14. Siapa Dia?
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya
~~~
Ratu masih berdiri di balik pintu sambil memegangi dada yang terus berdegup kencang. Wanita itu menarik napas panjang lalu mengembuskannya agar merasa lebih tenang. Dia tersenyum sendiri ketika jarinya menyentuh cincin pemberian Putra. Tak berhenti di situ, kini pikiran Ratu melayang pada saat pria itu melamarnya di restoran. Wajahnya makin memerah ketika mengingat kejadian beberapa saat lalu di mobil.
"Lo ngapain berdiri di situ, Tu?"
Ratu membuka mata setelah sempat memejam dan langsung gelagapan mendengar suara kakaknya. Dia melihat Rani duduk di kursi roda sambil menyipit menatapnya. Wanita itu meringis lalu segera berbalik untuk memastikan pintu sudah terkunci dengan benar.
"Lo ngapain aja di mobil Putra sampek baru masuk sekarang?"
Eh? Wanita yang masih menghadap pintu itu menggigit bibir. Dia menghela napas dan tersenyum sebelum berbalik menatap kakaknya.
"Maksudnya gimana, Kak?"
Rani memutar roda dengan tangan untuk mendekati adiknya. "Gue denger suara mobil Putra dateng dari setengah jam yang lalu, kali. Terus gue keluar dari kamar karena denger pintu kebuka barusan."
Ratu meringis kembali. Apa iya selama itu gue sama Mas Putra ciuman tadi? pikirnya. Dia menggeleng dan berjalan ke belakang Rani untuk membantu mendorong kursi roda kakaknya ke ruang tengah.
"Tadi masih ngobrol aja, sih, Kak. Dan Kakak tau, nggak? Mas Putra ngelamar gue malam ini." Ratu menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya ke hadapan sang kakak.
Rani menarik tangan adiknya itu. "Kalo ngelamar lo, ya, harusnya ketemu Mama, dong."
Ratu segera menarik tangannya kembali. "Ya, kan, mungkin aja Mas Putra butuh waktu, Kak. Dia mau mastiin dulu jawaban gue gimana. Paling juga entar ke sini ketemu sama Mama."
"Jangan kesenengan dulu. Semua kemungkinan masih bisa terjadi sebelum lo bener-bener sah sama dia."
"Kak, please! Bisa, nggak, lo cukup ikut seneng dan doain yang baik-baik buat gue sama Mas Putra?"
Rani menghela napas. "Gue selalu doain yang terbaik buat lo, Tu. Gue cuma berusaha ingetin lo untuk selalu waspada."
"Makasih, Kak. Tapi, buat gue lo ikut bahagia denger kabar ini aja gue udah seneng. Urusan lainnya itu biar jadi urusan gue sendiri."
Ratu berbalik dan masuk ke kamarnya meninggalkan Rani sendiri di ruang tengah. Kenapa kakaknya itu tidak bisa ikut bahagia melihat hidup sang adik? Sebelumnya, protes karena Putra belum melamar juga. Sekarang sudah dilamar, tetap saja salah di mata kakaknya. Wanita itu mengganti gaun yang dipakai dengan baju tidur lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan muka.
Saat bangun pagi, Ratu mencium bau masakan yang sangat sedap. Dia mengucek mata lalu turun dari kasur dan berjalan ke luar kamar menuju dapur. Di sana, wanita itu melihat ibunya sedang memasak sesuatu. Dia mendekat dan berdiri di samping Anggun.
"Mama masak apa? Emang Mama udah sehat bener sampek masak gini? Harusnya biar aku aja, Ma. Mama nggak usah maksain diri gitu." Ratu mengomel sambil mengambil alih sudip dan meminta Anggun untuk duduk.
"Kamu ini. Mama udah enakan, kok. Makanya dipakek gerak biar keluar keringet. Lagian, Mama mau masakin makanan kesukaan kamu. Mama udah denger dari Rani katanya Putra ngelamar kamu?"
Ratu menghela napas di depan penggorengan panas. "Ya, tapi, kan Mama tetep nggak boleh capek-capek. Lagian, Kak Rani ember banget. Kenapa nggak nunggu aku aja yang ngasih tau Mama langsung."
"Sama aja, kali, Tu! Mau gue atau lo yang ngasih tau," sambar Rani yang baru keluar dari kamar bersama Bela.
"Udah-udah. Kalo gitu kamu bilang Putra buat ngelamar kamu ke Mama secepatnya."
Ratu menoleh kepada Anggun. "Ma, nggak gitu juga, dong. Aku yakin Mas Putra pasti bakal nemuin Mama. Tapi, ya, nggak usah dipaksa juga."
"Bunda, ngelamar itu apa?" tanya Bela dengan polosnya.
Seketika semua orang terdiam dan hanya saling berpandangan mendengar pertanyaan dari gadis kecil itu.
