Bertengkar
Membaca apa yang ada pada kertas di tangannya membuat Kiran terkekeh. Dia seakan ditampar oleh sebuah tulisan singkat yang penuh makna. "Padahal Ibu dulu sering memberitahu Kiran mengenai hal ini. Tapi Kiran selalu lupa."
Dia mengusap sisa air mata yang jatuh membasahi pipinya. Menarik napas dalam, dia memutuskan untuk tidur dengan menyandar pada pohon. Kalau mau melanjutkan menulis pun, rasanya tidak mungkin dia lakukan mengingat keadaannya sekarang.
Jadi, hal yang tepat memang dia harus tidur lebih dahulu. Tanpa diketahui Kiran, ada dua orang yang berdiri tidak jauh dari keberadaannya. Mereka saling tatap dan melempar senyum.
"Sepertinya setelah membaca itu dia lebih tenang, Kak." Seseorang yang dipanggil Kak itu mengangguk.
“Iya. Tidak disangka baru saja menempelkan di sana dia sudah datang.”
Sampai saatnya sore tiba, Kiran pun memutuskan untuk pulang. Sudah ada Humairah yang duduk di kursi depan rumah. Memang sengaja menunggu Kiran. Dilihatnya sang kakak yang memberikan tatapan sinis kepadanya.
"Kak." Humairah menahan Kiran ketika akan memasuki rumah. Dia melihat kakaknya itu memutar bola mata malas. Namun, Humairah ingin tahu sesuatu itu kenapa dia menahan langkah sang kakak.
"Mak—maksud ucapan Kakak tadi pagi apa?" tanya dengan terbata.
Satu sudut bibir Kiran tertarik ke atas membentuk seringai. Dia mengubah posisi menghadap Kiran. "Bukannya kata Ayah lo itu pinter, ya? Masa sih lo nggak tahu? Yakin?" Kiran memberikan tatapan meremehkan.
Kiran melihat Humairah yang menggeleng, membuat dia lagi-lagi harus berdecak. "Lo mau mencuri apa yang gue punya, kan?"
Humairah yang tadinya menunduk langsung mendongak menatap Kiran. Dia menggeleng cepat. "Enggak, Kak. Aku nggak pernah mau mencuri apa pun dari Kakak." Humairah membantah.
Kiran mengibaskan tangan di depan wajah. "Ngga usah malu," ucapnya. "Gue udah buang kok dia. Mau lo pungut kek, mau lo pacarin kek, mau lo jadiin suami kek. Gue nggak peduli."
"Kiran!" Seseorang menegur dari dalam. Kiran menoleh dan melihat ibu tirinya di sana. Dia semakin malas ketika perempuan yang dia anggap sebagai perusak rumah tangga ibunya itu mendekat.
"Kenapa kamu ngomongnya gitu sama adek kamu?" perempuan itu berdiri di samping Humaira.
Kiran masih memperlihatkan sebuah seringai. "Kenapa gue bisa lupa, ya kalau sesama pencuri pasti saling mendukung?"
"Kiran!"
Kiran menghela napas dalam. Jelas dia tahu milik siapa suara itu. Siapa lagi kalau bukan ayahnya. Tak lama, pria yang dulu menjadi cinta pertamanya itu sudah berdiri di sampingnya.
"Kamu yang sopan kalau bicara sama ibu kamu—"
"Dia bukan ibuku!" teriak Kiran memotong kalimat sang ayah. "Ibuku sudah meninggal karena dia mencuri apa yang dipunya ibuku." Kiran berujar dengan menunjuk ke arah ibu tirinya. Apa ynag dilakukan Kiran memang terlihat jelas tidak sopan. Namun, keadaan yang membuatnya seperti ini.
"Jaga bicara kamu!" Suara ayahnya meninggi. "Dia bukan pencuri!”
"Lalu apa sebutannya kalau bukan pencuri saat seseorang mengambil hak orang lain?" tanya Kiran dengan menggebu.
