11. Filosofi Bintang, Putaran Waktu yang Mengharukan

DALAM dirinya tumbuh rasa bimbang. Suatu hal yang tak biasa terjadi, jika dulunya ia begitu mengharapkan sosok perempuan yang paling dicintai, walaupun berakhir tanpa kata penjelas. Sekarang dirinya yang diharapkan seseorang akan tapi seseorang itu adalah laki-laki.

Kayron selalu mengingat apa yang dikatakan Mika kepadanya, Gua suka sama lo. Ia mengambil ponselnya di meja belajar mencari kontak Mika namun urung, malah menekan kontak Reno.

To : Reno
[Kalau gua pacaran sama Mika aneh nggak?]

Menekan tombol kirim dan tidak mengharapkan balasan pesan dari Reno.

Ia mulai mengerjakan kembali tugas-tugas sekolahnya yang sudah lima kali ia kerjakan. Membuka laptonya lalu mengoreksi kembali tugas presentasi Biologi yang akan disampaikan besok pagi. Kemudian ia beralih mengerjakan segala soal Matematika yang belum dikerjakan pada bab yang belum dibahas di sekolah.

Pintu kamarnya terbuka. Suaranya berdecit.

"Dik," kata seorang wanita paruh baya membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring nasi dan lauk juga segelas susu. "Makan dulu lah jangan belajar terus, dari pulang sekolah kamu tidak keluar kamar, tadi di sekolah kan sudah belajarnya."

"Kay banyak tugas Bun," jawab Kayron meraih nampan yang dibawa oleh bundanya.

"Yah sudah makan dulu, nanti kalau nambah lauk sama nasinya kamu ambil di dapur." Bundanya langsung keluar dari kamar Kayron dan menutupnya dari luar.

Kayron memakan makanan itu di lantai di atas tikar. Kemudian ponselnya bergetar ada pesan masuk. Dan ia pun membacanya.

From : Reno
[Hahahaha. Gila, kalau lo beneran pacaran sama Mika, nama kalian tercatat dalam sejarah hidup gua. Pasangan sesama jenis pertama yang gua kenal. Tapi lo yakin pacaran sama Mika?]

Dan ia pun membalas.

To : Reno
[Entah, rasanya aneh. Kek ada manis-manisnya gitu.]

Setelah membaca pesan dari Reno, Kayron tidak berniat untuk menanggapi lagi. Ia pun memilih untuk menyantap makanannya sampai habis.

***

SEJAK pukul tujuh setelah latihan musik ia bersiap menerima pesan dari Kayron, namun hingga pukul delapan tak satupun pesan masuk beratas nama pengirim Kayron.

Menitih waktu yang tak pasti. Mengerling pada jam di dinding di ruang tamu MMY Music School sesekali melihat ponselnya, seraya berharap semoga waktu akan tiba tapi tak tahu kapan.

Ingin hati menyerah namun di sisi lain ada tekad untuk bertahan. Walau hanya menemukan sedikit cela sempit demi mendapatkan Kayron.

Tak lama satu pesan masuk, layar ponselnya menyala.

From : Kayron
[Gua habis belajar, ini dah malam tapi gua masih ingin dengar penjelasan lo sekarang. Bagaimana?]

Disusul pesan kedua.

[Kalau iya, gua tunggu di depan gang, seperti biasa.]

Mika menghela napas lega. Akhirnya Kayron mengirimkan sesuatu kepadanya. Dan buru-buru ia menjawabnya.

To : Kayron
[10 Menit.]

Mika langsung pergi mengendarai sepeda motornya menuju tempat yang ditunjukkan oleh Kayron. Sampai akhirnya ada laki-laki membawa helm dengan mengenakan kaus berlengan pendek berwarna hitam dengan huruf g kecil di bagian dada kiri.

"Mau ke mana?" kata Mika berhenti tepat di depannya.

"Terserah lo aja." Kayron langsung naik di jok boncengan seraya mengenakan helm.

Mika sendiri bingung harus kemana. Ingin bertanya namun terasa canggung. Selama perjalanan pun mereka saling diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing sedang hati menyeruak gusar.

Terlintas di pikiran Mika satu tempat istimewa yang cocok sekali baginya untuk menjelaskan semua yang ada di dalam hatinya. Ia mempercepat laju sepeda motor hingga akhirnya berhenti di warung kopi kecil di pinggir jalan raya yang ramai.

