Bocah Bernama Zakiya
3. Bocah Bernama Zakiya
***
Kiran yang mendengar suara itu langsung menoleh. Dia menganga kala melihat seorang pria yang duduk di pinggir jalan tepat di samping sebuah sepeda.
Sontak saja Kiran langsung bangkit dari tempat duduknya. Dia mengusap kasar pipi yang basah dan segera berlari turun untuk mendekati sosok itu.
Kiran berdiri di hadapan seorang pria yang tengah kesakitan memegangi keningnya. Ada sedikit darah di sana. Kiran meringis. Bukan masalah darahnya yang mengalir deras, malahan darah itu hanya ada setitik.
Hanya saja, pandangan wanita beriris cokelat bening itu terpaku pada benjolan yang ada pada kening pria di hadapannya. Dia mulai panik, tidak tahu harus berbuat apa.
"Keenan. Maaf Keenan. Maafin gue," ucapnya penuh sesal. Dia menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Keenan. Pria yang sedang kesakitan itu mendongak lalu mengembuskan napas kasar. Dia bangkit dari duduknya. "Ternyata kamu toh selama ini yang ada di sana." Keenan mendesis akan sakit yang dia rasa.
Mendengar ucapan Keenan, Kiran malah mengerutkan kening. "Lah? Lo tahu ada orang di sana?" tanya Kiran dengan menunjuk ke arah pohon mangga yang tadi dia buat berteduh.
Keenan menggeleng pelan. Bukan karena tak tahu, ya. Dia melihat sepedanya lalu berdecak kala melihat rantainya yang lepas. Tak ada pilihan, dia pun akhirnya harus membenarkan lebih dahulu.
"Siapa yang tidak tahu? Orang kamunya nangis sambil teriak-teriak seperti orang gila di pinggir sawah," ucap Keenan. "Apalagi sambil ngelempar batu. Kalau bisa melempar dengan benar, lah ini malah mengenai kepala terus-terusan." Dia menyinggung Kiran masih dengan kegiatannya membenahi rantai sepeda.
Kiran hanya bisa menautkan kedua tangan di belakang tubuh sembari menggigit bibir bawah. Selain rasa malu akibat luka di kening Keenan terjadi karena dirinya, dia juga merasa malu karena apa yang selama ini dia lakukan di sini diketahui oleh orang lain.
"Lagian lo ngapain sih lewat sini? Ini, kan bukan jalanan umum? Tapi jalanan orang mau ke sawah." Kiran meletakkan anak rambutnya di belakang telinga yang beberapa saat lalu diembuskan angin.
Keenan yang masih berkutat dengan sepedanya hanya melirik sekilas pada Kiran. Dia melihat wanita itu yang terus saja kesusahan dengan rambut karena terpaan angin. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya, malah dia kembali fokus pada sepedanya.
Merasa tak akan mendapat jawaban, Kiran kembali membuka percakapan. "Itu kening lo nggak diobati dulu? Ini gue ada plester buat nutup lukanya." Kiran menawarkan sembari menunjuk tas yang dia bawa.
Kenan yang memang sudah selesai dengan sepedanya langsung bangkit. Dia mengambil sesuatu pada tas hitam panjang di bagian boncengan. Ternyata kain untuk membersihkan tangannya. "Lukanya bisa ditutupi plester. Memarnya gimana?" Dia berujar.
Kiran menatap dengan perasaan bersalah. "Ya maaf. Kan nggak sengaja." Dia kembali membela diri.
"Iya," jawab Keenan. Pria itu langsung menaiki sepedanya.
"Eh, eh, eh. Mau ke mana?"
Keenan yang tadinya siap untuk berangkat ke tempat tujuannya, kembali tertunda saat Kiran menahan boncengan sepedanya. "Apalagi? Saya sudah telat ini."
"Lo itu mau ke mana?" Kiran kembali bertanya. "Kok kayaknya buru-buru banget?"
