Prolog
Prolog.
**
"Bu. Humairah berangkat dulu, ya." Kiran yang baru saja keluar dari kamarnya mendengar sang saudari meminta izin pergi.
Kiran tak peduli. Tangan kanan wanita itu menggaruk kepalanya sembari bibir menguap. Dia terus berlalu dari hadapan dua wanita yang berbeda usia itu.
"Kok pagi banget kamu berangkatnya?" Karena posisi mereka yang masih dekat, Kiran bisa mendengar suara ibu tirinya yang bertanya pada Humairah.
"Humairah harus mengerjakan proposal, Bu. Assalamualaikum."
Meraih gelas, Kiran menuangkan air putih lalu duduk untuk meneguk minumannya. Langkah kaki terdengar, melalui lirikan di antara bibir gelas dia melihat kedatangan pria paruh baya yang tak lain adalah ayahnya.
Tidak menunggu waktu, tatapan tajam pun kini terarah pada dirinya. Kiran meletakkan gelas yang sudah tandas isinya lalu menghela napas dalam. Setelah ini pasti dia akan kembali mendapatkan makian.
"Anak gadis baru bangun jam segini. Mau jadi apa kamu itu, Ran? Contoh itu Humairah. Umur dia di bawah kamu, tapi karir dia begitu bagus. Sedangkan kamu, masih saja menjadi pengangguran nggak jelas. Kerjaannya makan tidur, makan tidur."
Gerakan tangan Kiran yang akan menyendokkan nasi urung seketika. Cacian dan makian sudah terbiasa di hari-hari Kiran. Sudah seperti minum obat yang setiap pagi, siang dan malam ada.
Dan seperti hari sebelumnya, hari ini dia kembali mendapatkan sarapan sebuah cacian dari ayahnya sendiri.
"Pak. Sudah jangan marah-marah. Ini masih pagi enggak enak kalau didengar sama tetangga." Sang ibu tiri kembali berperan seperti ibu baik pada umumnya. Hal itu malah membuat Kiran memutar bola matanya malas.
Tanpa menjawab atau membantah, Kiran pun memilih bangkit dan berjalan ke arah kamarnya. Sebaiknya dia segera pergi saja.
"Nah, Bu. Coba Ibu lihat. Anak itu memang susah untuk dikasih tahu. Orang tua lagi ngomong malah pergi. Dasar nggak punya sopan santun. Entah meniru siapa dia. Mungkin ibunya."
Kedua tangan Kiran terkepal kala sang ayah membawa nama almarhumah ibunya dalam kemarahan pagi ini. Namun, Kiran berusaha menahan emosi agar tak meluap lebih besar. Dia mencoba menenangkan diri dengan mengingat pesan sang ibu sebelum wafat.
"Sabar, Pak. Sabar." Sayup-sayup Kiran masih mendengar suara ibu tirinya yang bersuara ketika dia memasuki kamar. Lagi. Tanpa peduli dia langsung menutup pintu dan segera membersihkan diri.
Sejak kecil, Kiran membenci sosok ayahnya. Pria yang menjadi cinta pertamanya itu telah membuat dirinya kecewa. Tanpa diketahui sang ibu dan Kiran, ayah menikah lagi dengan seorang wanita.
Bahkan dari pernikahan itu Kiran mempunyai saudari tiri yang bahkan usianya hanya terpaut satu tahun dengan dirinya.
Itu artinya, sang ayah dan wanita itu sudah menikah sejak lama. Puncak kebencian Kiran terjadi sejak dua tahun lalu di mana ibunya yang meninggal dunia karena sakit dan meninggalkan dia sendiri.
Tanpa rasa malu, sang ayah membawa wanita itu untuk tinggal di rumah ini bahkan sebelum tanah makam ibunya mengering. Rasa benci itu semakin menguat dalam diri Kiran.
Jangan tanya kenapa Kiran tidak pergi saja dari rumah. Asal kalian tahu. Dia ingin, teramat ingin pergi dari orang-orang yang sudah menumbuhkan kebencian dalam hatinya.