Namun, detik kemudian dia membeliakkan bola matanya. "Oh iya. Kenapa aku bisa lupa? Sebutan yang tepat hanya satu. Pelakor," ucap Kiran dengan menekan kata terakhir.
"Lancang kamu!" teriak sang ayah yang sudah habis kesabaran. Bahkan dia sampai mengangkat tangannya untuk memukul Kiran.
"Yah." Beruntungnya sang istri menghentikan tangannya.
"Apa?" tanya Kiran dengan berani. "Mau pukul? Iya? Mau pukul? Silakan." Dia menepuk pipinya sendiri beberapa kali.
"Bukankah itu sudah kebiasaan yang sudah lama Ayah gemari?" Kemarahan Kiran akan apa yang dilakukan sang ayah dan ibu tirinya di mana membuat ibunya sakit membuat wanita itu hilang rasa hormat. Kebencian terlalu menebal di dalamnya.
"Ayah jahat!" teriaknya yang langsung pergi memasuki rumah dan langsung ke kamar. Seperti biasa, dia akan kembali menangis di sana.
***
Humairah duduk pada bangku di sebuah taman kota, tempat yang membawanya bertemu dengan kekasih sang kakak beberapa hari lalu. Dalam jarak satu meter, sudah ada sosok Dennis yang menunggunya sembari berdiri dengan memasukkan kedua tangan pada saku celana.
"Ada apa?" tanya Humairah. Wanita itu tak mengalihkan pandangan sedikit pun ke arah Dennis. Hanya menunduk menatap kedua tangannya yang saling menggenggam.
Sebenarnya, Humairah tak harus bertanya karena dia merasa yakin mengenai sesuatu yang akan dibicarakan dengan Dennis. Masih ingat jelas di kepala bagaimana lirikan sinis yang diberikan sang kakak kemarin sore.
"Kiran tahu mengenai kita. Kemarin dia menemui aku dan memilih untuk berpisah. Jadi, tidak ada sesuatu yang menghalangi lagi. Dan ...." Dennis menjeda ucapannya.
Pria itu menunduk, menatap ujung sepatunya yang menendang kerikil kecil. "Tidak ada lagi alasan kamu menolak aku."
Kini, dia menatap Humairah yang duduk di kursi. "Aku benar, kan?" tanya Dennis. Detik selanjutnya dia melihat anggukan Humairah. Sontak saja dia tersenyum lebar.
Dennis berjalan mendekat ke arah Humairah. Dia berjongkok di depan wanita itu, mengulurkan tangan dan melepaskan tautan tangan wanita yang dia cintai.
Kali ini Dennis yang menggenggam tangan Humairah. "Jadi, apakah kamu mau kita bersama sekarang?" tanya Dennis tanpa basa-basi.
Satu kristal bening mulai berjatuhan dari kelopak mata Humairah. Tanpa menjawab, wanita itu mengangguk dalam tangis. Tidak butuh sebuah kata. Bagi Dennis gestur Humairah sudah menjawab semuanya.
Tanpa diketahui mereka, seseorang memperhatikan di balik pohon besar. Satu sudut bibirnya tertarik membentuk seringai. “Munafik. Bilangnya enggak tapi diambil juga.”
Kemarin Kiran sudah mengatakan kalau dia sudah melepaskan. Namun, melihat dia yang kita cintai bersama orang lain ternyata sakit juga. Apalagi kalau pelaku itu adalah orang yang sangat dia benci sekaligus saudara yang tak dia inginkan.
Seperti biasa, Kiran akan langsung pergi ke tempat tujuan yang membuatnya bisa tenang. Dia kembali melampiaskan semuanya di sana. Mencabut rumput, menendang pohon dan melempar semua benda yang ada di sekitarnya.
Satu batu yang lumayan besar dia lempar dengan kekuatan penuh. Menumpahkan semua emosi dengan batu itu.
"Aduh."
***
Selamat pagi. Masih adakah yang singgah di akun wattpad aku?😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top