Part 03 - Pengantin Baru
Assalamu'alaikum sahabat pembaca.
Alhamdulillah pagi ini bisa up ya.
Maaf udah lama nggak up.
Semoga setelah ini bisa sering up.
Aamiin.
Yuk vote dulu.
Ramaikan dg ajak teman-teman baca juga.
Happy reading
😃😃😃
💚💚💚💓💟💓💚💚💚
Jangan selalu menuntuk hak, karena ikhlas lillahita'ala itu, hanya ingin menggapai rida-Nya dengan apa yang ia lakukan.
💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
Mentari pagi baru saja menampakkan diri.
Cahayanya mulai menghangatkan setiap pori-pori kulit manusia yang telah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Di rumah sederhana, tengah berkutat seorang laki-laki di dapur seorang diri.
Seusainya ia melakukan olahraga ringan di pagi hari dengan hanya menggerak-gerakkan tangan, kaki, dan diakhiri lari di tempat.
Setelah mengusap peluh yang tampak membulir di sekitaran wajah. Ia cuci muka, barulah mengambil baskom dan mengisi setengah liter beras ke dalamnya.
Air kemudian mengaliri, tangan laki-laki itu dengan lihai membersihkan buliran padi yang telah terlepas dari sekamnya itu. Tak lupa mulutnya terus komat-kamit membaca basmalah dan selawat saat melakukan hal itu.
Ia selalu mengingat pesan Abah Yai saat pertama kali memasak nasi di ndalem. "Kalau mencuci beras, bacalah basmalah, selawat, dan teruskan dengan bacaan ya lathif sampai selesai. Jangan lupa selipkan doa dalam hati, semoga setiap butir nasi yang dimakan nanti, menjadi pelembut hati dan meringankan diri untuk beribadah."
MasyaAllah. Beruntungnya bisa berkumpul dengan orang-orang salih. Dalam hal yang menurut orang awam adalah hal sepele, tetapi tidak menurut mereka. Dalam semua hal, orang-orang salih akan selalu ingat Allah. Sehingga apapun yang mereka lakukan, pasti akan dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Tampak kemudian ia meletakkan panci penanak nasi di atas kompor, lalu menyalakan kompor dengan api kecil. Setelahnya, barulah ia keluar rumah hendak berbelanja lauk pauk dan sayuran di tempat Mbok Ju yang tak jauh dari rumahnya.
"Assalamu'alaikum, Mbok," sapanya saat sampai, mendapati wanita lansia itu sedang merapikan barang dagangannya seorang diri.
"Wa'alaikumsalam. Wah ... si pengantin baru, cucu cakepnya si Mbok sumringah amat. Keliatannya juga seger gitu, habis keramas lagi," goda Mbok Ju saat melihat Nabil yang tersenyum menyapanya.
"Halah ... Mbok bisa aja. Kayak baru ketemu aja. Tiap hari juga habis keramas Mbok kalau ke sini."
"Hehehe ... iya juga, sih. Tapi auranya pasti beda to, Le. Gimana-gimana? Kawin itu enak, kan?" godaan Mbok Ju masih berlanjut.
Nabil hanya tersenyum. Netranya lebih fokus ke arah sayur kangkung yang terlihat masih segar.
"Kebalik kali, Mbok, yang nanya. Mbok, kan lebih berpengalaman."
"Hahahaha ... kamu ini, Le, Le, bisa aja ngejawabnya main lempar mulu."
Senyum Nabil semakin melebar, melihat tawa sosok wanita yang kulitnya keriput itu memberikan kebahagiaan sendiri di dalam hatinya.
Baru saja Nabil usai memilih sayur beserta lauknya, tiba-tiba dua laki-laki yang merupakan sahabatnya datang menghampiri.
Memang sudah menjadi kegiatan rutin para abdi ndalem sebelum jam enam pagi mereka akan berbelanja.
"Assalamu'alaikum, Bro."
Nabil tersenyum lalu menjawab salam Farhan.
"Wah ... pengantin baru, nih. Gimana-gimana?" Laki-laki di samping Farhan ikut melempar goda. Tampak laki-laki bernama Haris itu menaik turunkan alisnya.
Sejak Nabil menikah, Harislah yang menggantikan posisinya menjadi abdi ndalem Abah Yai.
"Alhamdulillah ... Ane duluan ya." Nabil menepuk pundak Farhan dengan tangan kanan membawa plastik belanjaan yang sudah ia bayar.
"Aish ... buru-buru amat, Bro. Kayaknya udah gol, ya, hahaha," ucap Farhan mencekal tangan Nabil.
"Udah kangen bini kayaknya," goda Haris lagi.
"Hehe, afwan ... ane lagi masak nasi."
Farhan dan Haris sontak saling menatap. Heran dengan apa yang diucapkan Nabil.
Masak sendiri? Kan, udah punya bini?
Pertanyaan yang hanya terpendam oleh keduanya, tanpa sempat terlontar karena Nabil buru-buru mengambil langkah cepat meninggalkan mereka.
Mereka tak tahu saja, jika memang Nabil menghindari pembahasan malam pertama yang dilewatinya semalam.
Sebuah malam pertama yang dilewati tanpa ada kata spesial, layaknya malam pengantin pada umumnya.
---***---
"Sa'duna fiddunya. Fauzuna fil ukhro.
Bikhodijatalkubro. Wafatimatazzahro."
Lantunan kasidah ini terlantun merdu dari lisan Nabil. Menemaninya beraktivitas memasak pagi ini.