Keenan tampak menghela napas dalam. "Saya mau ke taman pinggir kota untuk mengajar anak-anak di sana. Sudah, ya. Aku harus berangkat." Dia langsung mengayuh sepedanya meninggalkan Kiran.
Sedangkan Kiran yang melihat itu tampak termenung. Dia memikirkan suatu hal. "Apa sebaiknya gue ikut saja? Daripada gue di sini sendirian. Sedih-sedih yang nggak ada gunanya. Iya, kan?"
Kiran gegas menaiki motornya dan menyusul Keenan. Tidak sulit karena pria itu hanya membawa sepeda angin. Mudah tersusul oleh Kiran.
"Gue ikut, ya?" tanya Kiran ketika dia sudah berhasil mensejajarkan motor miliknya dan sepeda milik Keenan.
Keenan melirik dengan kerutan di kening. "Untuk apa?" tanyanya kemudian.
"Pengen ikut aja. Ya? Boleh, ya?"
"Terserah." Keduanya pun beriringan ke arah taman pinggir kota yang berada tidak jauh lagi.
***
Motor milik Kiran dan sepeda milik Keenan sudah terparkir di pinggir taman. Keduanya berjalan bersama. Lebih tepatnya Kiran mengikuti langkah Keenan yang begitu cepat.
Tak lama, mereka sampai pada kumpulan anak-anak yang duduk di sebuah tikar. Mereka sedang mendengarkan cerita dari seorang pria yang juga Kiran kenal.
"Ada Kak Zafran juga?" tanya Kiran pada Keenan. Zafran adalah kakaknya Keenan.
Keenan hanya menanggapi dengan anggukan. Salah satu anak melihat kedatangan dirinya. "Kak Keenan!" teriak anak itu yang membuat semua anak langsung menoleh.
Semua pun langsung bangkit dan berjalan cepat ke arah Keenan dan memeluknya. Wajah pria yang dilihat Kiran tadi cuek, kini menunjukkan senyum hangat pada kumpulan anak-anak itu.
Dalam hati dia menggerutu akan perbedaan sikap itu. Tak lama, tatapannya jatuh pada sosok gadis berkerudung yang berjalan dengan menggunakan sebuah tongkat. Dia tertinggal oleh teman-temannya, tetapi senyum menghiasi wajah gadis itu.
"Kak Keenan," panggilnya. Semua teman-temannya pun memberi celah agar gadis itu bisa lewat. Sedang Keenan langsung berjalan mendekat.
"Halo, Zakiya. Apa kabar?" tanya Keenan yang sudah berjongkok di hadapan gadis bernama Zakiya itu.
"Baik dong, Kak." Begitu ceria suara gadis bernama Zakiya itu. Tak seperti anak yang merasa sedih karena kondisi kakinya.
"Kepala Kak Keenan kok benjol lagi?" tanya Zakiya dengan polos.
Sedang Kiran yang mendengar hal itu langsung melotot. Dalam hati dia bertanya akan kata lagi yang diucapkan Zakiya. Apakah selama ini Keenan sering mendapatkan benjolan dari lemparan batunya?
Keenan yang mendapat pertanyaan itu langsung melirik ke arah Kiran. Tatapan mereka bertemu di sana. Tak ada yang bisa Kiran lakukan selain meringis penuh rasa penyesalan.
"Biasa. Ada batu nyasar, Zakiya." Keenan menjawab dengan senyuman.
"Sering sekali batunya nyasar," timpal anak yang lain.
Zafran mendekat, dia menatap Kiran dengan menangkupkan tangan di depan dada lalu beralih menatap Keenan. "Anak-anak sudah belajar bersamaku. Mereka sudah tidak sabar belajar sama kamu."
Keenan mengangguk. "Iya, Bang." Mereka pun mulai duduk pada tikar yang sebelumnya digunakan. Keenan mulai mengajarkan tilawah pada anak-anak itu. Sedangkan Kiran dan Zafran memilih duduk di bagian paling belakang. Tentunya dengan jarak. Wanita itu terkejut dengan sosok Keenan yang memiliki suara sangat merdu.
