Episode 16
Berkas-berkas dalam map tampak bertumpuk di hadapannya. Zafir menghela napas panjang, seraya mengendurkan saraf yang tegang. Lelah? Sangat. Namun jika ia berhenti, darimana ia akan mendapat uang? Uang segalanya dan juga harus disimpan baik-baik. Tidak boleh dihamburkan begitu saja.
Tenggorokan Zafir terasa kering, membuatnya hendak keluar sejenak dari ruangan untuk mengambil air putih. Tidak ada kopi, terlalu boros pengeluaran. Selain murah air putih juga lebih bermanfaat.
Suara ketukan terdengar, menarik perhatian Zafir. Keningnya berkerut memikirkan siapa yang mengetuk pintu ruangannya, sampai akhirnya kerutan keningnya terurai dan mengintrupsi orang di luar untuk masuk.
Sosok cantik dengan rambut bergelombang terawat indah muncul mengulas senyum. Bibir yang dipulas gincu merah tampak merekah, menggoda. Shiren berjalan mendekat. "Selamat pagi, Pak." katanya dengan nada lembut.
Zafir hanya membalasnya dengan anggukan kecil dan senyum tipis. "Kenapa? Ada berkas yang harus saya periksa lagi?"
"Ah nggak, Pak." Shiren tersenyum malu. "Saya mau nawarin Bapak minum."
Kedua alis Zafir mencuram. Perempuan di depannya ini tidak mungkin punya kemampuan membaca pikiran bukan?
Tak mendapat balasan cepat, Shiren kembali menyahut. "Bapak kayaknya lesu gitu. Mau saya pesenin kopi, Pak?"
"Tapi—"
"Saya traktir, Pak."
Gratis? Hm, boleh.
Senyum Zafir merekah. "Boleh. Sekalian sama rotinya dua."
Lengkungan bibir Shiren semakin melebar. Ia merasa Zafir begitu gembira tawarannya diterima antusias oleh bos tampannya itu. Tidak sia-sia ia menerima kupon makan yang di berikan Henry—kekasihnya untuk menarik perhatian Zafir.
Shiren mengangguk antusias. "Tunggu ya, Pak. Saya beli dulu."
"Iya. Saya tungguin."
Rona merah menyebar di kedua pipi Shiren. Kata-kata menunggu dimaknainya lain. Dalam pandangan Shiren, muncul bayangan di mana Zafir menunggunya di tepi pantai sembari mengulurkan tangan padanya. Tersenyum lembut sambil menatapnya penuh cinta dan berminta maaf karena selama ini tidak peka pada rasa cinta Shiren dan akhirnya pria itu berlutut sambil bertanya apakah Shiren mau menikah dengannya.
Seandainya begitu.
"Kamu ngapain masih di sini?"
Shiren tersentak, kedua matanya mengerjap dan melihat pria tampan itu tengah menaikkan sebelah alis. Shiren tersenyum manis. "Nggak papa kok, Pak. Saya pergi ya."
"Hm."
Pandangan Zafir kembali tertuju pada map yang bertumpuk di depannya ketika Shiren sudah keluar. Senyumnya tergelitik muncul. Lumayan juga jika ia bisa mendapat kopi dan makanan gratis. Zafir berharap hal ini bisa terus terulang setiap hari, sehingga ia bisa mengurangi pengeluaran.
Penghematan.
Hampir tiga puluh menit berlalu tetapi Shiren belum juga datang, padahal Zafir sudah sangat menunggu. Perutnya lapar dan ia haus.
Pandangan Zafir mengedar lalu tertuju pada berkas yang berisi data-data mengenai seluruh karyawannya. Ia bangkit, mengancingkan jas dan berjalan ke luar. Anggap saja salah satu cara membunuh rasa bosan menunggu roti dan kopinya, juga, mencari para karyawan nakal yang sering kali datang hanya untuk duduk santai membuat Zafir harus membuang uang demi membayar karyawan seperti itu.
