Sinyal Cinta
Setiap harinya, bayang masa lalu tentang Prilly selalu membekas dalam ingatan Ali. Sudah sekian lama, tapi ia belum jua menemukan keberadaan Prilly. Mungkinkah ini kutukkan untuknya, untuk dirinya yang dulu terlalu tak acuh pada Prilly, terlalu tak peduli hingga akhirnya ia menyesal sendiri.
Seperti biasanya, Ali selalu sibuk di penerbit Cahaya Cinta sebagai seorang editor. Ratusan naskah masuk, dan ratusan pula yang harus ia koreksi bila ada kesalahan. Dan ada satu naskah yang sedari tadi menarik perhatiannya. Naskah milik seorang gadis bernama Myera yang sedang tinggal di luar negeri. Dari judulnya saja, Ali sudah tertarik, apalagi setelah masuk ke sinopsis ia makin penasaran dengan isi ceritanya.
Namun, ada satu yang aneh. Sinopsis cerita itu mengatakan bahwa si perempuan jatuh hati ke si pria yang berhati es. Cintanya pada pria tersebut tak pernah ditanggapi, apalagi dibalas. Cinta perempuan itu hanya sebatas dalam hati. Dan itu sukses mengingatkan kisahnya bersama Prilly. Kenapa juga Myera menulis cerita yang seperti bukan fiksi. Ali heran saja, kenapa bisa pas dengan ceritanya dan juga Prilly. Andai saja Prilly ikut membaca naskah ini, pasti mereka tertawa bersama. Karena bagai bercermin ke dalam cerita.
"Kenapa sih, lo senyum-senyum Li?" tegur Bang Maulana, teman Ali seruangan.
"Nggak papa Bang. Ini gue cuma suka aja sama naskahnya. Bagus cara dia nulis, apa yang dia sampaikan benar-benar seperti gue rasain. Cuma masih ada beberapa kesalahan tanda baca sih sama ejaan," tutur Ali tampak antusias.
"Siapa penulisnya?"
"Myera."
"Oh ... penulis baru. Tapi lo udah suka-suka aja ya," ejek Bang Maulana, menyindir.
"Apaan sih Bang? gue suka sama naskahnya ya, bukan orangnya."
Tentu saja. Mana mungkin Ali menyukai penulis baru bernama Myera itu, kalau di pikirannya saja selalu nama Prilly yang terbayang.
Pikir Ali, Myera ini pintar sekali membuat hatinya ikut tersayat. Berasa Ali yang jadi si tokoh utama pria dalam cerita. Kalau boleh jujur, ketika SMA ia memang persis seperti tokoh yang Myera ceritakan. Dingin, tampan, suka menyendiri, ya itu semua masuk dalam kategori sifat Ali semasa bangku menengah atas. Tetapi sekarang, Ali sudah banyak berubah. Seiring umurnya yang bertambah, meski masih bersifat dingin terutama kepada mahluk bernama perempuan, tapi Ali mulai membiasakan diri untuk sedikit peduli.
Tulisan lo keren, Myera. Ceritanya hidup dan berhasil menampar gue yang juga berhati es.
Ali mengakhiri cerita naskah itu dengan senyuman puas. Ia berharap Myera segera mengirim hardcopy yang ia minta, supaya bisa melakukan kerja sama selanjutnya.
***
Ali masih saja menganggu Rana. Ia takkan berhenti sebelum Rana memberitahu di mana sekarang Prilly tinggal. Apakah ia baik-baik saja? sudah punya pacar? dan masih banyak pertanyaan lain yang ingin Ali tanyakan. Seperti saat ini Ali mencegat Rana yang baru saja keluar dari gerbang kampus. Dan Rana pasti sudah bisa menduga apa niat Ali mendatanginya. Tak jauh-jauh dari soal keberadaan Prilly yang pasti ia tanyakan.
"Rana. Daripada lo capek gue kejar-kejar terus. Mending lo jujur aja deh Ran. Di mana Prilly? kasih tahu gue. Habis itu gue janji, gue nggak akan ganggu-ganggu lo lagi."
