Prolog | Reminisensi
"Some day soon, perhaps in forty years, there will be no one alive who has ever known me. That's when I will be truly dead – when I exist in no one's memory. I thought a lot about how someone very old is the last living individual to have known some person or cluster of people. When that person dies, the whole cluster dies too, vanishes from the living memory. I wonder who that person will be for me. Whose death will make me truly dead?" -- Irvin D. Yalom, Love's Executioner and Other Tales of Psychotherapy.
<<<>>>
Apakah takdir bisa diubah?
Lintang Punarbawa masih terngiang-ngiang dengan pertanyaan tersebut.
Semalam, saat tertidur pulas di pinggir jembatan, laki-laki itu bermimpi memeluk rembulan erat-erat. Rembulan, sebiru safir dan secemerlang intan, lingsir dari dirgantara dan jatuh ke pangkuannya bagai bintang jatuh. Dingin meliputi kedua telapak tangannya begitu ia mengusap permukaan bulan yang berlubang. Terdengar alunan nada sayup-sayup dari rembulan, perlahan menyusup dan mendamaikan kalbunya.
Walau rasian itu hanya berlangsung sejenak, Lintang tak bisa menghapus kegelisahannya. Apakah mungkin jika rembulan jatuh di pangkuannya, ia bakal mendapat keberuntungan, kekayaan, atau kesejahteraan? Ah, andai saja itu benar adanya, mungkin kini ia tak akan hidup seperti ini. Namun lelaki itu cepat-cepat menggelengkan kepalanya, mengusir hantu-hantu dalam bayangan.
Ia lebih tahu apa yang harus dilakukan daripada menghabiskan waktu melukis di atas air.
Seperti hari-hari sebelumnya, Lintang Punarbawa membuka fajarnya dengan berdiri di ujung Jalan Tiga Berlian. Di bawah jembatan yang ia pijak, terdengar jelas suara air memercik dan menderu-menderu. Tangan kanannya menyambar sebuah mangkuk plastik berisi beberapa keping logam yang sempat ia gunakan untuk makan tadi malam. Ditaruhnya mangkuk itu di depan kaki, sementara tangan yang lain menggenggam leher sebuah gitar akustik. Mulailah ia memetik senarnya satu per satu, bibir keringnya menggumamkan serangkaian nada yang semalam datang mengetuk pintu mimpinya.
Lamunan pemuda berpakaian lusuh nan kumal itu pecah ketika ekor matanya menangkap sesosok pria tua yang datang dari kejauhan. Imam Danyal memang tak pernah alpa untuk memberi kultum subuh di surau dekat dermaga. Seringkali ia berangkat sekitar jam dua pagi dan baru turun dari surau saat semua jemaahnya telah pulang, berjalan kaki menyusuri tepian sungai yang bermuara di Laut Jawa—tempat puluhan kapal slerek berwarna-warni tengah merebahkan diri menunggu para nahkoda dan awak kapal.
Berpakaian gamis putih selembut sutra, pagi ini ia menaruh dua lembar uang berwarna kuning keemasan di mangkuk plastik sembari mengucapkan salam pada Lintang. Segera dijawabnya salam itu dengan senyum penuh suam. Pemuda itu masih ingat bagaimana beberapa hari lalu sang imam mengajaknya datang ke surau untuk mencicipi takjil gratis. Tentu, ia tak mampu menolak tawarannya. Kini, dia menganggukkan kepalanya pada Lintang dan berlalu—seakan-akan itu adalah kali pertama ia bertemu dengannya.
Berikutnya melintaslah Mbok Nini dengan memikul bakul penuh botol-botol berisi cairan temulawak, sinom, beras kencur, kunyit asam, pace, kunci suruh, dan daun kelor. Wajah keriput itu terlihat lebih berseri dari beberapa hari sebelumnya. Refleks, ia memanggil Mbok Nini dan membeli segelas temulawak. Dengan agak terburu-buru, Simbok melepas selendangnya dan menuangkan minuman dari botol ke bungkus plastik.
