Fragmen 7.0 | Rememorisasi
"Babies do not want to hear about babies; they like to be told of giants and castles, and of somewhat which can stretch and stimulate their little minds."
-- Samuel Johnson, Anecdotes of the Late Samuel Johnson.
<<<>>>
Hari ini ketika Lintang terbangun, ia melihat sesosok manusia berbalut sorban serba hitam. Tentu saja, hari ini ia sudah terbangun sebanyak tiga kali: sebelum berangkat ke sungai, setelah terdampar di pinggiran sungai, dan dua jam menjelang tengah malam. Yang ia maksud adalah bangun tidur untuk kedua kalinya pada hari ini.
Setidaknya sekarang tangan laki-laki itu tidak gemetar lagi, dan ajaibnya, tidak ada luka berat di sekujur tubuhnya—hanya beberapa memar dan nyeri di bagian punggung dan kaki. Dokter yang memeriksanya pun sampai heran. Kini Lintang agak memaksakan diri untuk menulis kisah ini-mumpung ingatan masih segar-dengan selembar kertas dan pensil karena orang tuanya belum memperbolehka anak itu menyentuh gawai, setidaknya untuk saat ini.
Ia mulai menulis dan membayangkan rumah
Gombolirang. Ya, itu nama desa kelahirannya. Awal mulanya, keluarga Lintang bekerja di lahan enau milik seorang konglomerat dari Gardenia Estate. Mereka hidup di pinggiran Dusun Cungking, terpisahkan sungai kecil yang memagari kebun tebu. Di balik kebun tebu itu, ada sebuah petilasan yang sakral bagi warga sekitar. Jika engkau bertanya Lintang, ia masih bisa mengingat benar suara gemericik air yang mengalir usai adzan subuh di depan rumah dan gelebug kelapa saat musim panen tiba.
Tiap pagi, jika engkau membuka tirai jendela rumahnya, maka akan tampak jelas siapa yang hilir-mudik: tukang sayur keliling, petugas kebersihan dari pemkab, abang penjual bakso, ibu-ibu buruh cuci, para petani, dan masih banyak lagi. Semuanya berlalu-lalang di bawah mega-mega jingga yang diarak dari lereng gunung di barat menuju laut di sebelah timur. Adapun Lintang waktu itu masih hidup dalam ketidaktahuan: belajar membelah hutan tebu dengan berlari, menunggangi kelapa genjah untuk menyentuh awan, dan mencelupkan diri menuju kedalaman sungai yang sesekali bercampur buih deterjen, kantung plastik, dan ranting kayu.
Yang terakhir itu semestinya tidak ia lakukan. Namun apa gunanya engkau melarang anak berusia belasan tahun untuk bermain bersama kawan-kawannya di tepi sungai? Semakin dilarang, semakin penasaran, dan berujung pada hal-hal nekat nan bodoh. Semestinya laki-laki itu mendengarkan Azima dan Ibu waktu itu.
Apa yang engkau lakukan ketika rumah tengah sepi dan ada seorang kawan yang mengajakmu bermain? Tentu, sebagai anak kecil yang hanya tau bahwa seisi dunia adalah permainan, Lintang tidak bisa bilang menolak waktu itu. Laki-laki itu bersama beberapa kawan lain tiba di pinggir sungai tempat mereka sering bermain secara diam-diam di bawah kolong jembatan. Detailnya masih melekat: gerombolan bambu di arah barat, kerumunan pokok kelapa dan pisang di arah timur sempadan sungai-mengikuti jalan setapak di bawahnya.
Tentu saja, tiada dari mereka yang tahu bahwa cuaca terik bisa berubah menjadi hujan petir dalam waktu sesingkat satu jam. Begitu menilik gumpalan-gumpalan awan dari langit barat, hati Lintang macam digelantungi untaian bom waktu yang siap meledak kapan saja. Sayangnya, karena pada saat itu sebagai seorang lelaki ia tak sudi disebut sebagai seorang pecundang, ia meneruskan permainan. Bahkan hingga guntur pertama merasuk dalam telinga.
Lambat laun, angin bertambah kencang dan jari-jari mereka ikutan bergetar karenanya. Akhirnya, langit menumpahkan jarum-jarum beningnya pada tubuh-tubuh segerombolan anak itu, membuat tanah sekitar mereka menjadi lecek, menggenang, dan licin. Rangkaian kata-kata tersekat dalam kerongkongan, dan Lintang berulang kali menghela napas dalam-dalam, membungkam panik sekaligus grogi.