Duduk hadapan komputernya, Vanessa termenung. Lewat sudut matanya ia melirik ke atas, biasanya jika Geo masih ada, laki-laki itu akan muncul tiba-tiba dari kubikelnya dan membuat Vanessa kaget hingga pernah sekali waktu jatuh terjengkang karena kaget.
Senyum sendu terangkat. Vanessa merindukan Geo.
"Galau mulu." Celetuk Ambar. Wanita itu melirik Vanessa sekilas.
"Kangen Geo." Ungkap Vanessa jujur. "Bener ya kata Rhoma Irama, kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga."
"Kalo kangen ya omongin."
"Malu, Mbak. Aku—"
"Makanya elo berdua jangan sok-sokan nggak mau! Kalo suka ya bilang. Untung gue udah punya laki, kalo kangen tinggal bilang." Ketus Ambar kesal.
Bahu Vanessa melemas. "Tapi dia nggak pernah ngomong, Mbak. Lagian kan, cewek mah nunggu."
"Katanya lo pengen sama Pak Zafir, ngebet banget tapi pas Geo nggak ada, kangen. Heran gue sama pikiran cewek." Celetuk salah satu karyawan lainnya. Pria bertubuh tambun dengan kedua pipi chubby seperti perutnya yang bulat. "Ribet!"
Vannesa merengut. "Ya tapi—"
"Kalian di sini untuk bekerja atau nyari tempat buat ngobrol? Kalo mau santai ngobrol, silakan di tempat lain!"
Tak perlu dilihat siapa yang berbicara dan apa maksudnya, karyawan yang tengah bercakap-cakap ringan seketika terdiam merapatkan bibir. Zafir melemparkan pandangan dingin pada Vanessa yang tertunduk.
"Kamu nggak terima saya keluarin Geo?" Katanya pada Vanessa. "Kalo memang kamu jadi nggak bener kerja karena mikirin Geo, silakan kamu keluar. Di luar kalian bebas buat saling memikirkan."
Dan juga, bisa mengurangi uang pengeluaraan perusahaan. Lebih hemat.
"Ng-nggak, Pak."
"Kerja yang benar! Jangan sampe uang yang saya keluarin buat gaji kamu jadi sia-sia!" Tegasnya.
Zafir mengangkat pandangan, meninggikan suara agar terdengar ke segala penjuru. "Kalo saya liat kalian ngobrol atau melamun nggak jelas, lebih baik kalian keluar!"
Setelahnya, Zafir melenggang pergi sambil terus mengurai aura dingin hasil kekesalan yang bercokol dalam hati. Ia kesal bukan main, uangnya terbuang sia-sia demi mengaji seorang karyawan bucin.
Pemborosan!
———
Lina merasa canggung. Tatapan sinis dari Wasti dan raut wajah Misha yang buruk membuat Lina seakan selalu salah mengambil tindakan. Ia hanya bisa berdiam sambil meremat tangan ketika Wasti keluar dari kamar Misha setelah mengurusi keperluan ibu dari Zafir itu. Ia ingin meminta izin pulang sebentar, melihat dan memastikan kondisi ayah dan kedua adiknya.
"Mau ngapain disini?!" Tanya Wasti dengan nada tinggi.
"Itu, Bu. Saya—"
"Apa? Kamu di sini nggak guna deh. Pak Zafir nyuruh kamu ngurus Nyonya tapi malah saya yang harus ngurus, belom lagi saya yang terus-terusan kena marah Bapak. Seneng ya kamu?"
"Enggak, Bu, saya nggak—"
"Mau apa sih?!" Kedua mata Wasti melotot, hampir keluar. "Udah sana-sana pergi."
Lina tertunduk, menjalin tangan. "Itu, Bu, Saya mau pulang dulu ke rumah."
"Pulang ya tinggal pulang! Kalo perlu jangan balik lagi!" Tukas Wasti, mengayunkan tungkainya, berlalu pergi.
