Part 17 - Gamis Laura
Assalamualaikum sahabat pembaca
Alhamdulillah setelah sekian hari akhirnya aku bawa part baru nih.
Yuk yuk vote dulu.
Jangan sungkan krisan dan ingetin kalau ada typo ya.
Happy Reading
💕💕💕💕💕💕💙💕💕💕💕💕💕
Terkadang kita baru sadar akan begitu berharganya sesuatu setelah orang lain kehilangan.
Karena itu, selagi ada kesempatan, jagalah sesuatu yang berharga itu sebaik mungkin.
💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
Rasa segan terkadang bisa terkikis dengan sebuah pikiran yang ingin mencari solusi karena jalan keluar tak mampu ditemui sendiri. Begitulah yang dirasakan Laura saat ini. Sebenarnya tak ingin mengganggu, tetapi ia tak bisa hanya pusing sendiri dengan pikiran yang mengganggunya saat ini.
"Mas," panggil Laura dengan hati-hati.
Nabil yang tampak fokus dengan gawai di tangannya, seakan indra pendengar laki-laki itu tertutup oleh kefokusan netra yang kini menatap gambar di gawai itu.
Laura menghela napas sejenak. Ia pun berusaha memanggil Nabil lagi dengan suara sedikit lebih keras. Namun, tetap saja Nabil tampak senyum-senyum sendiri sembari jemarinya dengan lentik menari dilayar pipih yang menyala itu.
'Sekali lagi, Ra. Ini yang terakhir, sunah Rasul tiga kali. Kalau dia nggak noleh juga, mending balik ke kamar,' putus Laura dalam hati.
"Mas Nabil," ucap Laura agak keras. Netranya tak lepas menatap laki-laki itu. Mendapati Nabil yang tetap saja tak ada respon, gadis itu menghela napas menyerah.
'Ya sudahlah, aku ke kamar aja,' batinnya sembari menundukkan kepala sebelum mengambil langkah. Namun, baru dua langkah kakinya mengayun, tiba-tiba terdengar sebuah suara. "Laura."
Gadis itu pun mengukir senyum, kepalanya langsung menoleh. "Huh, akhirnyaaa," ucap Laura lirih sembari mengembuskan napas lega.
"Ada apa, Ra?" tanya Nabil lagi saat melihat Laura yang masih berdiri, bergeming.
"Lagi chat an sama siapa, sih kamu, Mas? Dipanggil sampai tiga kali nggak nyahut-nyahut."
Nabil terkejut dan tampak sedikit panik. "Em, itu, chat-an sama temen."
Laura yang masih berdiri di dekatnya hanya mengangguk-anggukkan kepala. "Eh, kamu kok belum tidur?" tanya Nabil kembali mencairkan suasana hatinya seakan tak terjadi apa-apa.
"Emm aku ... aku teringat mama sama papa."
Nabil menghela napas sesaat, lalu tersenyum. "Kangen mereka, ya?"
Laura mengangguk cepat.
"Kalau gitu, besok Mas anter kamu ke sana."
"Emang boleh?"
"Ya boleh, dong. Kamu, kan libur sekolahnya."
"Boleh nginap sekalian?"
"Boleh, Ra. Yang penting sebelum masuk sekolah kita balik lagi kemari, ya."
Laura semakin semangat menganggukkan kepalanya berkali-kali. Binar bahagia begitu tampak dari raut wajahnya. "Iya, Mas. Makasiiih." Saking senangnya, tak sadar ia langsung memeluk laki-laki di hadapannya itu.
Nabil terkesiap, netranya sempat membelalak akibat keterkejutannya. Ia pun hanya bergeming dan tak lama Laura melepas pelukannya perlahan-lahan. "Ehm, maaf, Mas. Reflek ekspresi bahagia."
Nabil tersenyum lalu mengangguk. "Iya, nggak apa-apa santai aja. Peluk lagi juga boleh."