Aku ingin pulang, pikir Lintang.
Namun badai tak kunjung berhenti, dan saat itulah Lintang baru menyadarinya. Air sungainya mulai keruh dan banyak dedaunan serta ranting yang hanyut ke arah timur. Bersamaan dengan itu, ada bunyi gemuruh samar-samar di hulu aliran. Sementara itu dengan bodohnya Lintang masih bertahan di bawah kolong jembatan bersama mereka, takut tersambar petir dan cemooh mereka jika lari terbirit-birit.
Beberapa detik kemudian, air bah datang dari atas memangsa mereka.
Kedua tangan Lintang yang lemah berusaha memegang pokok kelapa yang ada di dekat kolong jembatan, kakinya menjelma jangkar bagi seorang kawan lain. Mereka semua berteriak pilu pada langit dengan mulut dan hidung yang tenggelam dan muncul ke permukaan, tetapi tak ada satu pun yang menjawab. Arusnya semakin deras, dan kaki anak itu rasanya hampir patah. Satu per satu dari mereka terseret ke tengah aliran sungai. Teriakan berubah menjadi jeritan.
Lintang tak mampu bertahan lagi.
Begitu ia melepas pegangan, tak jelas lagi kaki siapa yang menendang kepala siapa, kepala siapa yang menyentuh kaki siapa. Mereka saling menjambak, menarik, memeluk, bahkan mencekik satu sama lain untuk bisa meraih permukaan air. Tangan Lintang terjungkal, berusaha menggapai potongan pokok kayu yang tiba-tiba muncul di permukaan, demikian juga kawan-kawannya yang lain. Tubuh Lintang yang rapuh seketika terbalik dan untuk sejenak, ia hanya bisa memandang warna kelabu pekat di angkasa-hanya untuk digulung kembali menuju kedalaman air yang keruh. Air dan pasir mendobrak masuk melalui sela-sela napas lewat hidung, mulut, dan telinga.
Kaki Lintang berusaha melawan arus air, tetapi rasanya sia-sia saja menyaksikan dirimu terseret begitu jauh dari satu jembatan ke jembatan lain. Dari ekor matanya, ia menangkap gambaran kabur sebuah menara dan kubah masjid di sebelah kanan-atau kiri sungai. Ia menjerit sekencang-kencangnya sembari megap-megap, berharap ada orang atau musafir yang barangkali mendengar sebelum badan lelaki itu melewati jembatan setelahnya.
Tiada yang mendengar. Hanya Lintang, deburan air, gemuruh petir, dan jeritan kawannya.
Lelaki itu memposisikan tubuh agar searah dengan tiang penyangga jembatan di depan sekuat tenaga, menghindari pusaran-pusaran air. Menghantamkan seluruh tubuh pada benda tersebut, tangan lecetnya dengan panik menggapai bagian bawah tiang, dan akhirnya berhasil. Dengan posisi membelakangi arus sungai, Lintang mcengkeram tiang itu dengan kuku-kuku jari seerat mungkin, ia peluk seakan-akan benda tersebut adalah bagian dari raganya.
Untuk sesaat, lelaki itu merasa lega, sebelum akhirnya dihantam sesuatu dari belakang.
Ia tak tahu apakah itu air bah, kayu, batu, atau apa. Yang pasti, setelahnya, ia tak sadarkan diri. Hanya ada kegelapan.
Entah berapa lama, dalam kegelapan, Lintang melihat secercah cahaya dari atas. Orang-orang yang pernah berada di ambang kematian banyak yang sudah bercerita perihal cahaya di ujung terowongan besar. Apa yang ia alami kurang lebih sama, tetapi alih-alih bergerak secara horizontal, tubuhnya terdorong oleh arus tak terlihat menuju permukaan air, seolah ada puluhan bahkan ratusan balon yang terikat di leher dan kedua pergelangan tangan. Mata Lintang menyipit, tak ingin terbutakan oleh derasnya cahaya di atas.
Tubuh Lintang kemudian terlontar menuju pelukan cahaya, keluar dari ... kegelapan apapun itu yang sebelumnya berada di bawah. Terkesiap, paru-parunya bergelora dengan semilir udara segar, badannya telentang di atas hamparan tanah selembut kapas dengan mata menusuk langit biru kelam, cerah tanpa awan. Kedua belah pipi lelaki itu basah akan air mata, menahan nyeri di sekujur tubuh. Apa yang ia lihat selanjutnya benar-benar di luar nalar.