Lina mengusap dadanya, berusaha sabar melihat sikap Wasti yang tampaknya semakin tak suka padanya. Ia lantas menoleh pada pintu kamar Misha, berpikir apakah ia harus meminta izin pada Misha juga atau tidak? Tetapi mungkin lebih baik tidak. Ia tidak mau Misha merasa kesal karena melihatnya dan mengakibatkannya stress.
Lina meraih ponselnya, mengetikkan nama Zafir. Lebih baik ia langsung meminta izin pada Zafir.
'Halo, Sayang. Ada apa?'
Tenggorokan Lina seakan disumpal kertas ketika mendengar panggilan Zafir padanya. Zafir tidak mungkin salah kan? Atau ia menduga kalau yang menelpon ini bukan dirinya? Apakah Zafir memiliki perempuan lain yang ia panggil sayang?
'Lina?'
Lina mengerjap. Syok melanda. Jadi ... Zafir menyadari itu dirinya?
"Assalamualaikum, Mas." Suara Lina bergetar. "Lina minta izin."
'Izin apa?'
"Lina mau pulang dulu, Mas, nggak lama kok. Mau nengok Ayah sama adik-adik Lina." Detak jantung Lina lebih kencang ketika cukup lama tidak mendapat jawaban dari Zafir. Ia takut pria itu akan marah.
'Boleh. Aku jemput ya?'
"Eh Mas, kok di jemput?" Ketakutan berganti keterkejutan, kedua alis Lina mencuram bingung.
'Emangnya kamu mau pergi naik apa? Ya ... sekalian juga aku mau ketemu Ayah kamu. Sekalian minta izin.'
Tidak perlu dijabarkan lebih detail, otak Lina langsung memikirkan hal yang membuatnya merona. Ada seorang pria yang ingin datang ke rumah dan menemui ayahnya, siapa yang tidak berbunga mendengarnya.
"Ja-jangan, Mas, Lina pergi sendiri aja. Mas 'kan lagi kerja."
'Oh ... iya kalo gitu. Mungkin lain kali. Hati-hati.'
Bibir Lina terbuka. Ia siap kembali bicara, tetapi sambungan telepon sudah lebih dulu di putus. Sorot mata Lina meredup, kecewa. Namun ia mengulas senyum berpikir mungkin saja Zafir demikian karena ia tengah sibuk.
Mungkin lain kali, Batin Lina berharap.
———
"Kakak!"
Seruan gembira dari Rani menyambutnya, membuat senyum Lina seketika merekah lebar. Ia melihat Rani sangat antusias sampai menunda sapu begitu saja.
"Kangen ih." Ungkap Rani setika memeluk Lina. "Kakak lama banget nggak pulang. Mentang-mentang kerja di rumah orang kaya."
"Kakak juga kangen banget sama kamu." Lina hanya bisa terkekeh. Pandangannya mengedar, mencari. "Ari mana?"
"Ada di dalem, Kak. Ayo Kak masuk."
Lina berjalan di belakang Rani, mengikuti masuk ke dalam rumah. Sejenak, Lina terdiam memperhatikan. Rasanya sudah begitu lama, sekalipun ia tinggal dirumah megah dengan segala barang mahal, tetapi selalu kalah dengan suasana rumah sendiri.
"Kak!" Ari tersenyum, ia berjalan mendekati Lina. "Kakak udah pulang?"
"Mampir sebentar, mau nengokin kalian. Nanti Kakak harus balik lagi ke sana. Nih," Lina mengangkat sebuah kantung kresek berukuran sedang berisi berbagai makanan, "buat kalian."
Segera saja Rani meraihnya, Ari ikut melongokkan kepala melihat isinya. Kedua mata Rani berbinar-binar gembira sedangkan Ari tersenyum. Bahagia rasanya ketika melihat yang disayangi bahagia mendapat sesuatu hasil keringat kita, hasil jerih payah. Lina merasa semua beban hidupnya terangkat ketika melihat kebahagiaan Rani dan Ari.