"Gua kira lo akan ajak gua ke kafe," kata Kayron turun dadi sepeda motor dan melepas helmnya. Mika juga melepas helmnya hanya saja ia masih di atas sepeda.

"Ikut gua," kata Mika turun dan bejalan menuju ke belakang warung diikuti Kayron di belakangnya, kemudian ia berhenti berputar arah menghadap Kayron. "Lo nggak kedinginan hanya pakai kaus?"

"Tidak," kata Kayron namun Mika sudah melepas Boomber-Jaketnya dan memberikan kepada Kayron.

"Pakai saja di dalam dingin."

"Maksudnya?" tanya Kayron bingung namun Mika kembali melanjutkan jalannya.

Kayron mengikuti Mika di belakang. Mika masuk ke dalam cela pada tembok yang sedikit terlihat runtuh selebar satu meter dan tinggi dua meter. Dalam hatinya bingung ingin bertanya kemana Mika akan membawanya pergi.

"Mika kita di mana?" tanyanya mulai ragu. Semakin ke dalam semakin gelap karena menjauhi jalan raya. Suasana yang suram mencekam mulai terasa sama. Halnya gudang belakang sekolah waktu itu pada acara malam kesenian.

"Ikut saja."

Cahaya putih muncul dari balik ponsel Mika menerangi tempat itu. Sehingga Kayron tidak kesulitan mengikuti Mika yang berjalan di depannya. Rumput-rumput tumbuh tinggi di kanan kiri jalan kecil yang dilalui. Suara kodok di kejauhan mulai bersahut-sahutan serta suara jangkrik yang tak kalah ributnya.

"Mika berhenti!" Kayron mulai merasa ketakutan.

Mika berputar arah lalu berjalan mendekat ke arah Kayron. "Kenapa?" tanyanya.

"Lo mau bawa gua kemana? Lo mau perko...," kata Kayron. Kalimatnya terpotong karena mulutnya dibungkam oleh Mika dengan tangan kiri yang tidak memegang ponsel.

"Tenang, gua tidak akan apa-apain lo. Sebentar lagi sampai, kalau lo takut pegang tangan gua." Mika melepaskan tangannya dari mulut Kayron.

"Jangan modus," celetuk Kayron sinis. Namun Mika sudah lebih dulu menggandeng tangannya. Lalu kembali melanjutkan perjalanan.

Mika berhenti berjalan. Menoleh ke kanan, sedangkan Kayron memperhatikan suasana. Ada tembok besar menghadang jalan. Tapi Mika malah mengajaknya ke kanan mengikuti tembok tersebut. Cahaya putih yang muncul dari balik ponsel Mika cukup berpengaruh besar karena jalan kecil itu terdapat banyak balok-balok kayu di samping tembok sehingga mereka bisa melewatinya dengan mudah.

Mika kembali berhenti di depan cela besar di tembok, seperti kusen pintu tanpa daunnya. "Tangan lo dingin banget, takut yah?" Mika tersenyum tipis melepas tangan Kayron.

"Kita sudah sampai lo masuk duluan," kata Mika mempersilahkan.

Dengan ragu Kayron masuk ke dalam cela tersebut. Di depannya terdapat balok kayu panjang seperti jembatan penghubung antara cela besar itu dengan cela besar di ujung satunya. Mika menerangi jembatan tersebut di bawahnya ada genangan air yang berkilau memantulkan cahaya dari bulan dan cahaya pada balik ponsel.

"Hati-hati awas jatoh," ujar Mika saat Kayron mengijakkan kaki di atas balok kayu tersebut.

"Ini aman kan?" tanya Kayron ragu.

"Gua di belakang lo santai saja."

Kayron berhasil melewati jembatan itu dengan hati-hati begitu pula dengan Mika.

Terdapat tembok besar lagi namun kali ini ada cahaya di balik tembok tersebut. Mereka berdua berdiri pada gang sempit selebar satu meter sepi dan gelap. Yang ada hanya tembok membentang panjang dari sisi kanan maupun kiri.

"Lo bisa naik tembok itu?" tanya Mika sambil menunjuk tembok setinggi dua meter.

Kayron menggeleng. "Di balik tembok ini ada apa?"

"Nanti lo juga tahu." Mika berjongkok. "Berdiri di pundak gua."