Laura melotot sebentar. Kemudian, tanpa kata ia pun langsung berlalu dari hadapan Nabil dengan menundukkan kepala, menyembunyikan semburat merah muda yang membias di pipinya.
Nabil menghela napas lega. "Astaghfirullahal'adzhim ... maafin, aku, Ra," ucap Nabil lirih, lalu berjalan gontai ke arah kursi panjang dan tak lupa ia menekan sakelar sebelum merebahkan diri.
---***---
Langit biru berselimutkan awan putih yang menggumpal indah. Sinar mentari begitu cerah namun tak menyengat kulit yang diterpanya.
Keceriaan begitu terlihat dari gelagat Laura yang kini memakai gamis warna pink dipadukan dengan pasmina warna dusty, tampak begitu cantik. Apalagi Laura juga mengoles bibirnya dengan lipblam dan memakai celak.
"Mas," panggil Laura begitu ia merasa siap dan menghampiri Nabil yang duduk di teras rumah.
Nabil yang tadinya duduk santai pun menoleh. Tatapannya seketika memaku, saat melihat tiba-tiba bidadari cantik berdiri di sampingnya. Netra laki-laki itu pun menyisiri Laura dari ujung kaki sampai puncak kepala.
"Laura?" tanya Nabil seperti tak yakin, jika wanita bergamis dengan wajah yang terbalut kerudung pasmina itu adalah istrinya sendiri.
Pasalnya, Laura belum pernah memakai gamis dan baru kali ini pasmina yang ia pakai tampak rapi, hingga terlihat begitu cantik. Apalagi tadi Laura juga memoles wajahnya dengan make up tipis, meski hanya sedikit ternyata efeknya membuat Nabil terpesona.
Laura terkekeh melihat Nabil yang melongo. Desiran bahagia menelusup ruang hatinya, ia senang berhasil membuat sang suami terpesona melihat dirinya.
Nabil yang menyadari tingkah cengonya sendiri sontak salah tingkah.
"Aneh nggak, Mas. Kalau aku pakai gamis kayak gini?" tanya Laura yang merasa tak PD dengan penampilan barunya saat ini.
"Emm enggak kok, Ra. Malah can--" Nabil langsung menghentikan ucapannya saat menyadari kata yang akan ia ucapkan.
Laura yang menunggu penuturan sang suami, tak berhenti menatap laki-laki yang mendadak kebingungan. Ia menunggu sebuah kata yang digantungkan Nabil.
"Can apa, Mas?" tanya Laura akhirnya, sengaja menggoda Nabil.
"Em, itu Can ... Can ... can apa, ya?" Nabil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal sembari nyengir salah tingkah.
Laura yang kesal karena Nabil tak kunjung memujinya cantik, akhirnya hanya bisa menghela napas cukup panjang. "Bilang cantik aja susah amat, sih. Padahal muji istri sendiri, kaku amat," gerutu Laura menghentakkan kaki kemudian berlalu dari hadapan Nabil.
Entah sejak kapan Laura menjadi wanita yang ingin dipuji cantik, padahal dulunya ia sangat tak suka dipuji cantik oleh laki-laki selain ayah dan keluarganya. Bahkan, kata cantik yang terlontar dari teman laki-lakinya membuat ia jengkel, karena kebanyakan dari mereka akan disusul pernyataan kata cinta dan berakhir mengajaknya pacaran.
Sebandel-bandelnya Laura dulu tak pernah pacaran. Namun, bukan karena menuruti kata orang tua atau perintah agama. Melainkan karena pernah ia mempunyai seorang sahabat yang berakhir bunuh diri akibat pacarnya selingkuh. Semenjak saat itulah, Laura memegang prinsip tak mau pacaran dengan siapapun.
"Mau kemana, Ra?" tanya Nabil yang dalam hatinya terselip merasa bersalah saat mendengar gerutuan sang istri.
