Tak Menyiakan Kesempatan (Jadian)
Ali terus menatap wajah cantik Prilly. Dia masih tidak percaya ternyata selama ini wanita yang selalu dia hubungi adalah Prilly.
"Li, kenapa sih lihatinnya begitu banget?" tegur Prilly tersenyum malu?malu salah tingkah diperhatikan Ali intens.
"Ya gue masih nggak percaya aja. Ternyata lo itu Meyra," jawab Ali tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Dan ternyata lo, Zefaro," sambung Prilly mengerling menatapnya dengan senyum-senyum.
"Masa sih lo nggak tahu nama kepanjangan gue? Harusnya lo paham dong." Ali menyeringai dengan tatapan menggoda.
Pipi Prilly bersemu merah, dia tersenyum malu-malu menghindari tatapan Ali dan menyibukkan diri mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Ali terus menatapnya, tidak bosan-bosan dia selalu menikmati keindahan pahatan Tuhan yang hampir sempurna itu.
"Pril, habis ini lo balik lagi ke Belanda?" tanya Ali memajukan kursinya agar lebih dekat dengan Prilly.
"Iya dong, Li. Kan kuliah gue di sana belum selesai," jawab Prilly menyedihkan hati Ali.
"Masih lama ya kuliahnya?"
"Lumayan," jawab Prilly singkat lalu menyedot jus kacang hijaunya.
Beberapa menit mereka saling berdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Ada sesuatu yang mendorong hati kecil Ali. Dia memejamkan matanya sejenak mengumpulkan keberanian dan menghela napas dalam.
"Pril," panggil Ali pelan.
"Iya." Prilly mendongak menatap kedua matanya yang sayu dan meneduhkan jiwa.
Jantung mereka sama-sama berdebar-debar tidak karuan. Tangan Ali menggapai tangan Prilly dan menggenggamnya.
Dengan susah payah lalu Ali berkata, "Mau nggak LDR-an sama gue?"
Prilly terkejut dan ini adalah sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Meskipun sebenarnya dulu dia berharap Ali akan mengatakan itu. Tapi seiring kesibukannya belajar di Belanda, membuatnya sedikit melupakan angan-angan mengenai Ali. Hampir saja Prilly ingin move on meluapkan Ali. Tapi jalan Tuhan berbeda dengan rencananya. Tuhan mempertemukan Prilly dengan kekasih bayangan, yang tak lain juga Ali.
"Pril?" panggil Ali halus menyadarkan lamunan Prilly.
"Eh, maaf." Prilly terkejut. "Tadi lo bilang apa, Li?" tanya Prilly pura-pura bloon dan sok tidak mendengar permintaan Ali yang tadi.
Ali berdehem lalu mengulangi kata-katanya, "Mau nggak LDR-an sama gue?"
Bibir Prilly tersungging senyum yang sangat manis.
"LDR-an aja sih gampang, Li. Cuma sebagai teman kan? Boleh," ucap Prilly tidak ingin besar kepala dulu.
"Kalau sebagai pacar," sambung Ali.
Mata Prilly membulat sempurna. Ali berdiri dan berlutut di sampingnya. Prilly menyapu pandangan melihat di sekitar mereka, banyak pengunjung yang memerhatikan.
"Pril, banyak hal yang gue lalui saat lo pergi. Dari semua itu gue sadar rasa kehilangan itu menyakitkan. Keangkuhan gue di masa lalu membuat gue menjadi manusia paling jahat di dunia ini. Menyia-nyiakan orang yang mencintai gue dengan tulus, gue menutup mata dari kasih sayang mereka dan hati gue diselubungi kebencian. Membuat gue tidak bisa berpikir rasional." Ali menatap ke dalam manik mata Prilly.
"Gue nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Pril. Gue nggak mau lagi kehilangan lo dan gue sudah lelah mencari-cari keberadaan lo. Please, izinkan gue menjadi seseorang yang akan selalu menjadi sandaran hati lo. Gue janji, jika waktunya sudah tiba, lo akan gue halalin," ungkap Ali menyentuh kalbu Prilly mendamaikan perasaannya.
Air mata bahagia menggantung di pelupuk Prilly, dia membalas tatapan Ali yang mengiba. Suasana kafe yang tadinya ramai, sekarang sunyi. Mereka menunggu jawaban dari Prilly.
"Masa begitu nembak cewek, masih pakai lo-gue. Ulangi," cibir Prilly sengaja menggoda mengurangi rasa geroginya.
Ali tersenyum kikuk dan menggaruk-garuk tengkuknya. Dia menarik napasnya dalam dan kembali menggenggam kedua tangan Prilly.
"Oke. Prilly apa kamu mau jadi pacar aku? Pacar yang serius bukan yang main-main. Sorry, kalau caraku mengungkapkan cinta tidak romantis, karena aku bukan pujangga dan tidak pintar merangkai kata-kata indah. Yang pintar merangkai kata banyak, tapi bagiku cinta itu bukan dari kata-kata indah ataupun dari tulisan sajak. Tapi dari hati."
Meskipun dengan kata-katanya sendiri yang ala kadarnya, tapi Ali mengungkapkan itu dari lubuk hatinya paling dalam. Sudah bagus cowok yang dikenal seperti pangeran es, dingin, pendiam, dan pembawaannya selalu tenang berani mengutarakan isi hatinya di depan orang banyak.
"Li, apa kamu serius dengan ini semua?" tanya Prilly masih meragukannya.
