Part 22 Nasihat Kiai

Assalamualaikum sahabat pembaca.

Maaf baru bisa up ya.
Soalnya sempat mampet ide dan mengalami kesulitan merangkai kata.🤧
Jadinya lama banget baru bisa up.

Tapi Alhamdulillah kan. Akhirnya bisa up juga setelah berusaha mencoba terus menulis lagi 😁

Oh iya, cerita KETIBAN JODOH ini sekarang lagi diikutkan Event lo di Penerbit RnA Publishing. Jadi setiap hari up ulang dari awal versi revisi di FB penerbit RnA.

Yuk yang punya FB, dukung cerita ini hingga akhir.
Doakan nulisnya lancar dan bisa terbit ya. 😄
https://m.facebook.com/groups/rnapublishing/permalink/4877794592232331/
Makasih.

Maaf terlalu banyak cuap-cuap.
Jangan lupa vote dulu ya.😉

Happy Reading

💖💖💖💖💖💖💖💖💖💖
Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Jadi tak patut kita menilai baik atau tidaknya seseorang, hingga beranggapan bahwa dia lebih buruk dari kita.

💗💗💗💗💗💗

Waktu berputar seiring mentari yang terus beranjak semakin meninggi, hingga tiba menyingsingnya matahari sebagai pertanda masuknya waktu salat Zuhur.

Nabil baru saja sampai di pondok tepat azan Zuhur. "Nanti setelah salat jemaah. Ke ndalem dulu ya, Bil. Jangan langsung pulang." Nabil mengangguk seraya tersenyum, kepalanya lalu menunduk.

Setelah memasukkan mobil ke bagasi samping ndalem. Nabil langsung menuju kamar mandi samping masjid untuk bersuci.

Setelah lima belas menit berlalu. Salat jemaah pun usai, para santri bubar, bergantian keluar melewati pintu-pintu masjid yang terdapat empat pintu. Dua pintu bagian depan dan satu pintu bagian kanan lalu yang kiri.

Nabil yang memang tadi berada di saf terdepan, tepat di belakang sang kiai. Kini masih tampak khusyuk menghadap kiblat, lisannya terus bergerak melafalkam zikir seiring dengan jemarinya yang bergerak sebagai penghitung zikirnya.

Selang beberapa menit, Nabil pun beranjak dan langkahnya langsung menuju ndalem sesuai titah Kiai. Setelah berucap salam, Kiai Kholil pun menyuruhnya masuk dan duduk di hadapannya.

"Gimana kabar Laura dan keluarga, Le?" tanya Abah Yai saat keduanya kini telah duduk berhadapan yang hanya tersekat meja. Tadinya Nabil akan duduk di bawah, tetapi Kiai Kholil melarang dan menyuruhnya duduk di kursi.

"Alhamdulillah sehat wal 'afiyat, Bah."

"Laura? Sudah ada perubahan baik?"

"Alhamdulillah, Bah. Sudah banyak perubahan lebih baik," ucap Nabil dengan antusias, wajahnya terlihat semringah.

"Syukurlah kalau gitu, Abah turut bahagia dengernya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang ke Abah, ya, Le. Abah, kan udah anggap kamu seperti putra abah sendiri. Kamu pun harus menganggap Abah seperti orang tua kamu sendiri." Kiyai kholil tampak menghela napas lega, mendengar perjodohan yang terjadi pada santri kesayangannya tak menimbulkan masalah.

"Iya, Bah. Mohon doanya."

"Iya, Le. Semoga kalian hidup bahagia dan senantiasa berada dalam naungan rida Allah. Ingat, ya, Bil. Tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Jadi tak patut kita menilai baik atau tidaknya seseorang, hingga beranggapan bahwa dia lebih buruk dari kita. Sabarlah menghadapi istrimu, mintalah kepada Allah petunjuk agar kamu bisa sabar dalam membimbingnya."

"Iya, Bah, insyaa Allah. Terima kasih atas nasihatnya," ucap Nabil dengan kepala yang tetap menunduk.

"Sudah adakah cinta dalam hatimu untuk istrimu?"

Degh! Hati Nabil tersentak mendengar kalimat yang demi apa pun tak ia sangka akan terlontar dari lisan Abah Yai.

Ya Allah ... haruskan aku jujur? batin Nabil seraya menunduk semakin dalam. Lidahnya seakan tercekat, membuat ia kini diam membisu.

"Belajarlah untuk mencintai dia, Le. Karena dengan cinta, rumah tangga akan lebih indah dan berbahagia." Seakan mengetahui arti diam dan raut wajah Nabil yang seketika berubah sendu dan tegang. Sang Kiai mengingatkan Nabil agar tak salah jalan.

"In-insyaa Allah, Bah," ucap Nabil langsung gugup.

"Ya sudah, setelah ini kamu langsung pulang?"