Begitu memberikan uang kembalian, Mbok Nini segera pamit melanjutkan perjalanan ke arah barat seraya meneriakkan semboyannya dengan lantang. Cukup lama Lintang memandang Simbok, pikirannya masih mengikuti tiap langkah yang diambil wanita paruh baya itu. Pernah suatu kali beliau berkisah perihal suaminya yang sudah tujuh tahun menjadi kuli di Tanah Singa dan belum juga berkirim kabar selama sebulan terakhir. Anak pertamanya baru saja duduk di bangku sekolah menengah pertama, sementara anak keduanya belum sempat merasakan suamnya bangku sekolah dasar. Lintang menghela napas dan menghembuskannya perlahan sembari memetik senar-senar gitarnya kembali.
Seiring naiknya baskara ke cakrawala, semakin banyak sepeda motor dan mobil berlalu-lalang. Tangan-tangan familier melemparkan beraneka warna lembar dan kepingan uang dalam mangkuk plastik, dipayungi bayang-bayang sebatang pohon ki hujan bercabang tiga. Pohon itu bersandar pada pagar pembatas yang berhiaskan kucai mini dalam pot-pot kecil.
Lintang kembali menggubah alunan nada dari kedalaman mindanya menjelma satu lagu utuh dengan khidmat. Tak ada orang yang mengeluh mendengarnya, meski tak terhitung sudah berapa kali nada-nada itu ia ulang. Tak ada orang yang peduli juga.
Sebab, siapa juga sih, yang sudi mengingat orang asing?
"Petikannya lihai banget! Eh, Masnya kedinginan ya?"
Ah, Aura Sultanah rupanya.
Lintang menghentikan genjrangannya sejenak dan tersenyum simpul. Pandangannya beristirahat di sela-sela lekukan rok plisket kuning kehijauan milik seorang puan. Macam seorang putri Solo yang naik kereta kencana dari timun suri, kedua kakinya melangkah anggun di atas trotoar, syimagh bermotif jaring-jaring hitam-putih membalut kepala Aura—rumbai-rumbainya melambai pada Lintang. Sang puan baru saja menaruh satu lembar uang berwarna ungu kemerahan dalam mangkuk, dan seperti biasa, Lintang nyaris tertidur dalam pelukan matanya.
Ya, memang benar sekarang tubuhnya mengigil—walau hari sudah mulai beranjak dhuha. Kalau engkau tanyakan itu ke Lintang, ia akan menjawab jika ia tak mampu mengontrol sesuatu yang ada di luar kendalinya. Bahkan sweter rajut sehitam arang yang menutup leher sampai pinggulnya pun tak sanggup membendung hawa dingin. Gigi laki-laki itu tampak gemertak beberapa kali sebelum uap air berembus dari pintu bibirnya.
"Saya nggak apa-apa kok Mbak," kata Lintang berbohong, "cuma flu biasa." Baginya berbohong atau tidak sama saja, siapapun itu orangnya dan dimanapun tempatnya.
Perempuan itu pun menyahut, "Jangan bohong, mana ada flu di siang bolong sampai mengigil begitu." Aura tak sampai hati rasanya membiarkan gelandangan ini mengigil sendirian di tepi jembatan. Entah kenapa, wajahnya mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang dia sendiri lupa namanya.
Aura kemudian melepas untaian syimagh di kepalanya, membiarkan rambut hitam legamnya menjuntai panjang seperti baru disiram hujan tadi malam. Lantas ia julurkan genggaman tangannya pada Lintang seraya menyeringai halus. "Ini untuk Mas, saya nggak tahan rasanya melihat seorang musisi berbakat harus menggigil di pinggir jalan," terang Aura.
"Waduh, makasih banyak lho Mbak," balas Lintang sembari mengalungkan syal itu di lehernya. "Saya nggak tahu harus membalas kebaikan Mbak dengan apa." Ada sedikit rasa segan dan tidak enak yang diam-diam meresap dalam kalbu lelaki itu, tetapi akhirnya ia mau tak mau mengiyakan hadiah dari Aura.