"Hem, itu semacam proses laki-laki meminta perempuan untuk menjadi pasangannya dan mereka akan tinggal bersama."
"Terus nanti mereka menikah, ya, Bunda?"
"Emang kamu tau apa itu menikah? Kamu tau dari mana kata-kata itu?" Rani mencubit hidung putrinya.
"Kata temen-temen aku, Bunda. Mereka bilang, mama sama papa mereka menikah terus tinggal bareng, deh. Tapi, Bunda. Kenapa Bunda sendirian? Bunda selalu bilang kalo papaku pergi jauh. Papa nggak pernah pulang, Bunda?"
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan polos dari gadis kecil itu. Ratu melihat kakaknya hendak membuka mulut, tetapi wanita itu mengurungkannya. Anggun juga hanya bisa tersenyum saat Bela menatap untuk menuntut jawaban. Akhirnya, dia sendiri yang mendekati Bela setelah mematikan kompor. Ratu berlutut di hadapan keponakannya itu.
"Bela pasti sedih, ya, nggak bisa ketemu Papa? Tapi, Bela, kan masih punya Bunda, Momy, sama Eyang. Papa Bela pasti lagi sibuk kerja. Makanya, nggak bisa nemenin Bunda dan Bela di sini. Bela nggak apa-apa, kan?"
Bela menunduk sedih. Ratu tidak tega melihatnya dan langsung menarik gadis itu ke dalam pelukan.
"Bela kadang sedih, Momy kalo liat temen-temen lain dijemput sama mama dan papanya. Tapi, Bela tau, kok Papa kerja buat Bunda sama Bela. Jadi, Bela akan selalu doakan Papa supaya Papa inget sama Bunda dan Bela. Biar Papa bisa cepet pulang."
Ratu tersenyum mendengar ucapan keponakannya itu. "Ya udah, kalo gitu sekarang kita sarapan terus Momy siap-siap dan antar Bela ke sekolah. Oke?"
Bela tersenyum ceria seraya mengangguk antusias. Gadis kecil itu menduduki kursi dan bersiap untuk menghabiskan menu sarapannya.
Ratu membantu Rani mendekat ke meja dan mereka makan bersama. Meski kakaknya terlihat murung karena pasti memikirkan ucapan Bela yang mempertanyakan soal ayah. Namun, dia yakin jika Rani kuat dan mampu menghadapi semuanya lagi. Mereka berhasil melewati lima tahun terakhir dengan baik. Wanita itu percaya keluarganya akan baik-baik saja.
Setelah menyelesaikan sarapan, wanita itu bersiap untuk pergi bekerja dan mengantar Bela ke sekolah. Tiba di sekolah, Ratu selalu menghampiri wali kelas Bela untuk menitipkan keponakannya itu. Dari sana, dia langsung menuju swalayan tempatnya bekerja. Hari ini, swalayan kedatangan banyak pelanggan. Akhir bulan memang identik dengan diskon besar-besaran dan karyawan swasta yang baru menerima gaji langsung menyerbu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ratu sangat sibuk karena bekerja sendirian dan hanya dibantu oleh dua pramuniaga. Satu kasir yang harusnya masuk pagi bersamanya izin sakit. Seharian itu dia benar-benar dibuat kalang kabut. Ada beberapa pelanggan yang membayar menggunakan voucer, tetapi bermasalah hingga menimbulkan antrean panjang. Wanita itu hanya bisa tersenyum sambil mengucapkan maaf atas ketidaknyamanan tersebut.
Setelah memenuhi waktu kerja selama delapan jam, akhirnya Ratu bisa pulang juga. Dia harus mampir ke apartemen Putra terlebih dulu dan terpaksa meminta guru Bela untuk mengantar gadis itu ke rumah.
Ratu tiba di apartemen Putra dan baru saja keluar dari lift. Saat berjalan mendekati unit kekasihnya itu, dari kejauhan dia melihat Putra berdiri di depan pintu bersama seorang wanita. Dadanya terasa panas dan sesak ketika melihat interaksi yang begitu intim antara dua orang itu.
"Mas Putra!"
Ratu menyapa kekasihnya hingga membuat wanita yang bergelayut manja di lengan Putra itu terkejut dan segera menjauh. Tawa yang menghiasi obrolan mereka seketika menghilang berganti dengan suasana sunyi dan tegang. Dia berdiri tepat di samping calon suaminya itu.
"Sayang, kamu udah nyampek."
"Iya, baru aja. Hem, siapa dia, Mas?"
Ratu berusaha tetap tersenyum. Dia melihat wanita itu menatapnya dari atas hingga bawah. Kemudian, kembali lagi ke atas dan terakhir menatapnya sinis sambil mengulurkan tangan.
"Hai, gue Tari!"
Jumlah kata: 1161
Bersambung
~~~
Jeng jeng jeng! Ratu udah nahan-nahan, tuh.🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top