"Mau ke Mekkah naik haji!" jawab Laura asal karena kesal dengan sedikit berteriak sembari menoleh sebentar, kemudian melanjutkan langkah lagi.
Nabil yang baru sadar pertanyaannya membuat Laura semakin kesal, menepuk jidatnya sendiri. "Astaghfirullah ... udah jelas-jelas mau ke rumah Mama Papa. Kenapa ane mendadak bahlul gini, ya." Bergegas Nabil mengunci pintu, lalu mengejar langkah sang istri yang semakin jauh.
"Ra ... tungguin dong, Ra. Buru-buru amat, sih, jalannya," ucap Nabil berusaha menyeimbangkan langkah sang istri.
"Aku kangen banget sama Mama dan Papa, pingin buru-buru nyampek sana."
"Bukannya Mama dan Papa jam segini nggak ada di rumah?"
Laura menghentikan langkah, baru sadar jika perkataan sang suami memang benar adanya.
Nabil ikut berhenti dan menatap sang istri. "Maafin aku, ya, Ra. Udah buat kamu kesal. Aku belum pernah memuji wanita secara langsung. Jadi lisanku masih kaku mau bilang kamu cantik."
Laura yang mendengat kata cantik itu sontak menatap Nabil dengan bibir yang tersenyum merekah. Sedangkan Nabil sepertinya tak sadar jika baru saja sebenarnya ia memuji sang istri.
"Hehehe itu udah bilang cantik. Makasih." Laura tak berhenti tertawa, merasa konyol dengan Nabil yang kembali salah tingkah, menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Hehehe iya juga, ya. Ya udah, yuk itu ada becak Mang Heru" Nabil pun segera melambaikan tangan, memberi kode jika dirinya akan naik becak yang dikemudi Mang Heru.
Keduanya pun naik becak menuju jalan raya besar untuk naik bis kemudian menuju rumah orang tua Laura. Sebenarnya tadi pagi Laura ingin meminta jemput supir papanya, tetapi Nabil melarangnya. "Kita belajar mandiri ya, Ra. Nggak enak ngerepotin Mama sama Papa. Biar surprise juga nanti kedatangan kita ke sana."
"Oh iya, Ra. Kalau sebelum ke rumah Mama Papa, kita mampir dulu ziarah ke makam Ummi dan Abi, kamu keberatan, nggak?"
"Memangnya ngelewatin nanti, Mas?" Nabil mengangguk.
"Ya udah, Laura mau, kok. Itung-itung kenalan juga sama mertua. Hehe."
"Iya, nanti Mas kenalin, ya."
Satu jam kemudian.
Sepasang suami istri itu baru saja usai dari pemakaman orang tua Nabil. Laura yang melihat sang suami sempat meneteskan air mata, hanya bisa bungkam dan hatinya ikut pilu.
Berulang kali Laura tampak menghela napas, kesedihan turut mendera hatinya. Hingga satu kata pun sejak tadi tak terlontar dari lisannya.
"Haus, Ra?" tanya Nabil begitu keduanya sampai di trotoar dan baru saja keluar dari gapura TPU.
Laura yang sejak tadi mengiringi langkah suaminya mendongak lalu mengangguk. Ia baru menyadari jika tenggorokannya terasa kering sekarang.
"Kita minum es cincau itu, ya. Sekalian kalau mau makan juga ada gado-gado atau rujak." Laura pun tersenyum lalu mengangguk, meski sebenarnya dalam hati bertanya-tanya. 'Rujak? Rujak itu makanan apa ya?'
Keduanya pun kembali berjalan beriringan menuju sebuah warung yang berjarak sekitar 50 meter dari tempatnya tadi berdiri.
"Pesan es cincaunya 2 ya, Pak." Bapak penjual paruh baya itu pun menyambut dengan anggukan disertai senyum ramah.
"Kamu mau rujak apa gado-gado?" tanya Nabil menoleh ke arah Laura yang duduk di sampingnya.