Dengan ragu Kayron mengikuti intruksi dari Mika. Hingga akhirnya mereka berdua berhasil melewati tembok setinggi dua meter itu.

Tempat yang tidak asing bagi Kayron. Banyak lampu yang menerangi namun tetap saja suasananya remang-remang.

"Ini Bank Sampah di belakang labolatorium Biologi kan?" tanya Kayron.

Tapi Mika membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Kayron. Dia mematikan lampu dari balik ponselnya dan kembali menggandeng tangan Kayron yang dingin. Melanjutkan perjalanannya.

"Mika, ini di sekolah kan?" tanya Kayron kembali begitu melewati koridor di deretan kelas 10-MIA.

Melewati taman-taman menuju koridor utama. Namun cahaya lampu sorot di kejauhan terpantul dari kaca cendela kelas. Mika tahu itu adalah dari petugas keamanan sekolah yang berpatroli. Ia langsung menyeret Kayron di balik tembok gedung bersembunyi.

"Mika ada apa?"

Mika mendekap mulut Kayron. Posisi mereka berdua sangat dekat. Tubuh Kayron dirapatkan ke tembok oleh Mika sedangkan Mika di depannya dengan mata yang siaga.

Kayron menelan ludah. Posisinya berdiri tepat mengahap pada leher Mika yang berjakun, naik-turun. Ia langsung teringat pada posisi yang sama saat berada di toilet bersama Mika saat berciuman waktu itu. Jantung Kayron berdetak kencang, ia berharap hal ini cepat berakhir.

Mika terus mendekap tangan kanan menempel pada tembok sedangkan tangan kiri menutup mulut Kayron. Menoleh ke kiri dengan tatapan serius. Alisnya berkerut dan menanti cahaya sorot lampu senter menjauh.

Setelah aman tangan Mika turun meraih tangan Kayron. "Jangan membuat suara sedikutpun!" perintahnya tegas lalu menyeret Kayron sampai di bawah tangga di depan mading sekolah.

Mereka berdua naik sampai ke lantai dua tanpa suara, kemudian melewati koridor laboratorium komputer sampai di ujung di depan toilet Mika berhenti. Menegadah ke atas dan melepas tangan Kayron.

"Lo naik duluan!" perintahnya kembali.

Kayron terus bingung dan melihat tangga kayu mengarah ke atap laboratorium komputer.

"Kita naik ke atas? Ada apa di sana?" tanya Kayron memegang anak tangga.

"Sudah naik saja nanti juga tahu. Gua pegangin tangganya."

Kayron ragu-ragu memijakkan kakinya pada anak tangga pertama, namun pada akhirnya anak kedua dan seterusnya ia lalui sampai akhirnya di ujung.

Terdapat hamparan luas memanjang beralaskan semen dan beratapkan langit bertabur bintang. Sama halnya kafe Rooftop hanya saja lebih gelap dan lebih sepi. Tanpa ornamen lampu-lampu hias dan deretan meja-kursi.

Tak lama Mika juga sampai di atap.  Mereka berdua duduk bersebelahan di tengah hamparan itu, beralaskan papan kayu tipis untuk meredam dinginnya lantai.

"Lo tidak kedinginan," tanya Kayron ragu karena melihat Mika hanya mengenakan kaus putih polos. Sedangkan ia mengenakan jaket pemberian miliknya.

"Dingin-dingin ada lo jadi anget." Mika tersenyum.

"Apaan sih? Sudah-sudah jelaskan sekarang kenapa lo suka sama gua?"

"Hmm," kata Mika lagi-lagi tersenyum menegadah melihat langit bertabur bintang yang banyak sekali. "Coba deh lihat bintang itu."

Kayron menurut dan mengikuti menegadah menatap langit. Sunyi beberapa saat. Ia menatap taburan bintang di langit sejauh matanya bisa memandang. Suasana yang dingin dan sepi membuat bintang itu dapat dinikmati dengan sempurna.

"Cahaya bintang yang kita lihat sekarang bisa jadi cahaya berjuta tahun yang lalu, mungkin bintangnya telah hancur namun cahayanya masih mengarungi luasnya angkasa. Walaupun cahaya itu berumur tua namun warnanya tidak pernah berubah."

Kayron hanya terdiam, memahami setiap kata yang diucapkan oleh Mika.

