Pertemuan Tak Sengaja

Sudah dua hari hati Ali selalu gelisah dan tak tenang. Ini semua kerena kemarin lusa usai pertemuannya dengan Prilly, ia lupa meminta nomor teleponnya. Ali terus mengacak-acak rambutnya, mau melakukan apa pun rasanya malas. Dia selalu kepikiran Prilly, dan ingin rasanya berkencan dengan gadis yang sudah menjukirbalikkan hidupnya.

"Li," panggil Al yang sudah berdiri di depan meja kerjanya.

"Iya, Om," sahut Ali tersentak kaget langsung menegakkan tubuhnya.

Al mengerutkan dahinya bingung, baru juga kemarin wajahnya terlihat segar dan bersemangat, mengapa sekarang ia kembali kusam?

"Kamu sudah menghubungi Meyra?"

"Sudah Om."

"Apa katanya?"

"Kebetulan dia sedang liburan di Indonesia. Jadi kita bisa undang dia ke sini, buat menandatangi kesepakatan kerjasama itu."

"Oh begitu? Malah bagus dong, urusannya bisa lancar dan nggak ribet. Biar bukunya juga cepat diproses. Kapan kamu akan mengundang dia ke sini?" tanya Al.

"Menurut Om?"

"Sekarang aja gimana? Kamu lagi nggak sibuk kan?"

"Nggak sih, Om."

"Ya sudah, telepon dia sekarang," perintah Al.

"Om, ganti ya uang paketan datanya? Telepon biarpun pakai WA, tetep aja kan mengurangi kuota," tajuk Ali menaik turunkan kedua alis tebalnya pada Al.

"Huh! Dasar kamu! Nggak mau rugi!" cibir Al mengacak rambutnya yang mulai gondrong.

"Namanya usaha, siapa yang mau rugi? Pasti maunya ya untung," bantah Ali sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

"Iya, nih buat beli paketan!" Al memberikan uang seratus ribuan kepada Ali.

"Nah, gini baru bisnis. Saling menguntungkan," ujar Ali menerima uang itu dan segera mencari kontak Meyra di kontak WhatApp-nya.

"Om tinggal dulu ya? Kalau dia sudah datang, ajak ke ruangan Om. Sekalian kamu bawa surat-surat kesepakatannya," titah Al seraya melenggang pergi.

"Iya!"

Ali pun segera menempelkan ponselnya di telinga. Beberapa menit dia menunggu, akhirnya panggilannya pun terjawab.

"Hallo," jawab suara seorang gadis dari seberang.

Ali mengerutkan dahinya, perasaan dia mengenali suara ini. Tapi milik siapa? Pikir Ali.

"Hallooooo..., Zefaro?" sapa Meyra karena Ali tak menjawab sapaannya.

"Eh, sorry," ucap Ali tersadar dari rasa penasarannya. "Mey, kamu ada waktu nggak hari ini?" tanya Ali langsung kepokok permasalahan.

"Ada, kenapa Zef?"

"Kamu bisa nggak datang ke redaksi kami?"

"Oh, bisa, bisa, bisa. Di mana kantor redaksinya?"

"Nanti alamatnya aku kirim lewat chat ya?"

"Oke, sip!"

"Baiklah, kami tunggu kedatangannya ya, Mey?"

"Oke, Zef."

Ali menutup teleponnya. Ia mengingat-ingat suara siapa itu, tapi sayang ia tak ingat milik siapa suara itu. Ali melihat foto profil yang terpampang di WA. Meyra memang tidak pernah mengganti foto itu. Meyra lebih menyukai senja yang terpasang dibandingkan wajah dirinya sendiri.

"Ah sudahlah, mungkin hanya pikiran gue aja. Lanjut kerja lagi." Ali kembali menlanjutkan pekerjaannya. Setelah ia mengirimkan pesan pada Meyra, ia mempersiapkan berkas-berkas yang harus diberikan pada Al nantinya.

"Li, ayo ikut makan siang sekalian. Om mu udah nunggu tuh." Mora yang memang sering membawakan makan siang suaminya itu memanggil Ali untuk ikut bersamanya.

"Sebentar Mamora, nanti Ali nyusul." Mora yang mendapat jawaban itu kembali ke ruangan Al yang tak jauh dari tempat Ali bekerja.

Ali sekalian membawa berkas yang sudah siap ke ruangan Al, agar nanti tidak terlupakan. Ali melenggang malas ke ruangan Al. Bukan karena malas bekerja, tapi malas karena merasa dirinya bodoh tidak tahu harus menghubungi Prilly dimana.

"Nah ini dia yang dari tadi dibahas." Mora mengalihkan pandangannya ke arah pintu.

"Kenapa, Mam?" tanya Ali bingung.

"Kata om kamu, kamu seharian ini murung kenapa?" tanya Mora.

"Bukannya kemarin habis ketemu Prilly? Harusnya senang dong," tambah Mora. Ia tahu semua cerita keponakannya, karena Ali tak pernah menutupi apa yang ia rasakan dari Mora. Lelaki juga butuh tempat untuk bercerita, bukan?

"Sudahlah, Mam. Jangan dibahas, Ali lagi kesal," jawabnya malas.

"Kenapa?" tanya Mora bingung.

"Ali menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Gimana mau ketemu lagi kalau Ali lupa nanya nomer telepon dia. Gimana mau janjian kencan kalau begini."

"Li, Li. Gitu aja kok murung. Tenang aja, kalau memang kamu berjodoh sama Prilly, pasti ketemu lagi. Rasa yang ada dihati kamu ini yang akan menuntun kalian buat bertemu. Jangan menyerah kalau memang kamu cinta sama dia." Mora menepuk dada bidang Ali.

