Ketika Aku Bertemu Denganmu (1)

Suara gemerincing lonceng yang berbunyi karena diterpa angin begitu nyaman di telinga. Alunannya ibarat lantunan melodi merdu yang mampu menentramkan hati dikala gundah.

Seorang anak laki-laki tampak menundukkan kepalanya karena malu ditatap terus menerus oleh gadis di depannya.

Laki-laki itu terus-menerus menarik pakaian ibunya, padahal ibunya tengah berbicara dengan orang tua si gadis.

Merasa kesal dengan sikap putranya, si ibu kemudian menyuruh putranya itu bermain dengan si gadis di luar rumah.

Kini mereka berdua nampak canggung berdiri di bawah pohon apel yang rindang.

"Hei siapa namamu? Kenapa kau sangat pendiam?" tanya si gadis.

Laki-laki itu malah bergeleng.

"Kenapa bergeleng?"

"Aku malu."

"Kenapa malu?"

"Namaku aneh."

Si gadis berhenti sejenak sebelum akhirnya kembali mendesak anak laki-laki itu untuk mengatakan namanya.

"Ge-Gelora."

"Pftt ...." Gadis itu tampak menutup mulutnya menahan tawa.

Merasa kesal laki-laki itu berteriak, "Tuhkan kau pasti menertawakan namaku!"

Tak mampu menahan tawa, akhirnya tawa si gadis itu pecah. Gadis itu nampak berlari sembari meneriakkan nama Gelora. Merasa malu, akhirnya Gelora mengejar gadis itu hingga keduanya tengah bermain kejar-kejaran.

Setelah lelah bermain kejar-kejaran, gadis itu menaiki pohon apel dan memetiknya.

"Hei bagaimana bisa? Nanti kau jatuh!"

Gadis itu hanya tersenyum dari atas pohon kemudian turun. Dia melemparkan satu buah apel pada Gelora.

"Makanlah! Itu sangat enak."

Awalnya ragu, tapi kemudian Gelora mengambil buah apel itu dan memakannya tanpa mencucinya terlebih dahulu.

"Ngomong-ngomong, siapa namamu?" tanya Gelora dengan mulut penuh apel.

"Hah, namaku? Namaku Stepa."

"Namamu bagus," puji Gelora.

"Namamu juga bagus. Aku menyukainya."

"Benarkah?"

"Tentu saja benar."

"Tapi tadi kau menertawakanku."

"Itu karena aku ingin akrab denganmu."

Belum sempat Gelora bertanya pada Stepa, Stepa sudah terlebih dahulu dipanggil ibunya untuk segera pulang.

Terpaksa Gelora harus mengurungkan niatnya untuk mengobrol lebih lama. Sebelum Stepa benar-benar berpisah dengan Gelora, kedua orang tua mereka memotret Gelora dan Stepa terlebih dahulu.

"Tadi sangat menyenangkan. Kuharap kita bisa bertemu kembali, Gelora." Itu adalah kata-kata terakhir Stepa sebelum akhirnya benar-benar berpisah dengan Gelora.

***

Gelora mengedip-ngedipkan matanya. Matanya sedikit buram hingga akhirnya kembali jelas setelah beberapa menit. Suara jam dinding yang berbunyi menarik perhatian Gelora. Kini waktu menunjukkan pukul satu siang.

"Mimpi itu lagi," gumamnya sembari turun dari ranjangnya.

Gelora kemudian menghampiri foto yang terletak di atas meja dekat kameranya.

Memori langsung berputar di dalam ingatannya. Foto itu adalah foto yang diambil oleh ibunya sebelum Stepa pergi.

Mencoba mengabaikan hal itu, Gelora mencuci mukanya sebentar, lalu membawa kameranya menuju luar rumah.

Hobinya Glora adalah fotografi. Kali ini Gelora hendak memfoto daun-daun yang sedang berguguran akibat cuaca panas. Berharap dia akan memenangkan kompetisi dengan memfoto hal itu sekaligus menyalurkan hobinya.

Sesampainya di tempat pepohonan di taman dekat sungai, Gelora langsung menggunakan kameranya untuk memotret daun yang jatuh ketika diterpa angin.

Suara air yang mengalir tak mengalihkan fokusnya untuk memotret, tetapi seorang gadis mampu mengalihkan perhatiannya.

Rambutnya yang hitam legam tergerai dengan indah tertiup angin. Tanpa sengaja Gelora memotret gadis itu karena tangan dan otaknya tak mampu bekerjasama dengan baik dalam beberapa detik. Padahal, dirinya tahu bahwa itu bukanlah perbuatan yang baik.

Anehnya, Gelora menunggu gadis itu hingga berbalik, menampakkan wajahnya. Baru saja sekilas Gelora melihat wajah gadis tadi, seseorang tiba-tiba menepuk bahunya.

"Hei! Ada yang lagi jadi penguntit!"

Dengan reflek Gelora menepis tangan seseorang itu. Dari suaranya saja Gelora sudah tahu itu siapa.

"Kok lo bisa tau gue di sini?"

"Kan lo udah bilang kalau lo bakalan foto daun yang lagi jatuh ketiup angin. Gimana udah dapet?"

"Hampir aja mau dapet, tapi lo ganggu."

"Bukannya tadi lo—"

Malas berdebat dengan temannya, Gelora melenggang pergi begitu saja meninggalkan temannya dan beralih ke tempat lain.

Temannya hanya melihatnya dari jauh, sementara pikiran Gelora terus mengingat hal tadi. Rambut legam sang gadis yang bercahaya karena terkena sinar matahari ternyata mampu membuat Gelora menyunggingkan senyuman di bibir manisnya.

"Siapa gadis itu?" tanyanya ketika kembali melihat foto gadis tadi tak menghilangkan senyuman tipisnya.

***

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top