Panti
🍃🍃🍃🕊🕊🕊🍃🍃🍃
ini, Kiran sedang mengunjungi anak didik Zafran dan juga Keenan. Sesuai dengan rencananya kemarin, dia ingin menulis kisah tentang Zakiya, gadis imut yang memiliki keterbatasan namun semangatnya tak pernah kalah dengan mereka yang fisiknya sempurna.
Kiran sudah meminta izin pada gadis itu, dan syukurnya Zakiya mengizinkan. Dengan membawa kamera, dia memotret beberapa momen Zakiya yang sedang mengaji bersama teman-temannya. Kali ini mereka belajar di masjid yang tak jauh dari taman. Persis yang kemarin Zafran katakan.
Kiran memerhatikan hasil jepretannya. "Bagus. Cocok buat tambahan dalam lampirannya nanti."
Kali ini dia kembali membidik momen untuk ditangkap gambarnya. Merasa kurang pas, dia berjalan mundur secara perlahan.
"Awas," ucap seseorang. Namun, peringatan itu sepertinya terlambat. Tidak disangka Kiran menabrak seseorang di belakang tubuhnya.
Wanita itu menoleh dan melihat Keenan yang tengah membawa sebuah keranjang. "Maaf-maaf," ucap Kiran tak enak hati.
Keenan mendengus. Dia langsung membungkuk dan meletakkan keranjang berisi jajanan yang dia bawa lalu memunguti sebagian yang jatuh. Beruntung saja jajanan itu dibungkus, kalau tidak mungkin sudah kotor.
Kiran yang merasa tidak enak langsung ikut membantu. "Maaf ya, Keenan. Gue nggak sengaja." Dia kembali berujar.
"Lain kali, kalau melakukan sesuatu itu ya hati-hati." Kue terakhir sudah diambil. Keduanya pun kini bangkit bersama.
"Iya. Kan gue udah minta maaf," ucap Kiran dengan mengerucutkan bibirnya.
"Meski keselamatan kamu tidak penting, setidaknya pikirkan keselamatan orang lain," ucap Keenan yang kemudian pergi begitu saja dari hadapan Kiran.
Wanita itu hanya mampu menganga melihat kepergian Keenan yang mendekati anak-anak. "Apa katanya tadi? Keselamatan gue nggak penting?"
Bola mata wanita itu mengerjap beberapa kali. "Dia itu kalau bicara pedes banget sih," ucap Kiran kemudian.
Mendengus kesal, dia pun menarik napas dalam beberapa kali berharap kekesalannya bisa reda. Dia tidak ingin mencak-mencak marah di hadapan anak-anak itu.
Sorak-sorai anak-anak yang mendapatkan kue itu terdengar begitu bahagia. Tiba-tiba saja sebuah bulan sabit ikut terbit di bibir Kiran. "Ternyata, melihat mereka bahagia, menyenangkan sekali." Ya. Perasaan Kiran selama di tempat ini sangat baik. Dia tak lagi memikirkan masalahnya bersama Dennis.
"Kak Kiran mari ikut makan kuenya," ucap salah satu anak dengan melambaikan tangan pada Kiran.
Kiran mengangguk. Dia pun mendekat dan duduk di samping anak yang tadi memanggilnya lalu menerima kue pemberian Keenan.
"Enak, kan kuenya?" tanya bocah laki-laki yang bernama Rahmat. Beberapa hari dia ikut dalam kegiatan ini—tanpa diundang. Dia sudah mengenal sebagian besar anak-anak di sini.
Ternyata, Kiran baru tahu kalau yang mengaji di tempat ini tidak hanya anak didik Zafran dan Keenan saja. Masih ada anak-anak lain yang usianya di atas dan memiliki guru mereka sendiri.
Kiran mengangguk. "Iya. Kuenya enak."
"Kak Keenan memang jago bikin kue, Kak," ucap bocah lainnya di mana ucapan itu langsung disambut sebuah anggukan.
Kiran terkejut? Tentu saja. Dia tidak pernah menyangka kalau pria seperti Keenan bisa membuat kue. Dia melihat pria itu yang berjalan ke arah murid lain dan mulai membagikan kuenya di sana.
**
Sepulang mengaji, Kiran memutuskan untuk ikut Zakiya pulang ke panti. Tidak hanya Zakiya anak dari panti itu. Ada beberapa anak lain juga yang ikut mengaji di sana. Dan murid yang lain adalah anak-anak dari desa setempat.