"Gue harap lo aja yang capek, Li," sahutnya tak acuh.
"Gue nggak akan pernah capek Rana. Sebelum lo bilang, di mana Prilly?"
"Gue kan udah bilang, Li. Prilly baik-baik aja. Dia udah bahagia sekarang, jadi lo jangan ganggu dia lagi." Ali mendesah kecewa. Kenapa Rana tetap pada pendiriannya. Mengatakan Prilly baik-baik saja, sudah bahagia, dan jangan ganggu dia lagi. Apa maksudnya? Ali hanya ingin bertemu Prilly itu saja. Setidaknya kata maaf itu bisa terlontar dari bibirnya yang kaku berucap ketika dulu.
"Li, lepasin tangan gue. Gue mau pulang!" Tak punya pilihan, akhirnya Ali terpaksa melepas tangan Rana yang sebelumnya ia cengkram kuat. Rana memilih untuk pamit pergi ketimbang menjawab semua tanya Ali.
"Rana," panggil Ali cukup keras hingga Rana kembali menghentikan langkah.
"Kalau gue bilang, gue cinta sama dia. Apa lo percaya?" Rana berbalik, ia menyeringai dengan kedua tangan tersilang di depan dada.
"Cinta lo sudah terlambat, Li." Hanya itu yang Rana katakan, setelahnya ia pergi ketika taksi berhenti tepat di depannya. Ali mematung di tempatnya. Ucapan Rana benar-benar melukai.
Gue terlambat ya Pril. Kenapa gue harus terlambat? kenapa gue jadi cowok yang bego banget? kenapa gue jatuh cinta setelah lo pergi ninggalin gue. Dasar tolol.
Ali tak ingin pulang ke rumah setelah kata-kata Rana tadi berhasil menembus ulu hatinya, perih. Di rumah ia akan semakin pusing menghadapi papanya. Ditambah lagi masalah Prilly yang tak kunjung usai. Satu-satunya tempat Ali pulang ialah rumah Mora. Ke mana lagi ia harus lari, jika bukan pada tantenya yang baik hati.
Setibanya Ali di rumah Mora, ada sosok tak asing yang berdiri di depan pintu. Sosok yang seharusnya tak Ali benci, sosok yang selalu sabar menghadapinya meski ia dikasari.
"Kak Ali."
"Ngapain lo di sini?"
"Pulang ya Kak, Papa lagi sakit," rengek Selvi sambil memegang lengan Ali, ia memohon.
"Nggak. Gue malas pulang. Di rumah sendiri berasa di neraka!" Mendengar itu, tangis Selvi pecah. Sudah dua hari papanya sakit, dan Ali sama sekali tidak pulang untuk sekadar menengok.
"Ali. Pulanglah, kasian Papa kamu lagi sakit." Mamora yang mendengar keributan di dalam, tiba-tiba keluar, menasihati Ali.
"Suruh aja dia pulang Mam. Ali nanti aja pulangnya. Capek, mau istirahat di sini dulu." Tanpa menghiraukan Selvi yang terisak, Ali lewat dengan tak acuhnya masuk ke dalam rumah Mora.
"Ali! Ali!" Teriak Mamora seolah memberi peringatan yang kali ini diacuhkan Ali.
"Selvi, pulang aja ya dulu. Nanti Tante bujuk kakak kamu supaya mau pulang. Salam ya buat papa, semoga cepat sembuh." Mora merangkul pundak Selvi dan mengusapnya sebentar untuk menenangkan.
"Iya, tante. Makasih. Nanti Selvi sampain. Selvi pamit pulang dulu. Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Mungkin Selvi adalah sosok tak bersalah. Tapi karena hadirnya bersama perempuan yang Ali benci, jadilah ia terkena juga imbasnya. Meski Ali menolak pulang, namun dalam hati kecilnya ia memikirkan kesehatan satu-satunya orang tua tunggal yang ia miliki. Tetapi karena gengsi dan banyak pertimbangan, Ali mengacuhkannya.
