Fragmen 1.0 | Agni
Winter is wet and stops all days from lighting.
Spring sleeps like honey in a hive.
Be still, my tongue.
Soon you will eat hot, fast, and sweet.
-- Jelena Ciric, 2018.
<<<>>>
Tepat tengah malam, satu menit sebelum hari ulang tahunnya yang ketiga belas, Lintang Punarbawa menyiapkan seutas tali tambang di dekat jendela kamarnya.
Laki-laki berambut hitam legam itu bisa membayangkan bagaimana tubuh kerontangnya memberontak dan melawan dari satu sisi ke sisi lain, kemudian semakin dingin dan membiru dari ujung ke ujung. Tangannnya bergetar begitu meraih isolasi hitam di dekat meja, merobeknya, lalu menempelkannya di bibir erat-erat. Ludah ia reguk amat perlahan, menyisakan rasa asin dan hambar sehabis makan malam tadi.
Dari jendela kamar yang ada di lantai dua, mata coklatnya menyisir lanskap lampu-lampu toko, warung kopi, dan rumah warga yang padam sejak tadi, menyisakan lampu di bagian pekarangan, lapangan, dan trotoar. Sepertinya jam malam telah diberlakukan dengan ketat oleh pemerintah daerah, mengingat gelombang kedua pandemi mulai meradang.
Saat itu, frekuensi suara kendaraan nyaris lenyap sepenuhnya. Tidak ada lagi dialog singkat, canda tawa, sedu-sedan, apalagi gerombolan orang. Dari atas, pasukan infanteri jarum-jarum bening dan kavaleri angin brutal yang menyapu pohon, atap, teras, dan rerumputan. Daun-daun dari pepohonan—yang tua dan yang muda—berguguran menyesaki ruas jalanan. Semarak petrikor menyerbu jendela kamar, lalu berlanjut menerjang indera penciumannya. Perlahan, hawa dingin kembali menguarkan putaran belati tajamnya, mengoyak-mengoyak kulit laki-laki itu.
Lintang lantas menghantamkan seluruh pandangannya menuju langit tanpa gemintang yang mencengkeram kedua bola matanya. Buku-buku kukunya meraba, meremas, dan mencengkeram kisi-kisi jendela. Malam yang begitu ramai dan sunyi. Bebas dari bunyi piring pecah, lemparan botol, atau bantingan pintu. Penuh dengan terjangan hawa dingin dari arah timur dan gemericik air.
Laki-laki itu menghela napas dalam-dalam, menormalkan irama napasnya meskipun keringat dingin membanjiri kaus putih yang ia kenakan. Sekarang, matanya berkunang-kunang dan telinganya beberapa kali berdenging. Mata sayunya menyusuri jalinan serat yang ia pegang erat-erat. Tidak. Ia tidak akan mundur kali ini.
Menggenapi prosedur yang telah dipelajarinya, segera diambil dan dikalungkannya tali tambang tadi di bagian leher—dimulai dari bagian rahang hingga tengkuk—lalu membuat simpul mati dan mengaitkannya di atas cantolan kecil yang ada di langit-langit rumah.
Tanpa aba-aba, Lintang menendang kursi kecil yang sebelumnya ia gunakan sebagai pijakan. Laki-laki itu tercekik dan menjerit dalam bisu—seakan tulang lehernya diremas, ditekuk, dan dipotong. Pandangannya mengabur, tenggorokannya terasa terbakar dan kering, sekujur tubuhnya menggeletar tanpa henti.
Kali ini, kaki dan tangannya melayang-layang, berusaha menggapai-gapai benda atau pegangan yang dapat meredakan rasa sakitnya, tetapi tidak ada benda selain sebuah karpet dan kasur di dekatnya. Sebentar lagi, tulang dan otot lehernya akan meregang, atau dalam skenario yang terburuk, patah.
Lintang mengembik-ngembik—seperti kambing yang tengah disembelih—lalu mengayunkan seluruh tubuhnya ke sisi kanan dan kiri berulang kali tanpa henti. Bulir-bulir keringat dingin hadir di sela-sela lekukan lehernya, lengkap dengan urat biru yang mulai bertonjolan, selagi laki-laki itu masih berusaha untuk menggenapi hidupnya. Kelopak matanya berjuang keras agar tetap terbuka.
Ia meronta-ronta, berusaha bebas—tetapi tak ada gunanya. Tidak ada—
Lintang tiba-tiba mendengar suara retakan dari atas—semakin keras dan semakin dekat. Untuk sesaat, laki-laki itu berpikir ia akan segera mati. Hal berikutnya yang ia tahu, seluruh tekanan yang bertumpu pada tulang lehernya seketika lenyap tanpa bekas.
Namun, itu hanya berlangsung sekejap mata.
Pada kejapan berikutnya, seluruh tubuhnya ditarik ke bawah oleh gaya gravitasi. Ia jatuh bebas, dengan pantat yang mendarat lebih dulu pada karpet dan kepala yang terantuk kursi kecil, sementara punggungnya terhempas ke lantai keramik yang keras.