"Kalau rujak itu enak nggak, sih, Mas? Enakan mana sama gado-gado?" Laura yang penasaran dengan rujak, akhirnya bertanya dulu sebelum memilih pesanan.
"Belum pernah makan rujak?" Laura menggeleng.
"Kalau gado-gado?"
"Pernah dulu di buatin Nenek. Itu pun waktu aku masih kecil dan aku suka, sih."
"Ya udah kamu gado-gado, Mas rujak ya. Nanti kamu bisa nyicipin rujak punyaku."
Laura mengangguk senang, sepakat dengan pilihan Nabil yang sungguh bijak menurut Laura. Mendengar nama menu baru itu, membuat Laura penasaran dengan rasanya.
Apalagi, selera Laura yang dulunya sangat berbeda dengan masakan atau menu makanan di pondok. Kini mulai beradaptasi di lidahnya. Ia juga merasa suka, apalagi menu-menu itu tak diragukan gizi dan kebersihannya.
'Makanan itu jangan hanya enak, Ra. Tapi juga yang dibutuhkan tubuh untuk menjaga kesehatan. Seperti itulah, baru dikatakan thoyyib. Jadi makanan yang kita konsumsi usahakan setiap harinya yang halal lagi thoyyib sesuai dengan ajaran Rasulullah.'
Begitulah nasihat Nabil dalam soal makan yang di ingat Laura. Enam bulan hidup bersama, semenjak tekad Laura ingin berubah. Gadis itu tak pernah bosan mendengar nasihat Nabil. Bahkan, ia pun tak lupa mencatat semua nasihat itu dalam buku catatan rahasianya di rumah.
"Mas, boleh nanya?" tanya Laura saat keduanya sedang menunggu pesanan yang belum datang.
Nabil mengangguk sembari menatap sang istri. "Gimana caranya Mas menepis rindu kepada orang tua, Mas? Apa hanya dengan ziarah ke makam mereka bisa mengobati rindu itu?"
Nabil tampak menghela napas lalu tersenyum. "Iya, Ra. Salah satunya dengan itu. Meski rasa rindu itu seakan tak terobati dengan sempurna. Namun, saat Mas mengingat semua ini ujian dari Allah agar Mas bisa lebih bersabar dan belajar ikhlas. Apalagi Mas sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Kiai dan Bu Nyai. Jadi, Mas hanya bisa menahan semuanya dalam hati. Tak henti Mas juga kirim fatihah setiap usai salat dan tak lupa berdoa, semoga keberadaan Mas di dunia ini bisa membahagiakan kedua orang tua. Mas hanya bisa sesekali berkhayal melihat senyum mereka saat mata ini terpejam."
Laura yang mendengar dengan seksama penuturan Nabil, tak terasa air mata tiba-tiba meluncur dengan lancang. Dengan cepat Laura menepis air mata itu, agar Nabil tak melihatnya.
"Besok-besok. Kalau Mas Nabil ziarah lagi. Laura ikut ya, Mas."
"Kok tiba-tiba--"
"Permisi, Mas. Ini pesanannya," ucap seorang laki-laki memotong pembicaraan Nabil dan langsung meletakkan dua gelas dan dua piring di depan mereka.
"Laura pernah dengar kata ustazah. Kita wajib terus berbakti kepada orang tua, meski sudah meninggal. Caranya ya itu, kirim fatihah, yasin dan doa untuk mereka. Bukankah orang tua Mas Nabil juga orang tua Laura, kan?" Nabil mengangguk lalu tersenyum.
"Laura juga ingin berbakti kepada mertua Laura, tak hanya Mama dan Papa," imbuh Laura yang mendapat senyuman lebih lebar dari bibir Nabil. Ia bahagia, akhirnya sang istri terbuka hatinya untuk berbakti kepada orang tuanya.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
22 Dzulhijjah 1442 H
Gimana dengan Part ini?
Yuk ramein komennya 😃
Jazakumullah khoir yang masih setia mampir 😁

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top