"Ali. Yakin nggak mau pulang?" Mora menyusul Ali ke ruang tamu. Ia tampak sibuk menonton televisi dengan pikiran ke lain.
"Ali, Mami lagi ngomong. Kenapa jadi dijutekin gini?"
"Mam. Tolong jangan bikin Ali tambah pusing. Cuma di sini, Ali bisa nenangin diri."
"Iya, tapi Papa kamu lagi sakit. Kamu tengok dulu, bagaimanapun dia orang tua kamu, Li. Nggak boleh jadi anak durhaka."
Ali menghembuskan napas kasarnya. Ia bukan ingin menjadi anak durhaka, hanya saja bertemu papanya akan selalu terbayang masa lalu yang penuh luka.
"Iya nanti malam Ali pulang."
Hanya dengan Mora, Ali bisa menurut. Mora bukan hanya sekadar tante bagi Ali, tapi sudah dianggapnya seorang Ibu. Bersama Mora, Ali merasa punya kasih dan sayang. Hanya beliau yang dapat mengerti dirinya, hanya beliau yang tahu apa maunya dan menasihatinya dengan cara yang Ali suka.
Dengan hati yang meragu, Ali masuk ke dalam rumah. Lika, ibu tiri Ali tampak terkejut ketika melihat Ali muncul dari balik pintu. Kehadirannya sudah dinantikan sejak dua hari yang lalu, tetapi baru sekarang Ali bisa datang. Selvi yang baru keluar dari kamar papanya juga ikut terkejut melihat kedatangan Ali.
"Li, papa kamu ada di dalam. Masuk aja, Nak." Tanpa mengubris ucapan Lika, Ali berlalu begitu saja masuk ke dalam kamar papanya melewati Selvi yang hanya bisa terdiam.
Di dalam kamar, Aska terbaring lemah. Dengan selang infus di tangannya yang sudah renta. Wajahnya tampak pucat. Laki-laki itu sudah setengah abad umurnya, tetapi masih suka bekerja, mencari nafkah untuk keluarganya. Meski di tengah konflik panas antara dirinya dan Ali yang belum juga berakhir.
Ali maju mendekat, menatap papanya dengan sorot mata yang dibuat tajam. Siapa yang tahu dalam hatinya merasa iba, merasa tak tega. Dan kalau boleh ia menurunkan gengsi, mungkin air matanya akan jatuh sekarang juga. Papa yang dulu selalu mengasihinya ketika kecil, kini terbaring tanpa daya di atas kasur. Namun, saat ia ingat bagaimana kesetiaan Aska terhadap Ibunya yang telah tiada menjadi minus di matanya, luka itu kembali membayang. Bagai mengorek luka pedih di hati Ali yang belum bisa kering.
"Li," panggil beliau sangat lirih. Tangannya mengambang di udara ingin menggapai wajah Ali yang tak kunjung mendekat, terpengaruh ego.
Air mata beliau menetes, melihat itu mata Ali ikut berkaca-kaca. Bagaimanapun orang yang ada dihadapannya saat ini, bagaimanapun ia bersikap dan pernah salah, tetaplah dia seorang ayah untuk Ali. Seberapapun jauh ia membenci, tak akan ada yang namanya mantan ayah. Mungkin Ali dan papanya hanya butuh waktu untuk memulihkan kasih sayang mereka yang sudah termakan waktu.
"Sini Nak. Duduk," pinta papanya dengan suara yang parau.
"Papa sakit apa?" tanya Ali dengan suara sok tegasnya. Masih mempertahankan keangkuhan hati yang tak bisa ia rendam untuk sesaat saja.
"Papa nggak papa. Baik-baik aja. Yang penting, Ali ada di sini, pasti papa sembuh." Air mata pria itu kembali menetes, membasahi pipinya, menyisakan sedih pada matanya menatap Ali.
