Mahkota Bunga
Bola mata milik Kiran mengerjap beberapa kali. Tak lama kelopak itu pun terbuka. Wanita dengan pakaian tidur berwarna biru itu mencoba menyadarkan diri lalu duduk dengan menyandar pada kepala ranjang.
Mengucek mata, Kiran sudah mulai menguasai kesadaran. Wanita itu menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul dua dini hari. Tenggorokan yang terasa kering membuat dia mau tidak mau harus bangun untuk ke dapur mengambil minum.
Ketika dia keluar dari kamar, lagi-lagi berbarengan dengan Humairah yang juga keluar dari kamarnya. "Kak," panggil Humairah pada Kiran. "Haus juga?"
Seperti biasa, Kiran tidak akan peduli. Malahan dia langsung berjalan ke arah dapur. Namun, dalam hati dia bertanya-tanya kapan Humairah pulang? Karena seingatnya, dia tertidur ketika orang tua mereka sudah menutup pintu utama, dan saat itu belum terlihat motor milik Zakiya di rumah.
Kiran mengambil air di kulkas lalu menuangkannya dalam gelas. Wanita itu menarik kursi di samping meja makan untuk duduk lalu meminum airnya.
Suara langkah yang sedikit diseret menyapa indra pendengarannya. Melalui ekor mata dan dari tepi gelas dia melihat kedatangan Humairah. Namun, terlihat ada yang salah.
Langkah Humairah pincang. Kiran bisa melihat jelas gerakan bibir saudarinya yang mendesis seperti kesakitan, belum lagi tangan yang selalu menekan area bawa perut. Menyudahi minumnya, Kiran menatap saudari tirinya dengan tatapan intens. Keningnya mengerut. "Kenapa lo jalannya gitu?" tanyanya kemudian.
Langkah Humairah terhenti. Wanita itu berdiri di seberang meja dan menatap Kiran. Hanya saja, pandangannya seperti tak fokus. Lebih sering menghindar ketika tatapan mereka saling bersibobrok.
"Em ... itu. Kaki aku sakit, Kak. Tadi aku terjatuh," jawab Humairah terbata. Tangannya terangkat menggaruk belakang kepala.
Kening Kiran mengerut, dia terus menatap Humairah yang bergestur mencoba menghindari tatapannya. "Kaki lo yang sakit, kenapa yang dipegang bawah perut?"
"Oh?" Ekspresi terkejut di wajah Humairah membuat Kiran malah merasa bingung.
"It—itu. Aku lagi datang bulan, Kak. Jadi perut ke bawah rasanya kurang enak." Dia menjawab dengan terbata di awal kalimat.
"Ak—aku mau ambil minum dulu, Kak." Humairah berujar dengan menunjuk ke arah lemari pendingin.
Kiran mengangguk beberapa kali. Dia kembali meneguk minumannya dan memperhatikan Humairah yang berjalan pincang menuju lemari pendingin. Tiba-tiba saja senyum miring terbit di bibir Kiran.
"Syukur deh kalau gitu. Mungkin itu adalah Adzab karena lo udah ngambil yang bukan milik lo," ucap Kiran seraya berlalu dari dapur.
Tepat di ambang pintu, dia kembali menambahkan. "Sama seperti yang ibu lo lakukan." Setelahnya Kiran benar-benar pergi dari area itu menuju kamarnya. Tak lagi tidur, Kiran memutuskan untuk kembali mengerjakan naskahnya yang menceritakan mengenai kisah Zakiya.
Sedangkan Humairah yang masih berada di dapur, wanita itu tampak termenung di depan lemari pendingin memikirkan perkataan Kiran. Tanpa terasa tangannya mencengkeram kuat pegangan kulkas di hadapannya dengan satu bulir kristal jatuh dari pelupuk mata.
***
Kiran mengambil foto anak-anak yang sedang mengaji. Senyumnya tak pernah pudar melihat antusias anak-anak.
Hari ini jadwal Keenan mengajari tilawah pada anak-anak di masjid. Kiran melihat pria itu yang baru saja memasuki area masjid.
"Hai," sapa Kiran. Dia mengembangkan senyum pada pria di hadapannya. Sedangkan tatapan intens dan datar yang terlihat dari wajah Keenan membuat Kiran mengerutkan kening.
"Ada apa?" tanyanya kemudian.
Keenan menghela napas. "Saya mau tanya," ucap Keenan. "Kamu tidak mempunyai keinginan untuk memakai kerudung saat datang ke sini?"
Pertanyaan Keenan membuat Kiran terdiam. Dia memikirkan beberapa hal. Sedangkan Keenan yang melihat ekspresi itu hanya menggeleng pelan.
