Ulamg Tahun Zakiya
Bab pertama novel yang dia buat mengenai kisah Zakiya sudah dipublish. Respons pembacanya sangat bagus. Bahkan banyak dari mereka yang menitikkan air mata saat membaca. Apalagi, Kiran juga menambahkan beberapa foto yang dia ambil beberapa hari lalu.
Dan sesuai dengan rencananya beberapa hari lalu, hari ini Kiran akan mengunjungi panti lagi untuk mengajak Zakiya keluar. Ya. Seperti yang kita tahu kalau hari ini adalah hari ulang tahun gadis pantang menyerah itu.
Kiran memperhatikan penampilan yang baginya itu cukup sopan. "Baiklah. Aku akan ke ATM dulu untuk mengambil beberapa uang," ucapnya seraya tersenyum senang.
Dia meraih ponsel. “Reservasi sudah.
Kiran meraih tas ransel yang akan dia bawa. Jangan tanya isinya karena kita sudah tentu tahu apa isi dari tas itu. Dia keluar dari kamar, bertepatan dengan Humairah yang juga keluar dari kamarnya.
Kiran memperhatikan penampilan saudari tirinya yang sudah rapi itu, sepertinya akan pergi. Padahal, ini hari minggu. Tak biasanya Humairah pergi di hari libur. Hingga sebuah gambaran terbentuk dalam kepalanya. Detik itu juga dia menerbitkan sebuah seringai.
"Munafik," ucap Kiran yang langsung pergi meninggalkan Humairah. Dia berjalan ke meja makan untuk menikmati sarapan, berharap ayahnya tidak ada di sana.
Humairah yang mendengar jelas ucapan Kiran langsung menunduk. Kedua tangannya berpegang erat pada tas selempang yang dia kenakan.
Kiran tak peduli. Baginya, Humairah hanya sosok yang tidak jauh dari ibunya. Suka merebut milik orang lain. "Ucapan buah jatuh tidak jauh dari pohonnya berlaku untuk mereka," ujar Kiran.
Kiran segera menghabiskan nasi goreng sarapannya. Selepas itu dia langsung pergi dengan motor yang dia miliki. Sudah dia katakan bukan kalau dia akan ke ATM dulu? Beberapa lembar uang Kiran ambil dari mesin.
Setelahnya, dia keluar berniat untuk langsung pergi ke panti. Namun, saat akan menjalankan motornya, kening Kiran terlipat tak kala pandangannya menangkap sosok yang dia kenali.
"Humairah?" Tatapan Kiran memicing. "Kenapa dia berdiri di pinggir jalan begini? Bukannya tadi dia bawa motor?"
Tak lama, sebuah motor berhenti di depan Humairah. Lagi-lagi Kiran harus menyunggingkan senyum sinis tak kala mengenali siapa pemilik motor itu. "Masih saja jadi pengecut. Bukannya menjemput di rumah malah bertemu di luar." Kiran menggelengkan pelan.
"Tapi ... mereka mau ke mana?" tanyanya kemudian. Kiran mencoba berpikir mengingat Humairah yang tidak terlalu suka keluar rumah.
Namun, di detik berikutnya dia menggeleng keras. "Untuk apa aku pedulikan mereka?" Tak ingin dipusingkan dengan urusan Humairah, Kiran langsung menjalankan motor menuju panti.
Motor terparkir di depan panti yang beberapa hari lalu dia kunjungi. Tempat di samping motornya dia melihat sebuah mobil. "Mobil siapa?" Dia meneliti kendaraan besi itu.
"Kak Kiran?" Panggilan seseorang membuat Kiran menoleh. Dia melihat Zakiya yang berdiri tidak jauh dari sana.
Kiran membalas senyum gadis manis itu lalu mendekat ke arahnya. "Selamat pagi, Zakiya," sapa Kiran.
Bukannya langsung menjawab, Zakiya malah terkekeh. "Ini siang Kak Kiran."
Kiran memerhatikan cuaca saat ini. "Oh iya. Sudah siang, ya." Keduanya sama-sama tertawa.
Pandangan Kiran jatuh pada keberadaan pengurus panti dan juga ... Keenan? "Untuk apa pria itu di sini?" tanyanya penasaran.
"Ayo, Kak." Zakiya memegang ujung baju Kiran.