Lintang menolehkan kepala ke sebelah kiri, dan dengan mata kepala sendiri, ia menyaksikan hamparan pasir kuning keemasan yang bergulung-gulung membentuk bukit dan gunung dari kejauhan. Di sebelah kanan, rangkaian kelopak bunga berwarna merah muda, putih, dan kirmizi mekar dalam semak-semak hijau tua yang memanjang secara horizontal. Tiada lagi petir, guruh air, maupun teriakan manusia. Ia coba merasakan dirinya sendiri. Ternyata baju dan celana yang ia pakai masih utuh dan tidak basah sama sekali.
Aku ada di mana?
Dari belakang, muncul suara derap kaki seekor binatang. Kepala Lintang berusaha susah-payah bangkit dari lautan pasir, tetapi tampaknya tangan dan kakinya bagai sulur-sulur anggur yang telah rontok di penghujung musim gugur. Ia benamkan kuku-kuku tangan ke dalam pasir, berharap ada sedikit sisa tenaga untuk mampu duduk tanpa bergetar ketakutan.
Sebuah bayangan dengan cepat menghalangi tatapan lelaki itu dengan matahari, mewujud sesosok wanita yang mengenakan sorban sehitam arang dan setipis sutra. Sorban dan kain serba hitam yang ia kenakan melilit seluruh kulitnya—dari mata kaki hingga ujung rambut—hingga hanya kedua mata zamrudnya yang cemerlang. Lintang tak tahu sorban dan turban macam apa yang ia kenakan, tetapi ada satu hal yang pasti darinya. Sosok itu datang seperti hantu, melangkah dengan pelan dan tenang seraya mengangkat kepala Lintang lembut dari samudra pasir.
"Anakku, engkau tak apa-apa?"
Di luar dugaan, suaranya ternyata begitu maskulin, layaknya madu sidr yang mengalir dari ujung pisau menuju semangkuk penuh susu coklat hangat.
"Siapa engkau? Aku ... aku ada di mana? Apa aku sudah mati?" tanya Lintang sembari menahan tangis dan kebingungan dalam satu waktu.
Sang pria bersorban hitam kemudian mendudukkan Lintang dan berkata, "Belum, kau ada di persimpangan jalan, anakku. Minumlah dulu." Dia lantas menyodorkan kantung air dari kulit yang ia ambil dari unta merahnya. Namun, logika Lintang tetap bersikeras untuk memerintahkan agar tangan dan lidahnya tak bergerak sedikit pun. Seakan menyembunyikan tawa, sang pria bersorban hitam memegang tangan kanan Lintang yang gemetaran sembari menyodorkan kantung airnya.
"Tenang, tidak ada racun di dalamnya," jelasnya ringan.
Lintang merasa terhimpit di antara dua tebing yang begitu sempit. Di satu sisi, lelaki itu tidak tahu apa yang terjadi dan di mana ia sekarang. Di sisi lain, pria ini mungkin hanya satu-satunya jawaban yang ia punya untuk menemukan jalan pulang ke rumah. Anak itu tak mempercayai gelagat pria ini sedikit pun, tetapi ia juga tak punya pilihan ketiga.
Ia mereguk isi kantung itu dengan cepat. Tenggorokannya yang semula terbakar, kini menjelma derasnya air terjun di tengah kemarau, terlapisi dengan rasa manis-gurih di tiap tegukannya. Sekujur luka di kaki, tangan, dan punggung terasa berbeda ... rasa sakitnya jauh lebih hilang daripada beberapa menit tadi.
"Namaku Razbar, anakku," ujarnya sambil duduk di dekat Lintang, "akulah penjaga tempat persimpangan ini." Mata sosok tersebut tampak berkilat-kilat menatap anak di depannya.
Dengan tak sabar Lintang menyergah, "Apa kau bisa membawaku pulang, Pak Tua? Ke rumah? Aku ingin melihat Mama dan Papa lagi." Matanya berkaca-kaca, nyaris tak sanggup menahan tangis.
Razbar menghela napasnya dan menjawab, "Pertanyaannya bukan itu, anakku. Yang perlu engkau tanyakan adalah, maukah engkau kembali?"