Laki-laki itu benar-benar menjerit dalam kebisuan. Mata cokelatnya membelalak hebat. Dalam durasi singkat, pandangannya mengabur di tengah-tengah keremangan ruangan. Wajahnya bisa merasakan taburan debu—apa pun itu yang ada di mukanya. Sembari terbatuk-batuk, ia mengusap kepalanya yang terbentur lantai keramik, merobek plaster di mulutnya dengan kasar, lalu melonggarkan ikatan talinya dengan tergesa-gesa. Megap-megap, ia berusaha menghirup udara segar yang ada di kamar.
Namun, napasnya tertahan di kerongkongan, sesak rasanya. Seluruh isi perutnya meronta keluar.
Lintang meringis, meringik, kemudian menangis perlahan-lahan. Usai dipaksa menangis, rongga dadanya mulai terisi udara, begitu pula seluruh organ di dalam tubuhnya yang kembali menerima suplai oksigen. Di sisi lain, rongga mata dan rongga hidungnya dibanjiri oleh air mata. Sekujur tubuh Lintang yang berwarna pucat kini berangsur-angsur memulih seperti sedia kala.
Sedikit demi sedikit, laki-laki berambut hitam itu melenturkan fokus pandangannya pada cahaya rembulan yang menembus sela-sela jendela rumah. Lidahnya begitu kelu dan kaku. Punggung, tangan, dan kakinya yang memar terasa nyeri. Kepalanya terasa berputar-putar di udara, sedang kelopak matanya berusaha sekuat tenaga untuk menjaga keseimbangan. Ia menoleh ke arah langit-langit.
Sebuah lubang kecil ternyata telah menggantikan posisi cantolan kecil yang ia gunakan barusan. Potongan-potongan material yang tadi kolaps terhampar di tengah-tengah lantai kamar. Lintang celingak-celinguk, memastikan tidak ada suara langkah kaki menuju kamarnya. Semestinya benturan semacam itu mampu menghasilkan suara yang cukup keras. Seharusnya akan ada yang kembali menginterogasi dan memukulinya. Semestinya begitu. Sebagaimana hari-hari sebelumnya. Namun, hal yang dinanti tak terjadi.
Sialan! Lintang, kamu anjing sialan.
Pandangan Lintang kembali menelanjangi tubuh kurusnya. Rambut hitamnya acak-acakan, pipinya masih menyimpan segores noda merah. Lutut dan pergelangan tangan terlihat memar dan membiru. Hidungnya sedikit berdarah. Area di sekitar lehernya seakan mati rasa.
Lihatlah dirimu, menjijikkan.
Diam! Aku tidak mau mendengarkanmu!
Suara-suara itu lagi. Meloncat dari ubun-ubun, keluar dari telinga, dan memaksa masuk ke dalam mata, merogoh-rogoh seluruh isi kantungnya. Dengungannya selalu saja bergema di mana-mana. Kepalanya berdenyut-denyut, nyeri menyerang bagian ubun-ubun dan pelipisnya. Refleks, kedua telapak tangannya meremas rambutnya keras-keras. Kulit tengkuknya menggigil.
Masih dalam posisi berdiri dan menatap kekosongan, Lintang semakin geram, "Sejak kapan kau begitu membenciku? Apa tiap doa yang kulantunkan hanya angin lalu bagimu?"
Karena menurutku kamu tidak layak untuk hidup sama sekali.
Lintang mencebik kembali dalam sunyi dan tertawa kecil, "Oh, tentu saja! Bagaimana aku tidak tahu soal itu. Kau hanya mencintai orang-orang terpilih, bukan begitu? Kau biarkan Bapak mati begitu saja, jauh dariku, ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa ...."
Ada kata-kata yang tersekat dalam kerongkongannya. Tentang betapa tidak mengenakkan kondisinya sekarang. Tentang dirinya yang mesti isoman sendiri di rumah. Tentang ibu dan adiknya yang tengah mengurus pemakaman di rumah sakit. Tentang makanan yang sudah dingin dan piring kotor yang belum dicuci. Lagi-lagi, ia tak sanggup untuk mengucapkannya.
Lelaki itu diam-diam kembali membanting pandang pada rembulan, bintang-bintang, dan taman kecil yang ada di pekarangan rumahnya. Ranting-ranting plumeria acuminata dan adenium yang ramping tertiup angin, melambai terus-menerus. Beberapa helai daun dan kelopak bunganya gugur, lalu melayang ringan menuju kumpulan rumput mutiara di bawah. Beberapa meter dari pot bunga yang retak, jarum-jarum air berdentingan menabrak pagar stainless steel dan bermuara menuju saluran air.
Kesal karena monolognya dibalas dengan kesunyian, Lintang menatap plafon rumah lekat-lekat dan melanjutkannya dengan nada yang lebih tinggi, "Bahwa pendosa sepertiku tidak pernah punya kesempatan untuk menebus dosa-dosanya?"
Lucu sekali, kamu selalu menyalahkan dirimu dan penciptamu sendiri.
Lantas harus bagaimana lagi aku? Tidak ada pilihan lain.
