2. Hangat, Gejolak Rasa Dalam Pelukan
Semua barang keperluan selama aku di Malang sudah masuk ke dalam mobil, dikemas dalam satu tas ransel berukuran besar. Tampaknya Mika yang paling siap, ia membawa barang lebih dari sekadar pakaian dan alat mandi. Makanan ringan, matras, beberapa produk mie instan dan ada banyak sekali air minum kemasan dengan botol berukuran besar. Tak perlu menunggu lama setelah dia datang ke rumah, kami langsung berangkat. Ayah dan Bunda melepas kami di halaman. Aku merasa ini saatnya dunia penuh kesunyian tiba, ketika Mika mulai melajukan mobilnya.
Hampir tidak ada percakapan selama perjalanan. Kecuali ketika dia meminta minum atau meminta tolong membukakan pembungkus permen. Kami seakan menutup rapat-rapat apa yang terjadi selama delapan tahun berpisah. Itu hal yang wajar, dua orang akan kembali asing jika lama tak bertegur sapa. Apa lagi ujung sebelum perpisahan itu dimulai dengan pertengkaran.
Mika mengendarai mobil dengan cukup santai, selebihnya ia menjadi pria perokok sekarang. Ia sempat berkata sebelum masuk jalan tol bahwa perjalanan ini hanya menuju ke hotel dan waktu berwisata akan dimulai besok. Pukul enam lebih, saat hari mulai gelap kami tiba di hotel setelah perjalanan kurang lebih dua jam. Selama perjalanan aku hanya bisa menonton televisi di dashboard atau hanya sekadar mendengarkannya saja, hingga aku tersadar lebih dari itu sisa perjalanan aku nikmati dengan tidur.
Mika mengetuk cendela kaca di sebelahku, aku langsung terbangun. Setelah menyadari ternyata mobil terpakir di depan rumah kecil dengan beranda dilengkapi dua kursi dan meja rotan berpelitur. Aku sebelumnya sempat mengira kami akan tidur di sebuah kamar di gedung tinggi. Saat aku turun dari mobil udara dingin mulai menyelimuti. Mika sudah membawakan barang-barangku masuk ke dalam rumah kecil itu. Meletakkan dua tas ransel di atas kursi kayu berwarna cokelat muda lalu dia berkeliling membuka setiap pintu yang ada.
Mataku mengikutinya pergi, aku berdiri di samping televisi layar datar di depan kursi kayu. Interior rumah ini begitu klasik dan sederhana hampir semuanya terbuat dari kayu. Lantai, plafon dan prabot kecuali atapnya terbuat dari jerami--tapi sungguh jarami hanya kesan, aku yakin jika pondok ini aman akan badai. Ruang tamu langsung menyatu dengan dapur, di sisi kiri terdapat dua pintu dan satu pintu lagi menghadap ke depan.
"Di sini ada dua kamar. Kamu mau tidur di mana, kamar depan atau belakang? Oh iya kamar mandi ada luar nanti aku tunjukan tempatnya setelah ini."
Aku menyambar tas ransel dan membawanya ke pintu terdekat. "Aku di kamar depan." Lalu kututup pintu itu dari dalam. Ini adalah batas yang aman. Aku benci liburan, untuk saat ini mungkin.
Saat hendak berganti baju Mika mengetuk pintu kamarku. Dia berkata bahwa hendak pergi ke tempat resepsionis. Aku hanya bergumam dan tampaknya dia sudah pergi beberapa detik kemudian. Aku melihatnya melintasi jendela depan dari kamarku.
Tidak berselang lama terdengar suara pintu terbuka, suaranya masuk ke dalam kamarku. Saat itu aku sedang membongkar tas ranselku untuk mengambil alat mandi beserta barang-barang kecil lainnya. Mika mengetuk pintu kamarku.
"Gua dapat jagung rebus, lo mau?"
"Taruh saja di meja, nanti gua makan," jawabku. Menit berikutnya aku mendengar suara pintu terbuka lalu tertutup lagi. Karena lantai terbuat dari kayu dan model pondok ini adalah rumah panggung. Jadi aku bisa mendengar Mika sekarang berada di kamarnya.