Namun, pesan mendiang ibunya sebelum wafat membuat Kiran harus bertahan. Dia harus tetap tinggal di rumah ini karena rumah ini adalah satu-satunya peninggalan sang ibu, dari kakek dan nenek ibunya.
Kiran memang tidak membantah apa pun kata-kata pedas yang dilontarkan pada dirinya. Selama dia masih mengabaikan, dia akan memilih menghilang dari hadapan mereka.
Selang setengah jam kemudian Kiran telah selesai membersihkan dirinya. Dia segera mengemasi barang-barang yang diperlukan untuk dibawa. Laptop, ponsel, headset, buku catatan, pensil.
Apakah Kiran masih sekolah?
Tidak.
Apakah aku belum mengatakan siapa Kiran?
Biar aku beri tahu. Kiran adalah seorang penulis di salah satu platfom ternama. Kedua orang tuanya tahu itu tetapi tidak dengan uang yang dia punya. Namun, dia semakin dipandang sebelah mata akan hal itu.
Biarkan saja, Kiran tidak peduli. Setelah semuanya sudah siap, Kiran meraih kunci motor yang ada di atas meja kamarnya. Motor yang dia beli hasil dari menulisnya.
"Mau ke mana kamu?" Pertanyaan bernada tinggi itu sudah menyambut Kiran saat dia melewati ruang tamu.
"Pergi," jawab Kiran menghentikan langkahnya sebentar lalu melanjutkan kembali.
"Kelayapan terus!" Teriak itu diabaikannya. Menyalahkan motor, dia memanaskan mesinnya terlebih dahulu.
Wanita dengan rambut panjang yang dikucir kuda itu mengambil ponsel dari saku celana lalu mengirimkan pesan pada seseorang.
"Kamu di mana? Aku pengen ketemu." Ketikan itu Kiran kirim pada Dennis, sang kekasih.
Tak lama, ponsel miliknya bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Ternyata dari Dennis. "Aku ada pekerjaan."
Jawaban itu membuat Kiran menghela napas dalam. Itu artinya mereka tidak bisa bertemu. Namun, Kiran bukanlah wanita memaksa yang mana dia ingin bertemu, maka harus saat itu juga terwujud.
Tidak. Kiran tidak semanja itu.
"Sebaiknya aku mencari inspirasi ke taman saja." Motor matik itu mulai melaju membelah jalanan. Dia memutuskan untuk ke taman kota, keluar dari area tempat tinggalnya. Kendaraan itu membutuhkan waktu dua puluh menit untuk ke tempat tujuan.
Suasana pagi yang segar dia dapat ketika motornya sampai di area taman. Setelah menemukan tempat untuk memarkir, wanita itu pun berjalan semakin ke tengah taman.
Namun, keningnya mengerut kala melihat sosok yang dia kenal. "Humairah? Bukannya tadi dia bilang akan membuat proposal? Kenapa dia ada di sini?"
Kiran bertanya-tanya. "Apa iya buat proposalnya di taman?" tanyanya lagi. Dia merasa aneh.
"Tapi Humairah seperti sedang berbicara dengan seseorang." Kiran memang tidak melihat karena orang itu tertutup oleh pohon. Akhirnya, dia pun mencoba untuk mendekatkan diri kembali agar bisa melihat siapa yang berbicara dengan Humairah.
"Dennis?" Kiran terkejut kala dia sudah bisa melihat sosok yang sedang berbicara dengan saudara tirinya.
"Dennis?” Ya. Sosok yang berbicara dengan Humairah adalah Dennis—kekasih Kiran.
“Bukankah tadi dia bilang sedang sibuk?" Dia masih mengingat jelas pesan yang dikirimkan kekasihnya itu.
"Mereka sedang membicarakan apa? Kenapa mereka sepertinya sedang berdebat?" Merasa penasaran, Kiran pun memutuskan untuk mendekati keduanya.
Dia melihat Humairah yang ingin menjauh, tetapi Dennis menahannya. Kiran mempercepat langkah agar dia bisa segera tahu apa yang sedang mereka bicarakan.
"Aku cinta kamu, Ra." Namun, langkah Kiran terhenti saat dia mendengar ucapan Dennis yang ditujukan pada Humairah.