Lintang mendengus, napasnya menderu perlahan-lahan. Ia terduduk di lantai, menekuk kedua kakinya dengan tangan lalu membenamkan kepalanya. Tiap kali suara itu menyerbu pikirannya, kepalanya akan berdenyut-denyut dan terasa sakit. Rentetan suara itu—terus saja berputar-putar di dalam batok kepalanya, meremehkan, menghina, dan menghakiminya—seakan dia adalah Tuhan.
Lihatlah, parasit kecil yang suka merengek. Dasar laki-laki lemah.
Tidak, semua orang berbeda. Semua orang punya jalannya masing-masing untuk menguatkan diri.
Laki-laki itu bergeming melihat keadaan kamarnya yang cukup berantakan, tanpa nyala lampu. Selimut, buku, kertas, dan peralatan tulisnya berserakan ke mana-mana. Ia mulai melangkah perlahan menuju jendela kamar dengan tirai yang melambai-lambai, menanti kedatangannya. Dipegangnya kisi-kisi jendela untuk kesekian kali.
Kapan kamu bakal sadar kalau sebenarnya kamulah yang menyedihkan?
Aku tahu. Maka dari itu kupilih jalan ini.
Helaan napas berulang kali menggemuruh dari hidung sang lelaki—sela-selanya masih basah dialiri air mata. Netranya terbuka, menyapu seluruh bagian kamar yang mirip kapal karam. Benda-benda yang ada di kamar ini—dalam pandangan Lintang Punarbawa—seakan berpadu dalam kegelapan dan mengolok-oloknya, berkomplot dan berkonspirasi untuk membunuhnya.
Kamu merengek-rengek meminta perhatian, lalu begitu tepuk tangan bergemuruh, kau melewatkannya dengan ragu-ragu. Panggungmu menyedihkan. Tapi kamu bisa mengakhiri ini sekarang.
Ya, aku bisa melakukannya. Lintang menghela napas dalam-dalam, lalu naik ke atas kusen jendela.
Saat ia ingin menyerahkan tubuhnya untuk dipeluk ujung-ujung pagar yang runcing, serentetan pertanyaan menyergap benaknya tiba-tiba. Bagaimana dengan orang-orang yang ia sayangi nanti? Apa yang akan terjadi pada mereka? Apa ini satu-satunya jalan agar ia tidak membebani mereka lagi?
Apa lagi yang kamu pikirkan? Loncat sekarang.
Lintang tercengang, tak pernah memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu sebelumnya. Telapak tangan dan kakinya menggelenyar. Kedua bola matanya berkaca-kaca. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali, dengan gigi depan yang berusaha mencengkeram erat bibir. Laki-laki itu sudah berupaya meyakinkan dirinya untuk melompat, tetapi kakinya tidak mau berkompromi.
A-aku takut. Aku takut akan derita yang akan kurasakan. Aku takut apa yang akan terjadi setelahnya.
Perlahan-lahan, ditariknya kembali kaki, tangan, dan wajahnya dari jendela. Ia terduduk di dekat jendela, tampangnya macam orang linglung yang mereguk seisi botol penuh bir.
Pengecut. Kamu pikir, ini penderitaan? Banyak manusia di luar sana yang lebih menderita daripadamu, bodoh.
Tidak! Bukan begini caranya! Mereka yang lebih menderita ... masih bisa bertahan, ya 'kan?.
Suara itu kian menggemuruh dalam cangkang tengkorak Lintang. Batok kepalanya yang nyeri dan berdenyut-denyut serasa mau pecah. Dengan napas yang tersengal-sengal, kedua tangannya mencengkeram ubun-ubun, lalu dibenamkannya wajahnya pada bantal.
Kamu bukan siapa-siapa. Tidak ada yang akan memedulikan eksistensimu. Kamu, boneka mainan yang lemah dan menyedihkan. Bahkan kamu tidak bisa mengurus dirimu sendiri.
Tidak. Tidak! Aku harusnya lebih berharga dari yang sekarang.
"Tidak ... ini tidak benar," ucap Lintang yang meringis, "aku ... tidak bisa melakukannya."
Pada akhirnya, kamu akan melakukannya lagi. Sebab yang kaupikirkan, hanya dirimu sendiri. Munafik tengik.
Lintang kembali menangis sesenggukan di balik bantalnya, membekap wajahnya dengan secarik selimut, seraya membenamkan seluruh wajahnya dalam timpukan bantal. Hanya, kali ini tangisannya jauh lebih keras.
Apa ... aku sudah melakukan hal yang benar?
Kini laki-laki itu sudah muak. "Kenapa?" pekiknya marah seraya menutup kedua telinganya dengan bantal. "Katakan padaku, katakan! Kenapa aku tidak bisa lompat saja dan mengakhiri semua ini?" Air matanya kembali mengalir deras.
Di tengah isakan tangis yang berpadu dengan embusan angin malam, satu suara yang kokoh mengudara berkali-kali, hatinya terkesiap begitu mendengar kata-katanya.
Karena dirimu begitu berharga, dan dunia ini akan kehilangan salah satu cahayanya jika engkau memilih meninggalkannya. [.]
<<<>>>
K E S A K S I A N F U L A N
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top