Mereka berjalan kaki karena tempatnya yang tidak jauh dari masjid. Hanya memasuki desa sedikit lebih dalam.
Sosok Keenan berjalan di depan. Pria itu juga ikut ke panti karena harus mengantarkan kue khusus untuk pengurus panti. Kiran sempat menawarkan untuk mengantar. Akan tetapi Keenan tidak mau.
"Saya tidak mau kue ini jumlahnya berkurang jika kamu yang mengantar," ucapnya tadi ketika Kiran menawarkan diri.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka telah sampai di sebuah rumah yang tidak terlalu besar jika dikatakan sebagai panti. Namun, tempatnya yang asri membuat siapa pun akan nyaman jika tinggal di sini.
"Assalamualaikum, Pak Dikin, Bu Afni." Keenan menyalami dua pasang paruh baya yang sedang berada di halaman. Diikuti anak-anak tadi dan membuat Kiran ikut melakukannya.
"Ini siapa?" tanya Bu Afni yang Kiran ketahui adalah ibu pengurus panti ini.
"Nama saya Kiran, Bu," ucap Kiran memperkenalkan diri. Kesan pertama bagi Kiran, pengurus panti ini sangat baik dan welcome terhadap seseorang yang baru datang.
Baik tentu pasti karena mereka harus merawat anak yatim. Tempat ini memang tidak terlalu besar. Anak yang tinggal pun tidak mencapai lima puluh. Namun, kasih sayang dari mereka bisa dia lihat di sini.
Kiran semakin merasa tersentuh melihat semua yang tak saling membedakan. Terutama untuk Zakiya yang memiliki keterbatasan. Yang merawat mereka sudah berhasil menanamkan kebaikan dalam diri mereka.
Saking asyiknya berada di lingkungan ini, waktu magrib pun tiba. Pak Dikin mengajak semuanya untuk shalat magrib berjamaah. Bukan di masjid. Hanya sebuah aula yang cukup untuk mereka shalat bersama.
Jangan tanya Kiran bisa shalat atau tidak. Dia termasuk orang yang taat beribadah. Meski tak langsung menjalankannya saat dipanggil.
"Shalatnya diresapi ya, Kak. Suara Kak Keenan merdu banget," ucap Zakiya sembari berbisik.
Kiran berpikir kalau yang akan menjadi imam adalah Pak Dikin. Ternyata bukan. Kata Zakiya, kalau Keenan datang, Pak Dikin memang sering memintanya untuk menjadi imam shalat.
Benar saja. Suara Keenan sangat merdu. Oh tidak. Kiran tak menjadi fokus akan hal ini. Seharusnya dia tahu. Pasalnya dia kemarin mendengar sendiri Keenan yang bertilawah dan suaranya memang sangat merdu.
Baiklah. Fokus Kiran.
"Bagaimana?" tanya Zakiya.
Kiran hanya meletakkan jari telunjuknya di bibir. Tatapannya beralih pada Keenan yang sekarang memimpin doa. "Suaranya merdu. Tapi kenapa kalau ngomong selalu judes sekali," bisik Kiran.
Setelah semuanya selesai, Zakiya mengajak Kiran untuk ke kamarnya. Setiap kamar di panti ini berisi empat anak dengan ranjang yang bertingkat. Karena kondisi Zakiya yang mengalami kesusahan dalam berjalan, dia ditempatkan di ranjang bawah.
Kiran duduk di ranjang milik Zakiya. Tatapannya jatuh pada kalender kecil di sana. Ada lingkaran di salah satu tanggal. Keningnya mengerut melihat tanggal yang dilingkari itu adalah dua hari lagi. "Ini kenapa dilingkari, Zakiya?" tanya Kiran.
Zakiya yang baru saja meletakkan mukenanya di gantungan baju menoleh. Dia ikut duduk di samping Kiran. "Oh itu. Itu tanggal Zakiya ditemukan. Jadi, Zakiya menandainya sebagai hari lahir Zakiya," ucap gadis itu polos.
Senyum di bibir Kiran terbit. "Kalau begitu Zakiya dua hari lagi ulang tahun dong." Gadis itu mengangguk.
"Keinginan Zakiya apa kalau boleh kakak tahu?" tanya Kiran.
"Zakiya pengen ketemu Ibu."
🍃🍃🍃🕊🕊🕊🍃🍃🍃
Selamat malam 😉😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top