Saat aku keluar kamar setelah berganti baju, aku melihat dua jangung rebus tergeletak pada mangkuk di atas meja. Belum sempat melangkah ke sana, Mika sudah berdiri di belakangku, dia baru saja keluar dari kamarnya.
"Kamar mandi ada di belakang pondok. Lo bisa ke sana lewat pintu belakang. Nanti ada banyak kamar mandi di sana, berjejer menghadap ke pondok-pondok." Tangannya menunjuk pintu yang menghadap ke depan.
Aku hanya bisa mengangguk mengikuti arah tunjuknya. Dia langsung kembali masuk ke dalam kamarnya lagi. Sedangkan aku menyambar jagung rebus tersebut dan langsung menyalakan televisi. Sekarang sudah pukul sembilan, sudah satu jam lamanya Mika berada di kamar. Dia mungkin sudah tidur, kelelahan setelah berkendara tadi siang.
Tersisa satu jangung rebus di mangkuk, sengaja aku sisakan siapa tahu Mika akan memakannya nanti. Kumatikan televisi itu dan langsung menuju ke kamar. Tidak banyak yang aku pikirkan ketika masa sebelum tidur karena aku terlelap setelah mengerukupi tubuhku dengan selimut tebal.
Pukul dua pagi aku terbangun, perutku terasa melilit. Aku lapar. Aku mengintip ke arah jendela dan semua tampak sepi dan gelap. Pepohonan tinggi tampak mencekam. Udara dingin semakin terasa. Apalagi setelah aku dari kamar mandi, udara di luar pondok lebih rendah daripada di dalamnya. Aku mengambil jaket di dalam tas ranselku lalu duduk diam di ruang tamu. Jagung rebus di meja sudah tidak ada. Yang ada hanya putung rokok di atas cawan. Melihat pintu kamar Mika sama dengan berharap semoga dia keluar dari sana membawakan untukku sebagian kecil makanan ringan persediaan. Menit berikutnya aku membuang waktu dengan percuma, hanya duduk termenung menikmati suara perutku yang keroncongan.
Aku tidak sanggup menikmati udara dingin ini ketika di luar dan mencari warung yang sudah buka. Perjalanan itu hanyalah kegiatan sia-sia. Pukul tiga pagi bukan urusan mudah mencari tempat makan di sekitar sini. Dengan berat hati aku kembali ke pondok, melangkahkan kakiku menuju pintu kamar Mika. Dia tidak menguncinya, detik berikutnya aku berdiri di ambang pintu melihat Mika tidur dalam posisi paling nyaman, merangkul bantal dengan posisi miring ke kanan. Hanya kepalanya yang terlihat, seluruh tubuhnya terbalut oleh selimut tebal berwarna putih.
"Mika," kataku parau, "Mik, warung jam segini sudah ada yang buka nggak? Di sebelah mana? Mika?"
Tidak ada tanda-tanda pergerakan dari pria besar itu.
Aku sedikit meninggikan nada suaraku. "Mika!"
Dia mengerang. Berubah posisi miring ke kiri menghadapku di pintu. Matanya tetap terpejam.
"Gua lapar. Bantu gua cari makan." Mika tidak bergerak sama sekali. "Mika!"
"Apa?" jawabnya parau, ia sama sekali tidak membuka mata. Kini posisinya sudah terlentang.
"Warung yang menjual makanan ada gak? yang dekat sini?" Lagi-lagi aku mengulang kalimat. "Gua lapar, Mik."
Mika sekali lagi mengerang, kali ini lebih panjang dari sebelumnya. Aku tahu dia sudah membuka matanya namun sayup-sayup. Aku terdiam, membiarkan Mika merenggangkan tubuhnya, detik berikutnya dia duduk. Hanya mengenakan kaos tanpa lengan berwarna abu-abu, kakinya masih tertutup selimut. Wajahnya tampak samar-samar dalam posisi keremangan cahaya ruangan.
"Kanapa, Kay?" katanya dalam nada tidak semangat, menurutku, "sekarang pukul berapa?"
"Masih pukul tiga pagi. Gua lapar Mika. Temenin gua cari makan, yuk!"