Rani dan Ari langsung mengeluarkan isi dari kantung tersebut, sementara Lina meminta izin pada mereka untuk melihat ayahnya.
"Ikut Kak. Kita buka bareng-bareng sama Ayah." Usul Rani.
Ketiganya berjalan berbarengan. Sendu sedikit merayapi hati Lina. Ia selalu bersedih ketika ingin menemui ayahnya. Entah kapan Lina akan melihat senyum sang ayah dan mendengar lagi petuah untuk menjalani hidup.
Sekalipun ayahnya hanya diam menatap kosong, tetapi Ari dan Rani berusaha menghidupkan suasana. Lina sesekali menimpali dan mengusap lembut tangan sang Ayah.
"Kak, cerita dong pengalaman Kakak." Pinta Rani tiba-tiba. "Kakak 'kan kerja di tempat orang kaya, ceritain dong."
"Orangnya galak nggak, Kak?" Sahut Ari.
Lina tertawa pelan. "Nggak kok. Orangnya nggak galak." Kedua mata Lina menerawang. "Malah baik banget. Namanya Mas Zafir."
"Emangnya masih muda, Kak? Sampe di panggil Mas." Tanya Rani.
Lina mengangguk.
"Ganteng Kak?" Rona malu-malu terungkap di wajah Lina, melihatnya Rani tertawa. "Wah, pasti ganteng sampe Kakak senyum kayak gitu."
Senyum yang semula terukir dibibir Ari tampak sudah tenggelam. Ia memperhatikan sang Kakak yang tampak malu-malu.
"Malah dia bilang serius sama Kakak."
"Serius apa Kak? Mau nikahin Kakak? Beneran?" Kedua mata Rani melebar terkejut. "Aamiin, Kak. Semoga jadi."
Lina hanya tersenyum lalu menoleh pada sang Ayah. Tak ada tanggapan dari ayahnya, masih saja menatap kosong tanpa arah.
"Mas Zafir baik banget. Sampe pernah ngasih Kakak jam tangan mahal, bagus lagi. Mas Zafir baik banget sama Kakak." Ucap Lina berseri-seri. "Nih jamnya."
Tangan Lina terangkat, membiarkan jam tangan putih terlihat. Tanpa perlu diberitahu, sudah sangat jelas benda itu tidak berharga murah. Melihatnya, Rani hanya bisa melongo dengan mulut terbuka.
"Bagus banget, Kak!" Pekik Rani.
"Hati-hati, Kak." Ucapan Ari menarik perhatian Rani dan Lina. Keduanya mengerutkan kening, bingung. Ari menatap Lina. "Aku takut bos Kakak cuma mainin Kakak."
"Eh jangan ngomong gitu dong, Ri! Gimana sih kamu nih."
"Bukan gitu Kak Rani." Ucap Ari. Ia tampak menundukkan pandangan. "Aku nggak setuju, Kak. Nggak tau kenapa. Aneh aja. Kenapa orang kaya yang punya banyak uang mau sama Kakak?"
"Ari!" Sentak Rani.
"Aku nggak setuju Kak. Orang kaya suka banyak tingkah. Aku takut Kakak cuma di jadiin mainan. Kalo udah bosen, buang. Aku takut Kakak tersakiti nantinya."
----
Cerita Kali ini di ketik sama Asean26 yang tadi salah ternyata 😣 jangan lupa follow akun nya, jangan lupa juga buat vote, komen ya 💙
ADA PO NIH! IKUTAN YUK!!
JANGAN LUPA IKUTAN!!!!!! PO NOVEL KEREN BUATAN Asean26 skuy di Cek akunnya biar penasaran dan ikut PO!
Terima kasih buat kalian yang masih mau baca cerita ini, terima kasih 💙
Salam hangat dari Jakarta, walaupun cuacanya mending 😣💙
Yun!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top