Perang Dingin
Matahari menampakkan sinarnya. Mentari pagi menerangi bumi bersamaan semilir angin yang berhembus kencang. