Part 04 - Hanya Kewajiban

Assalamu'alaikum sahabat pembaca 😄

Alhamdulillah pagi ini aku bawa part baru nih.

Cung dulu dong yang udah nungguin.

Jangan lupa tekan dulu bintang di pojokan ya
Happy reading 😄

💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
Jangan mengklaim seseorang itu buruk, meski kenyataannya ia memang tak berkelakuan baik.
Karena kita tak pernah tahu, jika istighfarnya itu suatu saat nanti, bisa saja ia berubah menjadi orang baik saat Allah berkehendak.

💞💞💞💞💞

Jalanan berpaving yang kini di lalui Nabil dan Laura mulai tampak beberapa orang berlalu lalang. Keduanya kompak menyapa mereka dengan anggukan dan senyuman ramah saat melintas dari berlawanan arah.

Keduanya tak berjalan beriringan, apalagi bergandengan tangan semenjak keluar dari rumah. Nabil berjalan di depan dan Laura mengekorinya.
Namun, saat kaki Nabil akan memasuki gerbang pesantren. Ia berhenti sejenak lalu menghadap ke belakang.

Laura yang sejak tadi fokus menunduk saat berjalan dengan pikiran melayang, tidak menyadari jika Nabil berhenti di hadapannya. Alhasil, tak bisa terhindar lagi ia menabrak dada bidang Nabil. Jika Nabil tak sigap menangkap tubuh Laura yang oleng, sudah bisa dipastikan tubuh Laura akan berbenturan dengan tanah pagi ini.

Dua pasang netra itu pun bersilih pandang. Tertegun karena sama-sama terkejut. Namun, siapa sangka jika terjadi sesuatu dalam tatapan itu tanpa disadari.

Keduanya sama-sama salah tingkah saat menyadari jika pandangan itu mulai menyelam semakin dalam. Untung saja, suasana halaman pondok sedang sepi. Jadi tidak ada yang menyoraki adegan mesra itu.

"Resek banget, sih. Berhenti seenaknya sendiri," gerutu Laura sembari mengibas-ngibas bagian atas tubuhnya, seolah-seolah tangan Nabil barusan meninggalkan jejak debu yang kotor di bajunya.

"Maaf, jangan biasain kalau jalan sambil melamun," ucap Nabil kalem.

"Ya udah, belajar yang giat ya. Aku ngajar dulu." Nabil menyodorkan tangannya ke arah sang istri.

Laura sempat bingung dengan apa yang dilakukan Nabil. Namun, baru beberapa detik berlalu, otaknya bisa mencerna maksud sang suami. Dengan ragu-ragu dia menjabat tangan itu lalu menciumnya singkat.

Tanpa berani menatap Nabil, cepat-cepat ia mengambil langkah berbelok ke kiri. "Assalamu'alaikum." Melihat Laura yang tak melontar satu kata pun, akhirnya Nabillah yang mengucapkan salam.

Rungu Laura yang masih bisa mendengar salam itu pun menjawabnya, tetapi jawaban itu hanya di dalam hati. Bibirnya masih mengatup begitu rapat dengan kepala terus menunduk.

"Ecie cie ... yang dianterin babang halal. Romantisnya," lontar perempuan yang paling tinggi, Nurul namanya.

"Coo cweett ... ngiri, nih aku ngiri. Kapan giliran dedek dihalalin, Bang?" Perempuan yang berbobot paling banyak pun akhirnya ikut bersuara, namanya Tina.

"Beruntung banget, sih kamu, Ra. Baper aku." Kini tak ketinggalan perempuan paling manis ikut berkomentar, Siti namanya.

Laura yang baru saja melewati pintu masuk ke pondok putri, mendengar ledekan itu sontak terkejut dan langsung memberhentikan langkah. Menoleh ke sumber suara, lalu menghela napas jengah saat mendapati tiga gadis yang sudah ia duga.

Tiga gadis itu tampak cengengesan di samping pintu masuk. Kelihatan sekali jika tadi mereka mengintip apa yang terjadi. Namun, itu bukan mengintip, karena saat Laura menoleh ke belakang, ia pun bisa melihat dengan jelas tempat yang menjadi posisinya tadi berdiri bersama Nabil.

"Iya, sih. Dia untung. Tapi Babang Nabilnya yang buntung." Tiba-tiba seorang gadis di seberang mereka menyahuti dengan ledekan.

"Haduh ... kasian banget, ya. Pangeran idola santriwati sepondok bisa-bisanya dapat istri macam dia," kata perempuan sebelahnya lagi.

Tiga gadis yang memang merupakan teman baik Laura tadi tak tinggal diam saat mendengar olok-olokan itu, akhirnya mereka maju dan serentak saling bersahutan.

"Eh ... si eneng. Sirik amat." Tina bersuara lebih dulu.

"Sirik? Bilang, Neng." Dengan kompak Siti dan Nurul melanjutkan ledekan mereka.

Tanpa respon sepatah kata pun, Laura memilih meneruskan langkah dengan menyeret tiga sahabatnya yang melawan nyinyiran dua gadis yang memang musuh bebuyutannya sejak ia masuk pondok ini.

Dia tak mau menciptakan kerusuhan di hari pertamanya kembali sekolah setelah sekian pekan izin. Setidaknya emosinya kali ini masih melunak. Jadi tak seharusnya ia bertengkar jika harus saling melempar ledekan demi ledekan.

Apalagi, saat ini ia juga merasakan sesuatu hal yang aneh dalam dirinya. 'Sebaiknya aku harus segera mengeceknya di kamar mandi,' batin Laura.

---***---

"Ra ... bangun. Salat Zuhur dulu, yuk!" Saat kumandang azan Zuhur terdengar. Nabil segera memasuki kamar, hendak membangunkan sang istri yang memang tadi sepulang sekolah langsung tidur.