Mika memijat pangkal hidungnya, mengusap kelopak matanya yang sedikit terpejam. Sedikit mendengkus kesal. Ia menoleh ke arahku, untuk beberapa saat dia tertegun. "Jaket gua, tolong!" Kegiatan tidak penting yang dia lakukan membuatku geram. Beruntungnya dia aku tidak menyiram tubuhnya dengan segayung air supaya dia lebih bersemangat lagi mengantarku mencari makanan.
Aku menengok ke belakang pintu. Jaket parasut berwarna hitam tergantung di sana. Mika sudah menggeliat meraih kunci mobil dan ponselnya, sekali raihan. Tidak berapa lama dia sudah berjalan ke arahku. Aku ulurkan jaket itu kepadanya.
"Tunggu di sini," katanya singkat seraya memakai jaket. Aku melihat kelopak matanya masih sedikit terpejam. Kantuknya sungguh luar biasa, sepertinya.
Mika menerobos keluar, berjalan menuju pintu depan. Mengintip ke cendela dengan sedikit menyikap kelambu. Setelah dia keluar sekitar beberapa menit dia kembali dengan membawa dua bungkus mi instan kemasan kap dan dua botol air minun kemasan tanggung.
Ia memberikan semuanya kepadaku lalu ia berjalan menuju dapur. Yang aku lakukannya hanyalah berdiri diam di tempat mengikuti arah setiap Mika berpindah tempat. Ketika ia sibuk berjongkok di bawah kompor. Hingga beberapa saat aku bahkan masih bergeming. Aku tahu Mika pasti mengantuk, sesekali dia menguap dan mengucek matanya dengan jari manis.
Setelah beberapa menit tersibukkan di bawah kompor ia akhirnya berdiri. Membuka segala pintu lemari di dapur. Sampai akhirnya dia menemukan panci dan meletakkan di atas kompor. Kemudian dia berjalan ke arahku untuk meraih dua botol minum.
Air botol itu dituangkannya ke dalam panci. Kemudian dia menyalakan kompor, api biru menyala.
"Bangunkan aku kalau sudah selesai." Mika berjalan melewatiku. Aku memandangnya yang duduk di kursi melempar kunci mobilnya di meja.
Sambil menunggu air mendidih sesekali aku melihat Mika sedang duduk dengan kepala menunduk, kedua tangannya masuk ke dalan saku jaket. Aku rasa dia tidak tidur, hanya saja kantuknya teramat parah. Saat aku tanya dia tidur pukul berapa dia menjawab pukul satu.
Jujur aku merasa bersalah menggangu tidurnya. Tapi apa boleh buat Mika sama sekali tidak memprotes dan malah menyiapkan apa yang aku perlukan. Setelah semua siap aku menghidangkan di atas meja ruang tamu, namun sebelumnya aku pergi ke kamar mandi sebentar. Saat aku kembali Mika masih belum menyentu mi tersebut, baru memakannya setelah aku kembali.
"Jadi nanti kita ke mana?" tanyaku di sela-sela menyantap mi.
"Nanti juga lo tahu."
Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Bahkan saat mi kami sama-sama habis Mika hanya mengucapkan terima kasih, lalu kembali pada posisi semula. Tangannya masuk ke dalam saku jaket, matanya terpejam.
Aku memperhatikan gerak-geriknya. Rahangnya mengeras seperti menahan dingin. Temperatur udara akan terus menukik turun sampai matahari terbit. Aku pun juga merasakan itu. Sweterku saja tidak cukup baik menghangatkan tubuh.
Bicara mengenai jaket. Aku teringat dulu di tengah malam dia memberikanku jaket untuk menerobos masuk ke sekolah dengan melompati pagar. Sejak itulah aku tidak menyangka bahwa pria di sampingku ini pernah menyatakan perasaannya kepadaku. Aku tidak tahu apakah perasaan itu masih ada dalam tubuhnya sekarang atau tidak. Itu kisah lama, mungkin keadaannya sudah berbeda sekarang.
