Titik Terang

Kicauan burung pipit bersahutan di dahan cemara. Menciptakan melodi yang indah di pagi hari yang cerah. Mora terlihat sibuk menyiapkan sarapan untuk dua pria tampan yang kini menunggunya di meja makan.

"Ali, waktu Om di Belanda kemarin, nggak sengaja bertabrakan sama gadis. Nah ... setelah Om ngobrol banyak, ternyata dia itu hobby banget menulis. Kemarin sempat kita bertemu lagi sebelum Om kembali ke Jakarta, Om lihat alur cerita yang dia buat bagus. Om, bawa satu naskah cerita dia, nanti coba kamu baca dan cek ya? Siapa tahu bisa terbitkan di tempat kita," cerita Alfian, suami Mora yang memang menjadi pengusaha percetakan dan penerbitan buku. Alfian memberikan flashdisk kepada Ali.

"Terus tugas aku apaan Om?" tanya Ali polos sembari menerima flashdisk tersebut.

"Kamu kan kuliah mengambil jurusan bahasa Indonesia dan sastra, setidaknya ini adalah pekerjaan mudah buat kamu menjadi editor. Lumayanlah ... bisa bantu-bantu Om, sembari kuliah bisa dapat uang dari mengedit ejaannya dan tata letak tanda baca," seru Alfian menaik turunkan kedua alisnya pada Ali.

Ali memahami maksud omnya itu, lalu dia tersenyum penuh arti. "Oke, berapa bayaran Ali per bulan?"

"Satu juta," sahut Alfian asal.

"Penawaran yang murah sekali itu Om. Dua juta bagaimana?" nego Ali.

"Kamu kan baru awal, masa iya langsung Om bayar segitu? Training dulu lah, biar Om bisa lihat hasil kerjamu dulu," kata Alfian membuat Mora yang mendengarkan percakapan suami dan keponakannya terkekeh geli di dapur.

"Ya sudah, kita ambil tengah-tengahannya aja Om. Satu setengah deh ... gimana? Kalau deal nanti langsung aku kerjakan nih." Ali menggerak-gerakkan flashdisk, memamerkan kepada Alfian.

"Udah deh Sayang ... kasih aja. Itung-itung biar bisa buat Ali jajan nanti uangnya," sahut Mona seraya berjalan ke meja makan membawakan nasi goreng untuk Ali dan Alfian.

Ali bertos dengan Mora karena merasa mendapat pembelaan. "Dasar, kalau udah begini kan jadi susah buat menolak," gerutu Alfian terdengar oleh Ali dan Mora. Mereka terkekeh melihat wajah cemberut Alfian.

"Baiklah, satu setengah juta per bulan," sahut Alfian akhirnya menyerah.

"Yes!" Ali dan Mora tertawa girang, penuh kemenangan.

"Makasih ya Om, entar deh Ali buka file-nya," tukas Ali lalu mengambil sendok dan garpu.

"Iya," sahut Alfian singkat.

Akhirnya mereka pun menikmati sarapan pagi ini penuh canda tawa. Bersama keluarga Mora, Ali dapat merasakan kehangatan keluarga. Berbeda saat ia dulu tinggal bersama papanya, Ali merasa tertekan dan tak betah berada di rumah.

***

Jalanan kota metropolitan pagi ini sangat padat. Ali mengendarai motor sport-nya, menyusuri jalan ibu kota untuk sampai di kampus tepat waktu. Namun perjalanannya terhenti saat melihat seorang gadis berdiri sendiri menunggu sesuatu. Ali berhenti sebentar untuk mengawasinya dari jarak jauh. Gadis berseragam putih abu-abu itu terlihat gelisah dan hampir menangis.

"Bodoh! Ngapain dia jam segini masih di situ," gerutu Ali yang sebenarnya merasa tak tega.

