karlina.

"Kakak ganteng banget. Namanya siapa Kak? Ih itu bawa apa? Kayaknya enak gitu. Eh iya Kak, nama aku Rani," ucap Rani mengurai senyum lebar dan mengulurkan tangan.

"Zafir," balas Zafir sambil menyambut uluran tangan Rani. "Ini buat kamu."

Rani tersenyum semringah. "Wah kayaknya enak banget. Makasih ya kak. Udah ganteng banget, baik lagi. Pas deh sama Kak Lina."

Zafir hanya tersenyum seadanya.

"Ran, Ari mana?" Tanya Karlina seraya mengedarkan pandangan.

"Di sini, Kak," sahut Ari. Ia tampak baru keluar dari kamar sang Ayah sambil membawa piring kosong beserta gelas. Ia mengulas senyum pada Karlina, tetapi senyumnya tenggelam ketika melihat pada Zafir. "Siapa, Kak?"

"Zafir. Calon suami Lina. Kamu pasti adiknya Lina 'kan?"

Tak ada jawaban. Ari berulang kali melihat pada Karlina dan juga Zafir bergantian. Ada sorot mata kecewa terselip di sana, tetapi Ari juga tidak mau membuat kakaknya sedih. Ia memilih tersenyum tipis.

"Iya. Aku Ari," jawab Ari.

"Lina, boleh Mas ketemu Ayah kamu?" Tanya Zafir menoleh pada Karlina.

"Boleh, Mas, tapi Ayah di kamarnya." Karlina sedikit ragu, ucapan Ari terngiang di kepalanya. Ia takut Zafir akan pergi setelah mengetahui kondisi ayahnya.

Zafir ikut terdiam. 'Di kamar? Kenapa? Apa sakit? Kalo ikutan sakit nanti harus aku yang bayarin? Pengeluaran lagi dong? Ck! Mommy saja belum sembuh. Pemborosan.'

"Mas mau ketemu Ayah?" Tanya Karlina.

"I-iya."

Karlina tersenyum sambil mengangguk pelan, ia berjalan lebih dahulu dan di ikuti Zafir. Keningnya terlihat berkerut dalam dan keengganan terlihat jelas mewarnai wajahnya.

Hal itu tak luput dari penglihatan Ari. Berbeda dari Rani yang masih sibuk memandangi kagum makanan yang di berikan Zafir, Ari terus melayangkan pandangan dan memperhatikan Zafir. Ia tak suka ketika melihat sorot mata Zafir, sangat terlihat jika ia terpaksa. Tetapi apa boleh buat, cinta sudah membutakan Kakaknya.

Ketika memasuki kamar, kerutan di kening Zafir terus bertambah. Jauh sekali dengan rumahnya. Bahkan kamar tidur Wasti lebih baik dari ini.

"Ayah," Karlina duduk di pinggir ranjang, meraih tangan sang ayah. "Ayah, ada yang mau ketemu. Namanya Mas Zafir."

Karlina mendongak, menatap pada Zafir. Sedangkan Zafir masih mematung diam di tempat. Ia tak nyaman. Aneh, ia merasa gatal ketika berada di kamar ayah Karlina.

"Mas!"

"Eh!" Zafir mengerjap lalu mengulas senyum terpaksa. Dengan sangat terpaksa dan tetap dalam posisi berdiri karena tidak mau celananya kotor, Zafir berucap, "saya mau menaikahi anak Bapak."

'Jangan duduk! Nanti celanaku kotor. Kalo kotor aku harus beli yang baru. Pemborosan namanya, jadi lebih baik aku nggak duduk selama di sini.'

------

Halooooooooooooo, akhirnya cerita ini update! Semoga kalian senang episode Kali ini di ketik oleh Asean26

Terima kasih,

salam mendung dari Jakarta💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top