Nabil melakukan aktivitas hari ini tanpa beban, selain karena aktivitas memasak sudah menjadi kebiasaan sehari-harinya selama menjadi abdi ndalem. Nabil juga berusaha memahami keadaan sang istri yang memang belum bisa memasak, pasti butuh waktu untuk belajar dan beradaptasi dengan situasi yang seakan memaksakan dirinya untuk mengurus lika-liku kehidupan berumah tangga.
Sejak tadi, wanita yang kini berstatus istrinya itu masih menikmati kehangatan diri di balik selimut. Selepas salat Subuh tadi, ia kembali pamit tidur dengan alasan pusing karena semalam tak bisa tidur akibat banyak nyamuk.
Padahal, dibalik alasan itu. Sebenarnya ia enggan sekali beraktivitas sepagi ini karena sama sekali bukan kebiasaan dirinya dari dulu. Toh, dirinya juga tak bisa memasak dan suaminya itu tak keberatan sama sekali untuk memasak sendirian.
"Neng ... Neng." Nabil dengan lembut menepuk pundak Laura yang tertutup selimut. Posisi miring Laura tidur, membuat pundak kirinya yang kini mudah terjangkau oleh tangan Nabil.
Entah sudah berulang kali panggilan itu Nabil lontarkan. Sama sekali tak ada respon. Padahal, Nabil telah lebih mengeraskan suara dan tepukan itu.
Tampak kemudian Nabil menghela napas, tetapi kembali ia berusaha. Namun dengan panggilan lain.
"Ra ... bangun, Ra. Kita sarapan dulu, yuk!" Tak hanya tepukan kali ini lakukan. Tangannya menyingkap selimut yang membungkus tubuh Laura.
Merasakan hawa dingin menelusup. Laura merasa terusik. "Ayo, Ra! Kita sarapan," ujar Nabil lagi.
Laura tak pedulikan suara yang terdengar. Keduanya masih tertutup begitu rapat. Tangannya saja yang mulai bergerak, mencari kain tebal yang menjadi penghangat tubuhnya.
Nabil sengaja menahan selimut itu, membuat Laura kesulitan menariknya.
Mau tak mau akhirnya Laura membuka mata. "Aish ... lo ini apa-apaan, sih. Ganggu tidur gue aja," ucapnya geram seraya menatap Nabil tak suka.
"Ini sudah jam tujuh. Ayo sarapan dulu. Jam delapan saya harus mengisi kelas di pondok."
"Ya udah, lo aja sana yang sarapan. Gue masih ngantuk."
"Kamu, kan harus sekolah."
Mata Laura sontak membelalak. "Sekolah? Ngapain. Udah nikah juga."
"Pernikahan nggak menghalangi kita menuntut ilmu, Ra. Toh, Kiai nggak keberatan dengan permintaan orang tua kamu ini," ujar Nabil dengan santai, tangannya dengan lihai melipat selimut yang berhasil ia tarik dari tubuh sang istri.
"Ha? Ini semua rencana Papa Mama?" tanya Laura terkejut. Tak menyangka jika jalan pernikahan yang ia pilih, bukan menjadi jalan ia berhenti sekolah di pondok.
"Mama Papa curang," gerutu Laura tampak begitu kesal.
"Sudah ... nggak usah banyak protes. Cepet siap-siap. Atau kita sarapan dulu?" Setelah meletakkan selimut yang telah terlipat rapi. Nabil segera keluar dari kamar. Meninggalkan sang istri yang masih tampak menggerutu, meluapkan kekesalannya.
Lima belas menit berlalu.
Laura kini telah siap dengan seragam rapi yang melekat di tubuhnya. Seharusnya ia tampak cantik dengan kesegaran wajahnya yang putih alami tanpa jerawat. Namun, akibat bibirnya yang terus manyun, membuat kadar kecantikannya berkurang.
Nabil yang sempat melihat ekspresinya, tersenyum tipis. Ia meletakkan kitabnya di meja, lalu berjalan beberapa langkah menuju sebuah tikar yang telah tergelar. Makanan sudah rapi tertata di atasnya. "Yuk, kita sarapan di sini," ujar Nabil yang langsung duduk.
"Makannya di bawah, nggak pakek kursi?"
"Sunah Rasul," jawaban Nabil membuat Laura langsung bungkam. Jika sudah menyangkut urusan sunah atau pun hukum syari'at Laura tak bisa membantah lagi.
Keduanya pun makan dalam hening. Laura cukup takjub dengan masakan Nabil yang ternyata sangat enak. Namun, gengsi besar menyelimuti dirinya. Sehingga ia tampakkan ekspresi ogah-ogahan saat menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Maaf kalau makanannya kurang enak, ya. Saya bisanya masak ya kayak gini," ucap Nabil bangkit marena dia sudah selesai dengan kegiatan makannya.
Setelah mencuci piringnya sendiri, Nabil langsung ke kamar mandi. Ia juga harus siap-siap mengajar hari ini.
Saat keberadaan suami tak terlihat. Dengan cepat Laura menambah porsi makanannya. Ia makan begitu lahap dan cepat karena tak ingin sampai sang suami tahu.
Laura tak menyadari saja, jika Nabil baru saja lewat di belakangnya pelan-pelan untuk mengambil handuknya yang tertinggal.
Bibir Nabil menyungging senyum dengan kepala menggeleng-geleng saat mendapati tingkah gengsi Laura.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
17 J. Akhir 1442 H

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top