"Tapi, Mika yang lo lihat sekarang, tidak lah sama dari Mika yang lo lihat dulu."

"Maksudnya?" Kayron mulai bingung.

"Gua dulunya orang yang pemalu, gua takut bertatap mata dengan seseorang, gua takut tampil di depan umum. Gua sejak kecil tidaklah muda bersosialisasi, orang yang akrab dengan gua hanya bi Tatik, asisten rumah tangga, tidak akrab dengan Papa maupun Mama. Namun saat umur gua dua belas tahun bi Tatik pensiun dan kembali ke kampungnya di Bandung.

Gua saat itu merasa sendiri, tidak ingin melanjutkan sekolah lagi. Menyesuaikan diri dari sekolah dasar ke SMP tidaklah mudah bagiku. Papa sibuk dengan perkerjaannya mengatur tujuh perusahaannya sedangkan Mama berfoya-foya keluar negeri.

Kemudian Papa memperkenalkan Beni, anak dari rekan bisnisnya, dia teman semasa SMP gua yang terus memotifasi gua agar terus melanjutkan sekolah. Papa juga mulai memperkenalkan musik saat itu. Ada satu ruangan di rumah yang khusus untuk gua dan Papa saat akhir pekan."

Kayron terus terdiam. Menyimak semua yang dikatakan oleh Mika. Walaupun tidak ada hubungannya dengan kenapa Mika menyukainya.

"Apa yang lo rasakan sekarang sama halnya dengan gua rasakan waktu itu. Tiba-tiba Beni bilang suka kepadaku. Yah gua terkejut dan bilang kepada Papa, dan Papa merestui itu. Bagi Papa, Beni bisa menjaga gua dan bisa menemani kapanpun tidak seperti Papa dan Mama."

"Serius? Jadi kalian pacaran."

"Tidak, hanya beberapa bulan," jawab Mika menyangkal. "Kemudian Beni bilang akan pindah ke Surabaya. Di hari kemudian gua sudah tidak menjumpai Beni di sekolah. Di satu sisi dua dari tujuh perusahaan Papa bangkrut, Papa mulai sakit-sakitan tapi Mama tidak tahu itu hanya gua yang tahu. Saat bermain piano tiba-tiba tuts piano terdapat bercak darah yang keluar dari hidung Papa."

"Papa lo sakit apa?"

Mika menggelengkan kepala. "Mama pergi ke Eropa bersama teman-temannya sedangkan Papa masuk rumah sakit. Sebelum meninggal Papa berpesan agar gua tetap melanjutkan ke SMA harus memilih jurusan IPS agar nanti di perguruan tinggi gua bisa kuliah Ekonomi dan melanjutkan kelima bisnis Papa yang masih berjalan. Dia juga menyarankan jika gua merasa kesepian diminta untuk datang ke MMY Music School menemui pak Nayro."

Kayron mulai terharu meneteskan air mata dan buru-buru ia menyekanya.

"Ya, saat Papa meninggal Mama masih di Eropa. Begitu Mama datang Papa sudah terbaring kaku di bawah tanah."

Sebulir air mata menetes. Namun Mika langsung menyeka namun air mata itu terus keluar dan ia terus menyekanya sampai kering. Lalu melanjutkan.

"Di SMA gua mengenal Tara yang bisa mengobati segala luka yang gua rasakan. Dia yang menemani gua selama tujuh bulan."

"Terus kalian kenapa putus?"

"Oh jadi kamu sudah tahu, ya gua malu saat Tara tahu kalau gua pernah berpacaran dengan Beni."

"Kok Tara bisa tahu."

"Kirana yang kasih tahu," jawab Mika.

"Kirana?"

Mika mengaggukan kepala. "Kirana adalah anak dari teman sosialita Mama."

"Lo dijodohkan?"

"Bisa di bilang begitu, tapi gua sudah bilang ke dia kalau tidak bisa di lanjutkan lagi."

"Terus waktu itu lo pernah bilang om Resky itu siapa?"

"Oh suami baru Mama. Saat gua putus sama Tara, Mama pulang dengan membawa om Resky yang mencoba menggantikan posisi Papa."

Kayron bisa melihat dengan jelas ada kebencian di cerita tersebut, air matanya pun mengering.

"Entah kenapa saat gua melihat lo waktu lo pertama kali datang ke kelasku untuk mengundang d'UNOs dalam acara OSIS. Saat itu gua merasa lo tuh beda."