"Ya udah. Istirahat aja, biar Papa cepat sembuh. Ali capek, mau ke atas dulu."
Buru-buru Ali keluar kamar papanya. Berlari naik ke kamarnya yang ada di lantai dua. Apa yang sedang terjadi di hatinya? satu sisi, ia masih menyimpan amarah untuk Aska. Di sisi yang lain, Ali tak tega melihat papanya yang terbaring lemah. Dibalik pintu yang sudah Ali tutup rapat, sebulir air mata menetes dari matanya. Sedari tadi ia menahan mati-matian untuk sekadar tak diketahui Aska. Menangis di depan papanya saja Ali merasa gengsi, ia tak ingin Aska tahu bahwa di dalam hati kecilnya, rasa sayang dan khawatir itu masih ada. Meski Ali selalu menekan rasa dengan egonya.
"Kak." Panggil Selvi dari luar kamar Ali. Ia melihat Ali yang tergesa naik ke lantai atas setelah menemui papanya.
"Pergi Sel, gue pengen sendiri!"
"Makan dulu Kak. Kakak belum makan, kita makan dulu sama-sama."
"Gue nggak laper, kalian aja yang makan!" Sikap Ali memang tak pernah bisa baik jika di rumah. Emosinya selalu meningkat tatkala Selvi yang selalu bersikap baik padanya.
"Makanlah Kak, setidaknya untuk Alm. mama Kak Ali." Mendengar Selvi menyebut mendiang ibunya, emosi Ali bagai tersengat listrik, meningkat dratis, membara seperti kobaran api.
"Lo nggak tahu apa-apa soal Alm. ibu gue. Nggak usah lo sebut-sebut nama dia. Urus aja ibu lo itu, nggak usah urus gue!!!" Apalagi yang bisa Selvi lakukan selain mengusap dada kala Ali mengeluarkan suara serigalanya. Ibarat kata, perumpamaan jika Ali sedang marah.
Selvi yang merasa tidak berguna jika terus berdiri membujuk Ali untuk makan, akhirnya pergi dari depan pintu dengan tetesan air mata. Lika yang tak sengaja mendengar keributan itu juga ikut terisak. Sebagai ibu tiri, ia tak pernah membedakan sikap. Ali sudah ia anggap seperti anak kandung, tapi Ali tak pernah menyambutnya dengan tangan terbuka. Selalu saja caci, maki, dan kecuekkan Ali yang ia dapati. Apapun yang Lika dan Selvi lakukan tidak akan pernah benar jika itu di mata Ali.
***
Tiba-tiba saja, kenang masa lalu akan Prilly terputar di otak Ali. Andai saja Ali bisa sedikit peka, andai saja Ali tak berhati es, pastilah Prilly sekarang masih di sampingnya. Namun, semua sudah menjadi waktu yang terbuang, takkan mungkin Ali tarik kembali untuk ia bawa mundur. Semua terasa percuma. Prilly sudah tiada di sisinya lagi, hanya kenangan-kenangan akan dirinya yang bisa Ali bayangkan. Penyesalan, hanya berakhir dengan setetes air mata yang tak ada arti.
Bahkan harapan Ali satu-satunya yang bertumpu pada Rana pun, tak bisa ia dapatkan. Rana tak memberitahunya sedikitpun tentang keberadaan Prilly. Padahal niat Ali ingin bertemu lagi baik, ia hanya mau minta maaf itu saja. Rupanya nasib belum mengijinkan itu terjadi.
########
Celpi
Haaaaaaai, sudah lama nggak update ya? Maaf ya? Kalian harus sabar menunggu cerita ini. Karena ini kan kolaborasi berempat, jadi kami memilki kesibukan masing-masing dan harus saling menunggu giliran. Semoga saja kalian masih sabar menunggu. Aamiin. Heheheh
Terima kasih untuk vote dan komentarnya ya? Doakan, semoga kesibukan kami dapat berkurang, jadi bisa lancar deh ngetik kelanjutannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top