"Masya Allah, Pril. Kamu nggak lihat semua orang menyaksikan kita? Kamu masih berpikir aku bercanda? Oke, aku akan lakukan ini biar kamu percaya." Ali naik ke atas kursi dan berdiri melihat ke semua pengunjung kafe itu.
"Ali, kamu mau ngapain?" tanya Prilly panik menarik ujung baju Ali agar turun. Tapi Ali tidak mengindahkannya.
"Mohon maaf sebelumnya mengganggu ketenangan tempat ini. Cewek yang sedang bersama saya saat ini kurang yakin kalau saya mengutarakan cinta padanya. Jadi biar meyakinkan dia saya melakukan ini." Ali mengulurkan tangan meminta Prilly berdiri di bawahnya.
Dengan malu-malu, Prilly pun berdiri menghadapnya.
"Meyra Prilly Natasya, apakah kamu mau jadi pacarku?" ungkap Ali didengar banyak orang.
Sorakan dan tepuk tangan menguasai ruangan itu. Malu bercampur bahagia menghiasi wajah Prilly. Dia menunduk tersenyum malu-malu.
"Ayo Neng, jawab!" pekik seorang pengunjung.
"Jawab!"
"Jawab!"
"Jawab!"
"Jawab!"
Seorang pelayan membawakan setangkai mawar merah dan diberikan pada Ali.
"Makasih, Mas," ucap Ali turun dari kursi menunggu jawaban Prilly.
"Kalau kamu malu untuk menjawab, ini ada bunga." Ali memperlihatkan bunga itu di depan Prilly. "Kalau jawabannya iya, kamu ambil bunga ini, tapi kalau jawaban kamu nggak bisa, untuk mengurangi rasa maluku, tolong keluar dari kafe ini."
Prilly berpikir, sebenarnya ini adalah sesuatu yang sudah sangat lama dia nantikan. Akhirnya cinta yang selama ini tersimpan rapi di hati, terbalas oleh orang yang dia kagumi. Itu adalah hal yang luar biasa. Prilly mengambil tasnya, jantung Ali seperti sulit berdetak. Firasatnya buruk. Apakah Prilly akan meninggalkannya?
"Li, maafin aku ya?" ucap Prilly sendu mencangklong tasnya.
Ali sudah bisa menebak, dia melemaskan tubuhnya dan menganggukkan kepala.
"Iya, nggak apa-apa," sahut Ali.
"Huuuuuuuu." Suara sorakan pengunjung memenuhi ruangan itu, semakin membuat Ali malu.
Prilly mengulum bibirnya melihat wajah memelas Ali, jadi tidak tega.
"Kamu kan belum tanya kenapa aku minta maaf? Kenapa jawabnya lesu begitu?" tanya Prilly.
"Ya aku tahu, kamu akan memilih jawaban kedua kan?" tebak Ali menahan dongkol di dada.
"Hidiiih... suudhon! Aku minta maaf itu untuk masa lalu, yang pergi tanpa pamitan sama kamu. Aku juga tahu kok kalau selama ini kamu mencariku. Rana selalu bercerita setiap kali kamu menemuinya. Maaf sempat menghindar dan aku juga sempat ingin melupakan kamu. Awalnya aku pergi ke Belanda bukan hanya sekadar kuliah, tapi juga pengin menghapusmu dari hatiku. Tapi yang ada semakin aku berkeras hati ingin melupakanmu, justru aku melukai hatiku sendiri. Aku pikir lari dari kenyataan akan lebih baik, ternyata tidak. Justru aku semakin tersiksa," ujar Prilly mengeluarkan semua unek-unek di hatinya yang selama ini dia simpan sendiri.
Ali tercengang, dia mematung termangu mendengar semua isi hati Prilly. Dia menatap mata sayu Prilly, dari sana Ali dapat menangkap ketersiksaan batiknya selama ini.
"Maafkan aku yang nggak bisa menghapus cintaku ke kamu dari hati ini. Dari dulu sampai sekarang rasa itu masih sama, hanya saja sekarang lebih mantap. Aku mau menerimamu." Prilly mengambil bunga itu dari tangan Ali.
Mata Ali berbinar saking bahagianya dia langsung memeluk Prilly dan mengangkatnya memutar-mutar tubuhnya sambil berucap terima kasih. Ruangan itu menjadi gaduh dengan tepuk tangan, siulan, dan sorakan.
"Ali, turunin aku pusing," rengek Prilly.
Ali pun menurunkannya.
"Pulang yuk!" ajak Ali memasukkan ponselnya di saku celana.
Ali melambaikan tangan ke semua pengunjung mengucapkan terima kasih. Orang-orang di sana ikut bahagia, senyuman mereka tulus. Ali membayar ke kasir lantas mereka meninggalkan kafe itu.
"Kita ambil motor ke kantor dulu ya? Aku antar kamu pulang," ujar Ali. Prilly mengangguk.
Senyum bahagia terukir dari bibir mereka. Ali dan Prilly berjalan di trotoar menuju kantor redaksi mengambil sepeda motor Ali. Dengan memberanikan diri, dia menggandeng tangan Prilly berjalan santai seakan jalan itu hanya ada mereka berdua. Prilly tersenyum bahagia, dan membalas genggaman tangan Ali.
Jalan Tuhan memang sangat rumit, tapi ketika Dia sudah menunjukan jalan keluar, pasti kerumitan itu akan tertinggal.
########
Rex_delmora
Ciyeeeeee... jadian. Wkwkkwkwkwk lol
Maaf ya menunggu lama, karena project ini sekarang dikerjakan dua orang. Hehehe
Semoga kalian masih setia menunggu dan sabar menanti.
Terima kasih untuk vote dan komentarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top