Tubuhnya terasa kaku, dia tak lagi mampu melanjutkan langkah. Lidahnya terasa keluh hanya untuk sekedar mengeluarkan satu kata.
Sedangkan Humairah dan Dennis belum juga menyadari kedatangan Kiran yang berada tidak jauh dari mereka. "Aku tahu. Tapi aku nggak bisa." Humairah mencoba melepaskan cekalan tangan Dennis.
"Ya tapi kenapa?" Dennis bertanya dengan geram, bahkan pria itu menjambak rambutnya saking kesalnya.
"Apa perlu aku katakan alasannya?" tanya Humairah dengan teriakan pula. Mungkin, keadaan taman pagi ini yang masih sepi membuatnya berpikir tidak akan ada yang mendengar.
Humairah menunjuk dada Dennis dengan jari telunjuknya. "Kamu adalah kekasih saudari aku. Jadi, jangan lagi temui aku, dan mengatakan cinta lagi," ujarnya penuh penekanan.
"Tapi aku sudah tidak mencintainya lagi." Dennis kembali berkata.
Kiran yang mendengar itu merasakan jantungnya seakan diremas begitu kuat. Hatinya seolah baru saja dipukul oleh sesuatu yang sangat keras. Ini ... ini terasa sangat menyakitkan baginya.
Entah kekuatan dari mana, Kiran kini berhasil menggerakkan tubuhnya. Dia berbalik badan dan berlari menjauh menuju motornya berada. Tak peduli dua orang tadi yang masih berdebat.
Kiran memang memiliki sikap cuek. Dia terlihat tegar dengan segala apa yang pernah terjadi dalam kehidupannya. Akan tetapi, Kiran hanya seorang wanita yang pastinya masih membutuhkan sandaran.
Lalu, apa jadinya jika seseorang yang dia percaya kini telah menghancurkan hati dan kepercayaannya?
Dia melajukan motor dengan tangis yang tak bisa dibendung lagi. Jika seperti ini, satu tempat yang bisa dia kunjungi.
Risa memarkirkan motor di pinggir jalanan berpaving. Dia berlari ke arah pohon lalu duduk di bawahnya. Meluapkan tangis dengan mencabuti rumput di sekitar tempatnya duduk. Beberapa kali melempar kerikil pada saluran irigasi yang dibuat untuk pengairan sawah di hadapannya.
"Kalian jahat. Kalian tega," ucapnya penuh dengan kekesalan. Kiran tegah melampiaskan sakit hatinya.
Sebuah batu besar dia raih. Kira memasang kekuatan untuk bisa melempar batu itu dengan jauh. Niat hati melempar ke depan, naasnya bantu itu malah terlempar ke belakang.
Sayangnya, Kiran tetap tidak peduli. Dan di saat yang sama, seorang pria yang sedang mengendarai sepeda anginnya baru saja terjatuh akibat sesuatu menghantam keningnya.
Dia meraba ujung kepala, merasakan perih lalu tak lama dia merasakan sesuatu mengalir di sana. Pandangannya jatuh bada benda yang menimpuk dirinya.
“Batu?”
Pandangannya mengedar. "Aduh. Siapa sih yang melempar batu sembarangan?"
"Kalian jahat! Aku benci! Aku benci ayah! Aku benci Dennis! Aku benci keluargaku!" teriak seseorang dengan suara yang sangat keras.
Pria yang keningnya terluka itu menoleh ke asal suara. Keningnya mengernyit untuk menajamkan pandangan. Hingga dia melihat sosok wanita yang tengah duduk dengan menelungkupkan kepalanya di atas lutut.
Pria itu hanya menggeleng. "Ada-ada saja." Meraih sapu tangan dari saku celana, dia membersihkan darah yang sedikit-sedikit masih mengalir. Setelahnya, dia pun kembali melanjutkan perjalanannya.
Kali ini dia menuntun sepedanya, meninggalkan sosok yang masih terdengar menangis di bawah pohon mangga pinggir sawah.
“Humairah sialan!”
**
Selamat malam. Ada cerita baru nih. Semoga suka, ya. Kanga lupa tekan bintangnya😍😘😘
Selamat menjalani buka penuh berkah🙏🙏☺
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top