"Lupakan saja pertanyaan saya," ucapnya yang langsung berlalu dari hadapan Kiran menuju murid-muridnya.
Kiran masih terdiam, dia mengikuti arah kepergian Keenan dengan memikirkan perkataan pria itu di balik benak sana. Bahkan selama mengambil beberapa momen dengan kameranya, ucapan Keenan masih terngiang sampai kegiatan itu usai.
Seperti biasa, Kiran akan ikut Zakiya untuk pulang ke panti. Bisa dikatakan kalau waktu Kiran lebih banyak di panti daripada rumahnya.
Kini dia sedang memotret Zakiya yang sedang duduk di bawah pohon sembari merangkai bunga di tangan.
"Cantik," ucapnya setelah melihat hasil fotonya.
Dia memutuskan untuk mendekat lalu duduk di samping Zakiya. "Kamu buat apa, Zakiya?" tanya Kiran.
Zakiya malah menyengir. Dia mengangkat rangkaian bunga yang ada di tangannya. "Zakiya lagi buat mahkota, Kak."
Kiran memperhatikan mahkota itu. Senyum ikut mengembang di bibirnya. "Wah bagus!" Memutuskan untuk tetap memperhatikan Zakiya, Kiran menopang dagu dengan atensi yang tidak teralihkan sedikit pun dari gadis kecil di hadapannya.
Sampai beberapa menit kemudian apa yang dibuat Zakiya telah selesai. "Selesai." Kebahagiaan sederhana bagi gadis kecil itu adalah telah menyelesaikan apa yang dia buat.
Tatapan Zakiya menoleh ke arah Kiran. "Kak Kiran. Coba deh Kakak nunduk," ujarnya sopan.
"Hem?" Kerutan di kening Kiran tercipta. Namun tak ayal dia tetap melakukan apa yang diminta oleh Zakiya.
Ketika dia sudah menunduk, gegas Zakiya memakaikan mahkota dari bunga-bunga itu di atas kepala Kiran. "Tuh, kan Kak Kiran makin cantik," ucap Zakiya dengan senyuman lebar.
Kiran ikut terkekeh. "Kamu bisa aja. Mana ada Kakak cantik?"
Zakiya mengangguk semangat. "Ih beneran. Kakak cantik banget. Kalau tidak percaya kita tanya yang lain, ya."
Zakiya mengedarkan pandangan. Dia melihat Keenan dan teman panti yang lain sedang bermain kereta. Gadis kecil itu mengangkat tangan ke arah mereka. "Kak Keenan sini!" serunya.
Keenan mengangguk, dia gegas berjalan menuju ke arah Zakiya. Karena Keenan sedang menjadi kepala kereta api, otomatis semua anak yang sedang berada di belakang tubuhnya pun juga ikut mendekat.
"Iya?" tanya Keenan kala dia sudah berdiri di hadapan Kiran dan Zakiya.
"Coba lihat Kak Kiran. Cantik, kan?" Zakiya merentangkan tangan ke arah Kiran.
Sedangkan Kiran kini malah melotot ke arah gadis di sampingnya. Masih tidak percaya karena Zakiya menanyakan hal ini pada Keenan. Pria yang selalu berekspresi kesal terhadapnya. Kiran yakin kalau Keenan akan menggeleng atau memberi jawaban tidak.
Namun, apa yang dipikirkan Kiran salah. Terlihat Keenan yang malah mengangguk selang beberapa detik pria itu menatap Kiran. "Cantik," ucapnya.
"Tuh, kan." Zakiya terlihat kegirangan.
"Apalagi kalau pakai hijab," ucap Keenan kemudian. Setelahnya, dia kembali melanjutkan permainannya dengan anak-anak panti.
Sedangkan Kiran yang mendengar itu kembali tertegun. Dia jadi mengingat mendiang ibunya. Dulu, saat ibunya masih sakit, beliau sering mengatakan keinginan untuk melihat putrinya berkerudung.
Namun, karena alasan belum siap Kiran selalu menanggapi ucapan ibunya hanya dengan senyuman. Sampai akhirnya sang ibu pergi, dia belum juga mengabulkan keinginan itu. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merindukan sang ibu.
"Bener, kan, Kak?" Suara Zakiya menyadarkan lamunan Kiran.
Wanita itu menoleh, lalu menunduk di hadapannya Zakiya. Detik kemudian dia mencubit kedua pipi Gadis di hadapannya pelan. "Zakiya juga cantik, kok. Lebih cantik dari Kak Kiran malah."
Setelahnya dia menggelitik Zakiya, dan akibat ulahnya itu, gadis itu tertawa dengan lepas. Sebuah kebahagiaan sederhana yang menenangkan.
***
Selamat pagi. Semoga masih betah ya baca cerita aku😁😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top