Hingga lebih dari 10 menit Ali mengawasi, akhirnya dia pun memutuskan untuk mendekati gadis itu. Ali menghentikan motornya tepat berada di depan gadis manis itu.

"Ngapain, jam segini masih di jalan? Mau bolos lo," sergah Ali ketus.

"Kak Ali," lirih Selvi terkejut karena melihat Ali yang tiba-tiba datang di hadapannya.

"Gue tanya, lo ngapain jam segini masih di luar? Bukannya sekolah, malah kelayapan," cerca Ali ketus namun justru menghangatkan hati Selvi. Karena tak secara langsung, ternyata Ali masih memiliki kepedulian kepadanya.

"Mmm ... itu Kak, aku nunggu taksi dari tadi. Tadi Papa berangkat duluan, terus Mama di rumah lagi sakit. Jadi aku berangkat naik taksi, tapi malah sampai sekarang nggak ada yang lewat," jelas Selvi frustrasi karena dia tahu jika jam segini gerbang sekolahannya pasti sudah tutup.

"Bodoh! Lo nggak lihat di depan sana lagi ada demo. Semua taksi lagi nggak jalan, mereka lagi mogok beroperasi," umpat Ali namun seraya memberikan helm kepada Selvi. "Naik!" pinta Ali agar Selvi baik pada boncengannya.

Selvi masih menatap Ali tak percaya, apakah ini benar kakak tirinya? Pikir Selvi mematung di tempat.

"Eeeeeh, malah bengong! Ayo, naik!" paksa Ali menarik tangan Selvi kasar.

Dengan seluas senyum kecil Selvi akhirnya naik di boncengan Ali. Dengan perasaan ragu, takut jika nanti Ali akan marah, Selvi pun hanya berani memegangi jaket Ali untuk berpegangan.

'Kak Ali, makasih. Aku tahu kok, sebenarnya Kakak itu orangnya baik. Hanya mungkin karena rasa kekecewaan Kakak kepada Papa dan Mama yang membuat Kakak galak sama Selvi dan nggak suka sama Mama.' Selvi membatin seiring mengikuti ban motor Ali berputar menuju ke sekolahannya.

Hingga sampai di depan gerbang sekolahan Selvi, Ali memarkirkan motornya dan melepas helmnya.

"Lo tunggu di sini!" Selvi mengikuti perintah Ali yang berdiri menunggu Ali di samping motor.

Sedangkan Ali mendekati gerbang berbincang dengan seorang satpam. Entah apa yang mereka bicarakan, namun Selvi dapat melihat usaha Ali yang begitu ngotot kepada satpam. Hingga akhirnya, satpam itupun membukakan gerbang walau dengan wajah tak ikhlas.

"Hey! Masuk sana!" pekik Ali memerintah Selvi.

Selvi meletakkan helmnya di atas motor Ali, lalu berlari kecil melewati gerbang.

"Makasih Kak," ucap Selvi dengan perasaan lega.

Ali tak menjawab, ia hanya memamerkan wajah flat-nya kepada Selvi. Walaupun begitu, tak masalah bagi Selvi. Dia tetap dengan tulus mengucapkan 'terima kasih' kepada Ali.

"Makasih ya Pak," ucap Ali tamah kepada satpam.

"Ya, lain kali adiknya dibilangin ya Mas, kalau nggak ada taksi, suruh aja naik angkutan," kata satpam memberi saran kepada Ali.

Ali hanya mengangguk lalu melenggang pergi meninggalkan sekolahan Selvi. Ali melanjutkan perjalanannya ke kampus, hingga sampai di kampus ia bertemu dengan teman baiknya.

"Woy Brother ... gimana tugas dari Bu Vika? Sudah selesai?" tanya Ardika menyambut ramah kehadiran Ali di dalam kelas.

"Udah lah, emang lo ... yang nggak pernah ngerjain tugas?" cerca Ali menghempaskan bokongnya di bangku sebelah Ardika.

"Yaelah, penghinaan lo dikit tapi menusuk hingga ke ulu hati Bro!" sahut Ardika memperhatikan Ali yang sedang mengeluarkan laptopnya.

Ardika masih saja fokus melihat gerakan yang Ali kerjakan. Ali mengambil flashdisk yang Alfian berikan tadi pagi. Dengan wajah serius Ali mulai membaca sinopsis sebuah cerita yang kata Alfian itu bagus. Bagus bagi Alfian, namun belum tentu bagus untuk Ali.

"Serius amat lo Bro?" tanya Ardika karena penasaran dengan apa yang sedang Ali kerjakan.

"Ssssst, diam deh lo! Gue sedang cari duit buat tambahan uang jajan," jawab Ali asal justru membuat Ardika terkekeh tak percaya.

Uang jajan? Bukan kah Ali adalah anak dari seorang pengusaha sukses? Pikir Ardika yang tak tahu menahu tentang seluk beluk keluarga Ali sebenarnya. Ardika sebatas mengenal baik Ali di kampus, tanpa ingin tahu lebih jauh urusan pribadi Ali, karena Ali memang tertutup soal satu hal itu.

"Menarik ceritanya," lirih Ali tersenyum puas sambil memanggutkan kepalanya.

"Apanya yang menarik?" sahut Ardika yang mendengar ucapan kecil Ali tadi.

"Cerita ini," jawab Ali menunjuk laptopnya.

Ardika menggeser bangkunya untuk mendekati Ali. Dia ikut membaca sinopsis yang terpampang di layar laptop Ali.

"Ooooh, bagus. Bahasanya sederhana, mudah dipahami dan alurnya pun menarik. Tentang pemuja rahasia, jarang sih cerita begini beredar di pasaran," seru Ardika yang kali ini dia dapat serius berdiskusi bersama Ali.

"Iya juga sih, sekarang gue tahu kenapa Om Al nyuruh gue pegang project ini. Dari kacamata yang gue tangkap nih ya, gue yakin cerita ini akan menarik banyak penggemar novel tentang percintaan anak muda sekarang. Oke deh ... gue kontek Om Al dulu." Al menepuk bahu Ardika lalu merogoh kantongnya untuk mencari handphone.

Merasa tertarik ingin mengedit cerita ini, akhirnya Ali memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya itu.

"Hallo Om," sapa Ali setelah Alfian menyahut panggilannya.

"Iya, ada apa Li?" tanya Alfian dari seberang.

"Ali ambil project ini. Tapi Ali butuh kontak dia, biar lebih mudah mendiskusikan ceritanya dia nanti," kata Ali mantap.

"Ooooh, oke. Sip, nanti Om kasih kontak dia ke kamu ya?"

"Oke deh Om. Makasih banyak," ucap Ali merasa beruntung karena meski dirinya tak lagi dekat dengan sang papa, namun dari Alfian ia mendapatkan perhatian dan kasih sayang seorang kepala rumah tangga.

Alfian memutuskan panggilannya, lalu mengirimkan semua kontak yang diperlukan Ali untuk berdiskusi dengan gadis pemilik cerita tersebut. Entah mengapa Ali benar-benar sudah jatuh hati dengan cerita itu dan dari setiap kata yang ada, ia teringat akan keberadaan Prilly. Mengingat gadis itu membuat hati Ali nyeri dan sakit. Penyesalannya semakin meninggi. Apa yang harus ia lakukan sekarang, agar dapat mengetahui kabar sang pujaan hati yang entah dimana kini berada.

***

Jam mata kuliah pun berakhir, Ali langsung ingin pergi ke suatu tempat agar dirinya dapat mengetahui kabar tentang Prilly. Ali menarik gasnya membelah jalanan hingga spidometernya menunjukan kecepatan 90 km/jam. Angannya tentang Prilly sulit Ali hapuskan. Ali membuang jauh-jauh rasa gengsinya, demi mencari kabar tentang Prilly. Ia tak ingin mengulang kembali kebodohan yang sama, karena telah menyia-nyiakan gadis sebaik dan secantik Prilly. Hingga Ali berhenti di sebuah kampus dan menunggu seseorang keluar. Hampir 30 menit Ali menunggu di depan gerbang, akhirnya orang yang dia tunggu pun datang.

"Pucuk di cinta, ulampun tiba," gumam Ali langsung mendekati gadis itu.

"Rana!" pekik Ali mengejutkan Rana yang berjalan sendiri.

"Ali?" lirih Rana yang tak percaya Ali ada di depannya saat ini.

Sudah satu semester ini Rana pindah ke kampus lain, terpisah dengan Ali. Ini karena Rana tak begitu nyaman dengan kampus yang dulu.

"Hai, gimana kabar lo," tanya Ali basa-basi sebelum mengungkapkan tujuan awalnya datang menemui Rana.

"Baik, gimana dengan lo sendiri?" tanya Rana jual mahal dan sedikit jutek.

"Yaaaa ... bisa lo lihat sendiri. Oh iya, gue mau ada perlu sama lo. Bisa kita ngobrol sebentar?" kata Ali penuh harapan.

"Tentang apa nih?" tanya Rana curiga.

"Prilly." Mata Rana membulat sempurna ketika Ali mengatakan 'Prilly'.

Sejak kapan Ali peduli dengan sahabat Rana itu? Bukan kah selama ini Ali bersikap tak acuh kepadanya? Mengapa baru sekarang Ali datang, setelah sekian bulan Prilly pergi?

"Oh, ada apa?" respon Rana ketus karena ia ingin menguji keseriusan Ali dan tujuan Ali menanyakan Prilly kepadanya.

"Lo tahu nggak di mana Prilly sekarang?" tanya Ali penuh harapan, karena Ali berpikir hanya Rana jalan satu-satunya agar dia dapat mengetahui keberadaan dan setidaknya kabar tentang Prilly.

"Di suatu tempat, gue kira lo tahu," sahut Rana melipat kedua tangannya tak acuh di depan dada.

"Mmm ... gue boleh minta kontaknya Prilly nggak?" pinta Ali dengan wajah berharap Rana akan memberikannya, yang justru membuat Rana ingin tertawa terbahak namun ia tahan sekuat tenaganya.

Rana tetap memasang wajah judes dan sok jual mahal. "Sorry Li, gue nggak bisa kasih tahu ke lo. Karena ini permintaan dari Prilly sendiri. Jadi kalau lo pengen tahu keadaannya, cari aja informasi ke tempat lain," ujar Rana mematahkan hati Ali.

Rana tersenyum miring dan merasa puas karena telah berhasil membuat Ali semakin galau.

'Rasain tuh, gimana rasanya ngejar-ngejar cinta. Siapa suruh nyia-nyian berlian secantik sahabat gue. Kalau butuh, ya usaha dong lo,' pekik Rana tertawa puas di dalam hati.

"Ya udah deh Ran, gue duluan ya? Makasih," ucap Ali lesu.

"Ya," sahut Rana singkat memperhatikan langkah Ali yang gontai tak bersemangat lagi.

Penyesalan pada akhirnya akan mendatangi siapapun yang sudah menyia-nyiakan sesuatu. Dapatkah Ali bertahan tanpa berita tentang Prilly? Apakah Prilly adalah tulang rusuknya Ali? Jika memang itu terjadi, cinta akan menuntun Prilly untuk kembali kepada Ali dengan jalan yang sudah Tuhan rencanakan. Semua akan indah pada waktunya.

############

Rex_delmora

Semua akan indah pada waktunya. Nah, yang jadi pertanyaan sekarang, kapan waktunya itu akan datang? Hahahahaha
Sabar ya? Pasti akan datang, tapi nanti dulu.

Makasih untuk vote dan komentarnya. We love you all 😘😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top