Kiran mengangguk. Dia pun langsung mendekat ke arah pengurus panti yang sedang duduk mengobrol bersama Keenan. "Selamat siang Pak Dikin, Bu Afni." Kiran langsung meraih tangan mereka dan mencium punggung tangannya.
"Selamat siang Nak Kiran." Bu Afni menyapa.
Kiran tersenyum. Dia menatap ke arah Zakiya sebentar lalu menatap kedua pasangan paruh baya itu. "Mm ... begini, Pak, Bu. Saya mau mengajak Zakiya keluar. Jalan-jalan begitu. Tapi itu pun kalau Ibu dan Bapak mengizinkannya," ucap Kiran sopan.
"Ha? Kak Kiran mau ajak Zakiya jalan-jalan?" Raut bahagia tak dapat ditutupi dari wajah gadis kecil itu.
Kiran mengangguk. "Iya. Tapi nunggu izin dulu." Dia kembali menatap Pak Dikin dan Bu Afni tanpa memedulikan pria yang berada di samping pengurus panti itu.
Zakita menatap bapak dan ibu panti. "Zakiya boleh ikut Kak Kiran, kan?" tanya Zakiya dengan senyum lebar.
Dua pasang paruh baya itu saling menatap. Ada kekhawatiran mengingat kondisi Zakiya saat ini. Namun, melihat senyum yang terulas di bibir gadis kecil itu rasanya mereka tidak tega jika harus melarang. Detik kemudian mereka pun kembali menatap Kiran dan mengangguk. "Boleh. Tapi tolong jaga Zakiya, ya. Kamu tahu kondisinya bagaimana."
Jika Zakiya semakin melepaskan senyumnya, maka Kiran langsung mengangguk tanpa ragu. "Iya, Pak, Bu. Kiran janji akan menjaga Zakiya."
Tatapan Kiran beralih pada Zakiya. Dia mengulurkan tangannya membelai kepala Zakiya. "Yuk, Zakiya." Gadis kecil itu mengangguk dan langsung mengikuti langkah Kiran.
"Tunggu." Namun, baru saja beberapa langkah mereka berjalan, Keenan memanggil. Pria itu berdiri dan mendekat ke arah mereka.
Pandangan Kiran dan Keenan bertemu. Pria itu menoleh ke belakang tubuh Kiran di mana wanita itu langsung mengikuti. Tak ada hal aneh yang bisa dia lihat. Akhirnya dia pun kembali menatap pria yang sering terkena lemparan batunya tanpa sengaja itu.
"Kamu mau mengajak Zakiya jalan-jalan menggunakan motor?" tanya Keenan.
Bola mata Kiran mengerjap beberapa kali. Dia mengangguk kaku karena dia memang membawa motor. "I—iya.
Keenan menghela napas dalam. "Terlalu bahaya untuk Zakiya menaiki motor. Mending kamu bawa mobil saja," ucap Kenan sembari menyerahkan kunci. "Pakai mobil saya."
Bukannya langsung menerima kunci dari tangan Keenan, Kiran malah menatap wajah pria itu dan kunci bergantian. Beberapa saat kemudian dia meringis. "Tapi gue nggak bisa mengendarai mobil.
Keenan terdiam beberapa saat. "Ya sudah. Biar saya yang menyetir." Dia langsung berjalan melewati Kiran dan Zakiya.
Kiran membalikkan tubuh. "Tunggu. Maksudnya lo mau ikut gitu?" tanyanya dengan ekspresi terkejut.
Keenan membalikkan tubuh menatap Kiran. "Mau bagaimana lagi? Kamu tidak bisa membawa mobil sedangkan saya tidak akan setuju kalau Zakiya menaiki motor. Itu akan berbahaya untuknya"
"Iya Nak Kiran. Mungkin lebih baik kalian naik mobilnya Keenan saja. Lebih aman." Ibu panti ikut memberi saran.
Kiran terdiam beberapa saat. Namun, detik kemudian dia mengangguk. "Baiklah." Ketiganya sama-sama menaiki mobil milik Keenan. Beruntungnya ada Zakiya sehingga suasana di dalam mobil tidak akan canggung.
"Kita mau ke mana?" tanya Keenan masih dengan pandangan yang lurus ke arah jalanan.