"Beda gimana maksudnya?"

"Beni dan Tara membuat gua tidak mementingkan jenis kelamin, yang gua tahu adalah kalau gua akan suka kepada seseorang dan seseorang yang pantas mendapatkan cinta gua. Dan lo tuh pantas. Tapi kalau lo tidak mau juga tidak apa, gua akan berusaha melupakan walupun sebenarnya itu sulit."

Mika terdiam, semua yang ada di dalam dirinya telah di keluarkan. Semua ceritanya telah habis untuk diceritakan kepada Kayron.

"Setidaknya lo sekarang tahu semuanya tentang gua. Segala rahasia yang selama ini gua simpan baik-baik. Dan hanya lo yang tahu semua ini."

"Lo masih suka sama Tara," tanya Kayron.

"Perasaan itu datang secara tiba-tiba lalu pergi begitu saja. Mungkin karena mulai terisi dengan yang lainnya."

"Maksud lo gua sudah isi hati lo lagi, gitu?"

Mika malah tersenyum tipis dan menatap Kayron langsung. Tapi Kayron langsung salah tingkah dengan tatapan yang diberikan oleh Mika.

"Jadi?" tanya Mika, alisnya terangkat ke atas dan mengerutkan kening.

"Jadi apa?" tanya Kayron asal.

"Gimana dengan hubungan kita?"

"Gua tidak yakin akan bisa jalani semua ini, lo laki-laki dan gua juga, pasti akan ada penolakan dan reaksi sosial yang menghakimi. Kita berteman sajalah. Lagian apa bedanya sih cuma status doang."

"Setidaknya status itu penting mau dibawa ke mana hubungan itu."

"Lo mau bawa hubungan kita sampai ke mana lagi?" sahut Kayron. "Kita nggak bisa sampai menikah, kan?"

"Yasudah kita jalani saja dulu," tambah Mika.

Kayron terbungkam.

"Jadi gua diterima?" Mika tersenyum lebar.

Kayron mengaggukan kepala.

"Iya atau tidak?"

"Iya Mika, tapi gua takut kalau semua orang tahu gimana? Kesannya aneh tidak sih."

"Kalau lo tidak siap buat menghadapi risiko yang akan kita hadapi mending jangan dipaksakan, tapi gua janji akan siap mendampaingi setiap masalah yang akan kita hadapi nanti."

"Apa perlu kita bilang ke orangtua kita?" tanya Kayron sedikit ragu.

"Kalau lo siap silakan. Kalau itu memang pilihan yang terbaik."

"Kita jalani dulu saja kali ya, nanti kalau waktunya tepat saja kita bilang ke orangtua kita masing-masing," kata Kayron mengusap hidungnya yang gatal. "Gua mau menerimamu karena dulu gua pernah mencintai seseorang begitu tulus namun kemudian dikecewakan. Tapi, semoga kelak lo tidak mengecewakan gua."

"Gua mungkin tidak bisa berjanji, tapi gua akan membuktikan itu," kata Mika selagai ia berdiri. "Yasudah kita pulang, ini hampir tengah malam, besok pagi kan masih sekolah, anak sehat seperti lo pasti tidak biasa tidur larut malam."

Mereka berdua turun sampai ke lantai satu dan tidak melewati jalur gelap tadi melainkan melewati gerbang depan sekolah. Saat itu satpam masih berpatroli jadi pos depan tidak ada yang menjaga. Mereka melewati terotoar sampai ke tempat sepeda motor Mika terparkir.

Saat berjalan di terotoar Mika mencoba untuk memegang tangan Kayron, tapi langsung ditangkis

"Lo tidak usah aneh-aneh pakai pegang tangan segalah memangnya gua terong-terongan pinggir gang."

"Memang pinggir gang kan? Tadi gua culik lo dari sana." Mika tertawa lebar. Kayron tersenyum sengal.

"Dasar Monyet, yang suka nyuri pisang di kebun."

"Kamu berani yah ngatain aku Monyet." Mika menarik jaket yang di pakai Kayron.

"Ha, sudah berani aku-kamu nih? Cieee Mika...," kata Kayron sambil berlari menjauh. Tarikan Mika pun terlepas.

((BERSAMBUNG))

Lamongan, 11 September 2017.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top