"Tahu kamu, Li. Masa cowok cemen cuma gara-gara lupa nanya nomor telepon. Masih banyak cara menuju Roma, Li. Nanti juga kalian pasti ketemu. Udah kita makan dulu, keburu tamunya datang." Al menimpali ucapan istrinya.

Ali hanya diam, berharap apa yang dikatakan Mora dan Al akan terkabul. Saat ini ia sedang menahan rindu yang kembali muncul untuk Prilly.

***

Prilly sudah siap dengan pakaian casualnya, tidak ada gaun dan heels, tapi ini cukup terlihat sopan dan cantik.

"Non, mau kemana lagi? Baru juga sampai rumah masa mau pergi lagi." Ebie yang membatu keperluan Prilly masih duduk diam di sofa kecil di dalam kamar Prilly.

"Ada bisnis, Mbak. Mumpung aku lagi pulang ke Indonesia. Tenang aja nanti pulang aku bawain martabak telor deh," ucap Prilly memberikan sentuhan terakhir pada rambutnya.

"Yah, Non. Ebie kan mau denger cerita soal cowok-cowok bule, Non."

"Nanti kita lanjut lagi. Udah ya, aku jalan dulu biar nggak kesorean." Prilly meraih tas selempangnya dan berpamitan.

Dengan taksi Prilly pergi ke alamat yang Zefaro berikan tadi. Ia banyak berharap naskahnya ini akan laku dipasaran dan banyak peminatnya. Karena itu adalah salah satu mimpi Prilly selama ini.

Tak sampai satu jam Prilly sampai di gedung tinggi menjulan. Setelah membayar taksi, ia melangkah dengan pasti menuju gedung itu. Ada sebuah harapan besar menantinya didalam sana.

Prilly menghampiri meja resepsionis terlebih dahulu, memberitahukan maksud dan tujuannya dan juga memberikan tanda pengenal untuk ditukarkan dengan kartu visitor.

"Selamat siang, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Fara.

"Siang, Mbak. Saya Meyra, saya sudah ada janji dengan Pak Zefaro, apa beliau ada?" tanya Prilly sopan.

"Pak Zefaro? Di sini nggak ada yang namanya Zefaro, Bu," jawab Fara.

"Loh, Mbak. Masa nggak ada yang namanya Zefaro di sini. Tapi ini benar kan alamatnya?" Prilly menyodorkan alamat yang tadi diterimanya.

"Iya benar, tapi memang nggak ada yang namanya Pak Zefaro di sini, Bu." Fara yakin jika ia benar.

"Masa sih. Coba deh ... sebentar ya, Mbak." Prilly menjauh dari meja Fara.

Prilly mencoba menghubungi Zefaro tapi tak ada jawaban. Berkali-kali ia menghubunginya tapi tak juga ada jawaban. Ia akhirnya mengirimkan pesan dan menunggunya di ruang tamu.

Cukup lama Prilly menunggu dengan sabar, hampir setengah jam dan akhirnya ponselnya kembali berdering. Ada nama Zefaro di layar flat itu.

"Kamu sudah ada di bawah ya? Tunggu aku turun sekarang," ucap Ali yang langsung bicara saat teleponya diangkat.

Ali ke luar ruangan, dan berpapasan dengan Al yang tidak sengaja ditabraknya. Berkas yang dibawa Al jatuh berhamburan.

"Kamu ngapain sih, Li. Kok lari-lari gitu?" tanya Al.

"Meyra sudah dateng dari tadi, Om. Tapi ditahan sama Fara. Soalnya dia nyarinya nama Zefaro," ucap Ali menjelaskan.

"Ya itu sih salah kamu. Kenapa pakai nama samaran segala. Ini kan kerja bukan kenalan sama cewek. Udah biar om yang nemuin Meyra. Ini kamu foto kopi semua, abis itu bawa lagi ke ruangan Om. Nanti kita ketemu di sana. Awas susunannya jangan sampai salah." Al berlalu pergi setelah memperingati Ali. Al turun ke lobi dan menemui Meyra.

Al melihat seorang perempuan duduk sendiri menunggu di ruang tunggu. Ia yakin jika itu Meyra.

"Permisi, apa Anda Meyra?" tanya Al pada wanita yang sedang menunduk memainkan ponselnya. Meyra mendongakkan kepalanya. "Loh, Meyra itu kamu toh," tunjuk Al.

Dia sudah mengenal wanita yang di hadapannya itu. Prilly yang memakai nama Meyra berdiri dengan senyum menawan, dia langsung menyapa dan menjabat tangan Al.

"Pak Al, iya saya. Maaf saya nggak tahu kalau ini perusahaan Bapak," ucap Prilly sungkan.

"Nggak apa-apa. Saya nggak nyangka ternyata Meyra itu kamu, sejak awal saya yakin naskahmu layak terbit di pasaran. Jadi saya berani menawarkan kerjasama sama denganmu waktu itu."

"Saya juga sebenarnya nggak percaya kalau tulisan saya lolos di penerbit besar seperti ini."

"Kalau begitu, mari ikut keruangan saya." Al mempersilakan Prilly untuk berjalan lebih dulu ke lift.

Walapun jarak memisahkan, tapi jika takdir memang menginginkan. Sejauh apa pun raga berpijak, sedekat itu pula hati mendekap. Tak ada yang bisa memungkiri jika Sang Kuasa telah berucap.

########

Ebie

Mohon maaf jika kalian menunggu lama. Kolaborasi ini sekarang yang mengerjakan dua orang. Saya dan Ebie. Jadi, mohon maaf atas keterlambatan update yang sampai berbulan-bulan. Hehehe

Terima kasih atas vote dan komentarnya. Mohon bersabar menunggu ya?😊☺🙏😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top