"Mendengar musik yang Mas mainkan saja sudah cukup buat saya," timpalnya terkekeh-kekeh seraya mengedipkan satu mata. Ah, betapa lentik bulu matanya! Kedua pipi Lintang menjadi merah semu karenanya, pandangannya mengekori sang puan yang sudah berlalu ke arah selatan jalan. Laki-laki itu pun kembali menggumamkan melodi gubahannya, nada demi nada, di antara lalu-lalang kendaraan dan pejalan kaki.
Lintang tak kuasa menahan diri untuk menumpahkan gejolak rasa dari dadanya. Ia tahu, begitu ada orang yang mengajaknya berbicara, ia tak boleh goyah sedikit pun. Sebab orang takkan sudi meliriknya jika sedikit saja ia naik pitam, berderai air mata, atau melolong memohon bantuan. Nyaris semua orang, berapa pun usianya, pastilah ingin melihat dirinya yang energik dan penuh dopamin. Mereka mendambakan melodi kejenjaman, bukan cambukan badai.
"Petikannya lihai banget! Eh, Masnya kedinginan ya?"
Laki-laki itu seketika memalingkan wajahnya kembali ke arah selatan. Ia sering lupa waktu ketika fokus menggubah lagu-lagunya. Kini ia menemukan sebuah tas plastik hitam bertengger dalam genggaman Aura Sultana. Sepertinya gadis itu baru saja membeli sesuatu.
Aura, apa kau masih mengingat namaku?
Kali ini Lintang mencoba menahan senyumnya dalam satu pose. "Saya nggak apa-apa, kok, Mbak, Cuma flu biasa."
"Jangan bohong, mana ada flu di siang bolong sampai mengigil begitu," gugat Aura yang mengernyitkan dahinya.
"Benar kok, Mbaknya nggak perlu khawatir, tadi ada orang baik yang memberi saya ini," timpal Lintang seraya menunjuk syimagh yang ia kenakan.
Aura mengamati syimagh tersebut baik-baik. "Oh, 'gitu, ya? Saya kebetulan juga punya beberapa lho di rumah. Rumah saya di sana," ujar wanita berusia seperempat abad itu seraya menunjuk ke arah utara.
Di seberang jalan, sebuah rumah bertingkat dua dengan menara kecil di atasnya menjulang tinggi. Tepat di sebelah kanannya, berdiri satu gapura minimalis bertuliskan Kampung Ramadhan yang membuka jalan nirnama—rute sepanjang satu kilometer yang menyisiri garis tepi pesisir utara Pulau Jawa. Nanti, jika ia berjalan terus tanpa henti selama kurang lebih lima belas menit, kakinya akan sampai pada pangkal semananjung mini yang dibangun dari batu-batu pantai.
"Kalau mau, mampir aja Mas." Lamunan Lintang lantas pecah. Ia tahu Aura bekerja paruh waktu menjadi faceless streamer di Youtube, sering menerima surat dari para penggemar dan membantu mereka menyelesaikan masalah di rumah. Ya, walaupun tidak banyak yang bisa dia lakukan, tetapi banyak yang merasa terbantu karenanya, termasuk Lintang.
Semenjak gadis itu berpisah dengannya beberapa tahun lalu, Lintang hanya ingin berteriak dan memeluknya. Namun sampai Aura mengucapkan namanya kembali, Lintang tahu ia hanya membangun kastel pasir yang dalam sekejap tersapu ombak. Sia-sia saja.
Ia menganggukkan kepala dan tersenyum. "Bakal saya pertimbangkan, makasih ya Mbak."
Aura tersenyum balik padanya. "Saya duluan, ya." Dia lantas pergi, menggumamkan versi yang berbeda dari nada-nada lagu gubahan Lintang.
Kini Lintang Punarbawa memang tak memiliki apa-apa selain sweter rajut, celana, dan gitarnya, tetapi senyumnya tak pernah selebar ini.
<<<>>>
K E S A K S I A N F U L A N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top