Dasar pria aneh, memangnya siapa manusia yang sudi mengembara di gurun pasir dengan menggunakan kaus oblong? batin Lintang.
Tentu, ia lebih baik mati saat itu juga daripada harus bertahan hidup di tempat tersebut, jika memang itu yang dimaksud oleh Pak Tua ini. Lintang dengan sigap menganggukkan kepalanya berkali-kali.
Razbar melihat laki-laki di hadapannya dengan saksama selama beberapa detik, seakan mencari tanda-tanda keraguan pada raut wajah, tetapi bagaimanapun juga, Lintang tetap teguh. Razbar sempat membanting pandangannya ke arah kaki Lintang sebelum berujar, "Jika memang itu yang engkau inginkan, baiklah."
Sang pria bersorban hitam menyingkapkan tangan kanannya dari lipatan kain hitam, kemudian mengulurkannya pada Lintang. "Kemarilah, peganglah telapak tanganku," rayunya lembut.
Lintang tak punya pilihan lain selain menerima uluran tangannya.
Lumayan halus juga tangan orang ini, pikirnya saat itu.
"Ketika badai menerjang, tiap manusia akan bergerak sesuai instingnya masing-masing. Beberapa ada yang bersembunyi di bawah kolong jembatan, tergerogoti oleh teror, ada pula yang berlari kocar-kacir tanpa arah," katanya jelas dan tegas. Lintang terkesiap, nyaris menginterupsinya jikalau saja dia tidak melanjutkan kata-katanya.
Razbar menambahkan, "Dan ada yang mengepakkan sayapnya lebar-lebar layaknya seekor burung dan membumbung tinggi bersama angin menuju mata badai."
Dalam sekejap, tangan Lintang seperti tersetrum arus listrik bertegangan tinggi yang refleks membuatnya menutup mata erat-erat dan merintih kesakitan. Tulang punggungnya serasa ditarik dari bagian ekor menuju ke bawah pasir dengan cepat. Lelaki itu jatuh, berputar-putar dalam kegelapan tanpa pegangan, memekik sekuat tenaga.
Saat Lintang baru saja akan menyerahkan semuanya pada takdir, matanya terbuka lebar-lebar, menerjang langit biru tua dengan mega-mega kelabu. Jantung lelaki itu berdebar-debar, hendak meronta keluar dari dalam dada. Menggelepar dan kejang-kejang layaknya seekor ikan di tengah gurun, Lintang mulai berpikir bahwa dirinya akan mati.
Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Sesuatu memaksa keluar dari kerongkongannya. Dengan bantuan siku sebelah kanan, anak itu menjangkarkan tubuhnya pada bumi dan mulai menyuruh lambung agar mengeluarkan sisa-sisa isi yang ada. Pertama, yang keluar adalah batu-batu kerikil berukuran kecil dengan cairan warna kuning kehijauan. Kedua, setelahnya berguguran beberapa kelopak mawar putih bersama cairan berwarna kuning kecoklatan. Ketiga, yang terakhir, meneteslah cairan pekat berwarna kuning kemerahan-kurang lebih seperti kecap yang dibuat dari tumbukan kelopak mawar merah dan minyak zaitun.
Saking paniknya, Lintang lupa bagaimana cara untuk menjerit dan menangis.
"TOLONG! TOLONG! TOLONG!" jerit seseorang dari kejauhan.
Itu suara adiknya. Azima.
Lintang tak sanggup membalikkan badan untuk menoleh dari arah mana suara itu datang. Perhatiannya teralihkan menuju sekujur telapak tangan yang disentuh oleh Razbar. Ada bercak berwarna kemerahan di bawah telapak tangan seperti luka bakar. Tangan Lintang seperti melepuh, tetapi alih-alih merasa nyeri atau panas, ia malah merasakan hawa sejuk.
Lintang melemparkan pandangan dari sela-sela jari menuju seberang sungai yang ditutupi oleh barisan bambu dan tanaman liar. Ia masih bisa melihatnya di kejauhan. Walau seberapa deras dan kotor arus sungainya, meski barisan tumbuhan di seberang sungai cukup rapat dan rimbun, kendati mega-mega masih memayunginya dalam gelap, ia masih bisa menyaksikan lelaki bersorban hitam itu di antara semak belukar, mengangguk dan tersenyum simpul sebelum melebur bersama hijaunya alam.
<<<>>>
K E S A K S I A N
F U L A N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top