"Coba saja kalau bicara sambil senyum. Pasti nggak akan terkejut kalau dia memiliki suara bagus," ucapnya lirih.
"Ada yang kamu bicarakan?" Ternyata, apa yang Kiran katakan didengar pula oleh Zafran.
Kiran mengerjabkan bola matanya. "Ah? Itu. Apa kalian sudah lama mengajar anak-anak di sini?" tanya Kiran kemudian.
"Kalau mengajar iya. Tapi biasanya kami mengajar di masjid sana." Zafran menunjuk ke arah masjid yang ada di seberang jalan.
Kiran mengangguk. Tatapannya beralih pada gadis bernama Zakiya yang saat ini waktunya bertilawah. "Wah ... suaranya bagus, ya?" Dia menatap penuh kagum akan sosok Zakiya.
"Aku salut sama dia. Dia gadis yang memiliki kekurangan. Tapi sepertinya dia tidak masalah akan kondisinya dan dia begitu bersemangat." Pandangan Kiran tak lepas dari Zakiya.
"Setelah lama dalam prosesnya, kami bersyukur dengan kebangkitan Zakiya." Zafran menghela napas dalam. "Masih ingat terpuruknya Zakiya beberapa bulan lalu. Rasanya, kami tak sanggup membayangkannya lagi."
Kiran menatap Zafran. "Memangnya apa yang terjadi dengan Zakiya, Kak? Dan ... kenapa dengan kakinya?"
Zafran mulai bercerita di mana sosok Zakiya adalah anak yang dibuang orang tuanya di teras rumah warga. Membuat dia dititipkan di panti asuhan. Dulu panti asuhan Bu Afni tidak di sini, tetapi karena urusan lahan mereka harus pindah. Itu juga yang membuat anak-anak di panti itu hanya sedikit jumlahnya Awalnya Zakiya adalah anak yang ceria dengan segala semangat yang dia punya. Namun, kecelakaan yang membuat kakinya patah sempat membuat Zakiya terpuruk.
Syukurlah karena itu tidak berlangsung lama. "Zakiya hanya ingin mencari keberadaan ibunya," imbuh Zafran.
Kiran menghela napas dalam. "Aku tidak bisa membayangkan kalau berada di posisinya Zakiya. Pasti sudah bunuh diri."
"Hus. Tidak boleh berbicara seperti itu," ucap Zafran.
Kiran tersenyum. "Dia begitu kuat dan penuh semangat di anak usianya. Semoga dia bisa segera menemukan ibunya."
Zafran mengangguk. "Ya. Semoga saja. Kami juga sedang membantu. Apalagi Keenan yang begitu menyayangi Zakiya. Dia meminta semua teman-teman di bengkelnya dan juga kenalannya untuk mencari informasi. Memang sulit karena tidak ada petunjuk sedikit pun. Tapi kami tidak akan menyerah."
Kiran mengangguk. Ada sebuah semangat yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. "Aku juga akan membantu."
Dia menatap lamat-lamat sosok Zakiya yang kini sedang bertilawah bersama Keenan. Suara mereka sama-sama merdu. Hingga sebuah ide terbesit dalam pikirannya. Kiran menatap Zafran.
"Kalau kisah Zakiya aku buat novel boleh nggak, ya? Siapa tahu bisa membantu Zakiya dalam pencarian ibunya," ucap Kiran.
Zafran terdiam sebentar. Detik kemudian dia mengangguk. "Ide bagus. Tapi kamu harus tetap izin dulu sama Zakiya.
Senyum mengembang di bibir Kiran. Dia akan menyusun hal yang akan dia lakukan dalam kisah gadis itu. Sesuai dengan niatnya tadi, siapa tahu dia bisa membantu Zakiya untuk menemukan ibunya.
Selamat pagi semua.
Happy reading😍😍😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top