Kususuri pandangan ke arah wajahnya. Bibir Mika pucat, hidungnya yang mancung. Di lihat dari samping Mika memang pria yang tampan, aku yakin semasa kuliah banyak wanita yang menyukainya. Yah, perjalanan hidupnya lebih rumit daripada diriku. Dia telah melewati banyak hal. Dulu pernah suatu malam aku sempat berpikir bahwa Mika sebenarnya tidak suka dengan perpisahan, ia mencoba untuk membenciku itu sama dengan ia mencoba mengobati lukanya, walaupun sebenarnya Mika telah mengingkari selusin janji yang pernah dikatakannya padaku. Itu cukup membuatku terluka sedang aku tidak tahu bagaimana mengobatinya. Apa lagi waktu itu posisinya masih belum merelakan kepergian Papanya.
Bhuk!
Tubuh Mika terhuyung ke samping. Kepalanya berada di pahaku. Sempat aku tersentak kaget namun Mika semakin mempernyaman posisi tidurnya. Aku pun pasrah, membiarkan pria itu tidur sampai akhirnya seseorang mengetuk pintu depan sekitar pukul enam pagi. Buru-buru aku membangunkan Mika. Ia yang menyambut tamu tersebut sedangkan aku langsung masuk ke dalam kamar untuk mengambil alat mandi.
Saat aku keluar, aku melihat Mika sedang bercengkrama dengan seorang pria yang umurnya sekitar tiga puluh tahun lebih. Sempat Mika berkata padaku bahwa pria itu adalah pemandu sekaligus sopir selama liburan ini. Aku hanya menganggukan kepala dan langsung menuju pintu belakang. Udara memang tidak sedingin tadi. Namun tidak menutup kemungkinan aku mengigil setelah mandi. Air di Malang sangatlah dingin. Saat setelah mandi dengan tubuh sedikit basah dan pakaian seadanya aku langsung mengerukupi tubuhku dengan selimut. Pria pemandu sudah tidak ada di ruang tamu waktu aku kembali.
Mika membuka pintu kamarku saat aku meringkuk kedinginan. "Kalau mandi jangan terlalu pagi."
"Iya," jawabku dengan gemertak. Bibirku bergetar rasanya saat aku berbicara.
Mika berjalan ke arahku, ia duduk di tepian tempat tidur sabil bertanya, "Dingin?"
Aku menjawab dengan mengangguk. Detik berikutnya Mika sudah meringkuhku. Kepalaku didekatkan ke dagunya. Tangan kanannya masih merangkulku tetapi tangan kirinya sibuk membernarkan selimut agar benar-benar menutupi tubuhku, kemudian ia memelukku dengan erat dalam posisi tidur.
Tidak cukup lama bagiku menikmati kehangatan itu. Beberapa menit kemudian Mika sudah merenggangkan pelukannya. "Maaf," katanya lemah.
Aku menatapnya sedang berdiri. Ekspresi wajahnya datar, aku melihat sedikit penyesalan. Mika menggigit bibir bawahnya dan kedua tanggan masuk ke dalam saku jaket. Ia menghindari kontak mata denganku, melihat-lihat sekeliling kamar dengan kikuk. "Pukul delapan kita berangkat."
Aku mengangguk.
"Bawa barang seperlunya saja, nanti kita akan kembali ke sini lagi." Belum sempat aku menjawabnya dia sudah berada di ambang pintu berkelok menuju kamarnya, menit berikutnya aku mendengar suara pintu tertutup. Ia pergi mandi.
Dalam benakku berkecambuk apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa Mika tiba-tiba bersikap aneh, hal ini bukan berarti aku terlalu menikmati pelukan itu, namun itulah yang terjadi. Mungkin baginya ini adalah hal yang sulit. Kami bukanlah manusia pada usia remaja, masing-masing dari kami mungkin tahu hal yang benar. Jika aku tidak salah menafsirkan Mika ketakutan perasaan itu datang kembali, di samping ia ingin sekali berhenti.
Sungguh pilihan yang pelik.
((BERSAMBUNG
Akhirnya bisa nulis chapter 2. Untuk sementara sepertinya aku keep dulu. Jadi kalau aku sudah menulis chapter baru akan aku simpan di draft. Why? Yah biar pada kepo sih. Ah, usahaku ini pasti gak akan bikin kalian kepo. Yasudah lupakan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top