"Kita akan ke restoran." Kiran tak lupa memberikan alamatnya pada Keenan agar pria itu mudah untuk menemukan lokasinya.
Sesampai di sana, Kiran langsung mengajak Keenan dan Zakiya memasuki restoran. Dia mendekati seseorang di belakang meja kasir. "Reservasi atas nama Kiran, Mbak."
Perempuan itu tersenyum. "Ada di taman sudah ada namanya, Mbak. Silakan, pegawai kami yang akan mempersiapkan."
"Terima kasih," ucap Kiran yang langsung mengaja Zakiya ke tempat yang dia pesan. Berjalan melewati pintu penghubung yang terbuat dari kaca. Kiran mulai meneliti satu persatu saung dan mencari namanya.
Senyum wanita itu mengembang saat sudah mendapatkannya. "Ketemu. Yuk duduk, Zakiya.
Zakiya mengangguk sedang Keenan mengikuti. "Kita mau ngapain di sini, Kak?" tanya Zakiya.
“Ya makan dong,” ucap Kiran dengan kekehan.
"Nanti kamu juga tahu." Tak lama, dua orang pelayan datang dengan sebuah kue tart di tangan. Pelayan lain membawa beberapa kotak yang dibungkus. Sebuah kado.
"Nah. Ini kue Kakak pesen untuk Zakiya. Khusus untuk ulang tahun Zakiya." Dia mendorong kue yang sudah dia pesan ke arah Zakiyah.
Keenan yang melihat itu terkejut. Dia menarik sudut bibir membentuk senyuman akan apa yang telah dilakukan Kiran untuk Zakiya.
Lihatlah senyum dari gadis kecil itu. Sungguh membahagiakan sekali. "Ini untuk Zakiya?" Kiran langsung mengangguk. "Terima kasih, Kak Kiran."
Kiran kembali mengangguk. "Dan ini, kado untuk Zakiya."
"Subhanalah. Berkah di hari lahirnya Zakiya. Tadi dapat kabar baik dari Kak Keenan, sekarang dapat kado dari Kak Kiran. Terima kasih semua," ucap Zakiya dengan menatap ke arah Kiran dan Kenan.
"Ya sudah. Kamu buat permintaan." Tak ada lilin di sini. Zakiya hanya memejamkan mata dan mengucapkan keinginannya. Setelah itu, mereka makan bersama dengan makanan yang juga mereka pesan.
"Wah. Sudah move on ternyata." Sebuah suara membuat Kiran, Keenan dan Zakiya menoleh. Sosok pria dan seorang wanita berkerudung berdiri di depan saung mereka dengan sang perempuan yang menunduk.
Kiran menarik senyum sinis melihat dua orang ini. "He. Si munafik," bisiknya. Dia tidak ingin mengatakan itu dengan keras karena tak ingin Zakiya mendengar.
Sayangnya, hal itu didengar oleh Keenan. Dia mengalihkan pandangan dan menatap dua orang yang baru saja datang. Keenan menatap wanita berkerudung yang ada di samping pria itu. Meski dalam keadaan menunduk, tetapi dia cukup tahu kalau itu adalah Humairah. Saudari Kiran.
Baru saja Kiran membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tetapi urung kala Keenan mengambil alih dahulu.
"Maaf. Jika kalian datang hanya untuk membicarakan sesuatu yang tidak penting, boleh lain kali saja? Kami masih ada urusan yang lebih penting," ucap Keenan dengan ekspresi datar.
Tentu saja hal itu membuat Dennis merasa marah. Ketika dia ingin membalas ucapan Keenan, tarikan di tangannya membuat dia menoleh. Dia melihat Humairah yang menggeleng. "Hah. Ayo pergi!" ucapnya sembari menarik tangan Humairah.
"Terima kasih," ucap Kiran setelah Dennis dan Humairah pergi.
Apa tanggapan Keenan? Pria itu hanya bergumam sembari melanjutkan makannya. Mau protes, rasanya tak mungkin di hadapan Zakiya. Apalagi Keenan baru saja menolongnya. Mengerucutkan bibir, Kiran pun juga melanjutkan makannya.
Mereka melanjutkan makan dan langsung pulang setelahnya. Tak lupa juga mampir untuk memberikan oleh-oleh pada penghuni panti lainnya.
***
Selamat pagi. Masihkah adayang mampir ke akun wattpad aku. 😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top