"Masih harus jemput Laura dulu, Bah. Baru setelah itu pulang ke rumah mertua."

"Oh iya, iya."

"Kalau begitu, Nabil pamit diri ya, Bah."

Abah Yai menganggukkan kepala, lalu ikut bangkit saat melihat laki-laki di hadapannya mulai beranjak, mengambil amplop dari sakunya dan ia serahkan ke tangan Nabil saat laki-laki itu menjabat tangannya.

Nabil cukup terkejut saat mendapati amplop itu dan ia pun sudah mengetahui dengan pasti jika amplop itu berisi uang. "Maaf, Bah. Nggak usah ini, Bah," ucap Nabil masih mempertahankan jabatannya meski ia sudah mencium punggung tangan sang guru yang ia takzimkan.

"Ambil saja, Bil. Kamu, kan sekarang sudah punya tanggung jawab menafkahi istri. Ambil, ya. semoga barokah."

Nabil tak bisa menolak lagi, ia pun mengangguk. "Aamiin. Jazakumullah Khoir, Bah."

"Aamiin. Hati-hati ya, Bil."

"Iya, Bah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warohmatullah wabarokatuh."

Nabil pun beringsut perlahan berjalan mundur dengan posisi menundukkan kepala beberapa langkah. Kemudian keluar ndalem dengan hati gelisah saat mengingat apa yang dinasihati beliau, terutama di akhir kalimat tadi.

Saat Nabil telah berada di mobil, ia tak langsung menyalakan mesin. Pikirannya seakan terbebani saat mengingat kalimat Belajarlah untuk mencintai dia. Karena dengan cinta, rumah tangga akan lebih indah dan berbahagia.

Ya Allah ... sungguh sulit cinta ini beralih. Apakah ini pertanda, jika tanpa kusadari telah terlalu dalam mencintai dia yang seharusnya tak kucinta? ucap Nabil dalam hati dengan muka sendunya. Detik kemudian, ia meraup mukanya dengan kasar, lalu menghela napas cukup panjang.

"Huuuffft. Mendadak pusing aku mikirin soal cinta," ucap Nabil lirih lalu memutar kunci untuk menyalakan mesin.

"Bismillahirrohmanirrohim." Nabil pun melajukan mobilnya melewati gerbang pondok, berusaha fokus ke jalan dan mengenyahkan pikiran yang membuatnya pusing.

Lima belas menit berlalu. Mobil Nabil berhenti karena lampu lalu lintas yang menyala berwarna merah. Nabil merogoh ponselnya, mengecek apakah ada pesan yang masuk dari Laura.

Nabil kembali menghela napas agak kesal. "Tuh, anak, sampai jam segini sama sekali nggak ngabarin. Emang dia nggak mau pulang apa?" gerutu Nabil sembari membuka kolom pesan

[Assalamualaikum. Posisi kamu sekarang di mana, Ra? Aku jemput, nih]

Setelah menekan tombol kirim bertepatan dengan lampu lalu lintas telah berganti hijau. Nabil menginjak pedal gas, melajukan mobil dengan fokus karena jalanan cukup padat.

Sampai beberapa menit berlalu, Nabil tiba di tempat yang tadi pagi ia mengalami kemacetan dan di situ jugalah Laura dijemput temannya.

Nabil pun menepikan mobil lalu melihat ponselnya yang sejak tadi tak ada bunyi notifikasi pesan masuk.
Melihat pesannya tak berbalas. Nabil pun men-dial nomor Laura via WA.

'Memanggil' tulisan itulah yang muncul di layar ponsel Nabil, membuat laki-laki menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

"Kamu di mana, sih, Ra?" tanya Nabil yang sudah jelas Laura tak mendengarnya sama sekali.

Nabil celingukan, lalu melajukan mobilnya perlahan. Pikirannya berusaha mengingat-ingat obrolannya kemarin dengan Laura saat meminta ia mengantarkan. Ada acara makan-makan bareng. Ngumpul-ngumpul gitu, Mas. Nabil pun akhirnya ingat penuturan Laura, membuat ia bertekad akan menelusuri tempat makan yang ada di sekitarnya.

Bagai mencari jarum di dalam jerami, inilah yang Nabil rasakan saat ini. Sudah cukup jauh mobilnya membelah jalan dan sekitar enam tempat makan yang ia singgahi hanya untuk mencari sang istri. Namun, hasilnya nihil. Batang hidup Laura sama sekali tak tampak.

"Kamu di mana, sih, Ra?" tanya Nabil dengan kegelisahan yang bercampur rasa kesal. Ia pun tak menyerah, kembali mendial nomor Laura. Namun, tetap saja hasilnya sama. Suara operator dengan setia menjawab panggilannya tanpa bosan. Malahan yang ada, Nabil merasa bosan mendengar suara dengan kalimat yang sama itu.

.
.
.
.
.
Bersambung.
11 Robiul Akhir 1443 H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top