Tidak seperti tadi pagi dan hari-hari biasanya, kali ini Laura langsung merespon saat Nabil menepuk punggungnya. Tubuhnya bergerak dengan mata yang masih terpejam, tampak kemudian bibir Laura meringis sembari tangan memegangi perut.

"Sshhhh," desis Laura semakin mengeratkan pegangan di perutnya.

"Kamu kenapa?"

Tanpa kata, Laura yang telah membuka mata langsung bangkit dan keluar kamar dengan tergesa-gesa, melewati sang suami begitu saja.

Ekor mata Nabil mengikuti gerakan Laura dengan keheranan. Tampak gurat kekhawatiran di wajahnya, sehingga ia mengikuti langkah sang istri kemudian diam berdiri saat mendapati Laura menutup pintu kamar mandi.

"Huek ... huek."

Kening Nabil sontak mengerut. Heran dan penuh tanda tanya di otaknya saat ini.

Kenapa dia?
Kok muntah?
Padahal kan belum di apa-apain sama sekali.
Masak iya, sih. Dia hamil diluar nikah?

Astaghfirullahal'adzhim, apa yang aku pikirkan? Masuk angin juga gejalanya mual, kan?
Nabil memukul pelan jidatnya sendiri lalu menggeleng-geleng. Ia tak habis pikir saja, bisa-bisanya malah berprasangka buruk.

Selang beberapa menit, Laura menampakkan wajah pucatnya begitu membuka pintu. Ia menyenderkan kepala di kusen pintu, tampak juga buliran keringat menghiasi pelipisnya.

"Kamu sakit?" tanya Nabil langsung memapahnya saat mendapati sang istri begitu lesu, seakan tak bertenaga. Entah dapat keberanian dari mana Nabil menyentuh Laura. Mungkin efek kecemasan dan tidak tega, berakibat refleknya tangan Nabil melakukan hal itu.

Laura masih saja tak memberikan jawaban. Ia hanya pasrah, tanpa protes sedikit pun saat Nabil memapahnya menuju kamar sembari tangannya terus meremas baju di bagian perut. Sesekali ia menggigit kedua bibir, tampak menahan sakit.

Saat Laura berhasil kembali berbaring di tempat tidur, ia langsung memeluk bantal guling, memunggungi Nabil. Bukan ia tidak suka Nabil membantunya. Bukan ia benci pada sosok suaminya itu.
Namun, ia merasa malu saja saat cairan yang menggenang di pelupuk matanya tadi tiba-tiba mencelos tak kuasa ia bendung lagi--Ia tak mau ketahuan menangis.

"Silakan kalau kamu mau salat, gue halangan."

Nabil bingung harus bagaimana, ia sungguh khawatir, tetapi tak tahu harus melakukan apa.
"Tapi kamu sakit. Saya belikan obat dulu, ya."

"Nggak usah. Teleponin Mama untuk ke sini aja," pinta Laura tanpa membalikkan tubuhnya, menyembunyikan air mata yang terus menetes.
Nabil tampak menghela napas, lalu menuruti permintaan sang istri.

Selang beberapa menit, Nabil telah kembali dengan segelas asam jawa yang masih hangat. Masih terdengar jelas di rungu Nabil desis kesakitan dari mulut Laura. Nabil segera menghampiri, tak tega rasanya.

"Ra."

"Hmmm."

"Ini minum dulu minuman asam jawa, mumpung masih anget, ya."

Laura masih bergeming. Nabil bisa melihat tangan Laura yang erat memegangi perut.

"Ra."

"Aku mau, Mama," ucapnya disertai sesenggukan. Nabil pun terkejut, ia tak menyangka jika gadis itu sampai menangis.

Nabil pun meletakkan gelas itu lebih dulu sebelum duduk di tepi ranjang.
Namun, saat tangannya akan menyentuh. Ia ragu, bingung harus melakukan apa.

Dasar Nabil yang memang tak punya saudara perempuan. Hidup dari kecil di pondok menjadikan ia tak mengenal dunia wanita. Ia saja baru mengetahui dari Mama mertuanya tadi, jika sebagian perempuan akan mengalami sakit perut yang namanya 'dilep' saat hari-hari awal atau menjelang haid. Tak luput pula perempuan yang kini berstatus menjadi istrinya itu, setiap bulan Laura mengalami dilep saat periode mens-nya datang.

"Mama kamu nggak bisa datang hari ini karena lagi di luar kota. Tapi ini saya sudah buatin minuman asam jawa, sesuai intruksi Mama kamu. Di minum dulu, ya."

Perlahan, Laura tampak membalikkan tubuh. Kedua tangannya mengusap wajah yang basah. Laura bangkit, Nabil dengan sigap merubah posisi bantal yang tadi ditiduri Laura menjadi miring, bersandar ke kepala ranjang.

Laura pun bersandar, Nabil langsung menyodorkan minumam itu.
"Bismillah dulu," cegah Nabil saat bibir Laura baru saja menyentuh bagian tepi gelas.

Laura pun akhirnya menggerakkan bibirnya, terdengar lirih bacaan basmalah yang terlontar dari lisannya. Nabil tersenyum melihat pemandangan itu, setidaknya wanita itu menuruti perintahnya.

Sebagai seorang suami, Nabil melakukan semua hal itu hanya semata-mata memang telah menjadikan kewajibannya. Perhatian dan didikannya kepada Laura karena memang wanita itu adalah istrinya, bukan karena cinta.

.
.
.
.
.

Bersambung.
1 Rojab 1442 H

Gimana part ini mnurut kalian?
Yuk komenin yang rame 😄

Alhamdulillah kita memasuki bulan mulia, Rojab ya.

Mari perbanyak istighfar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top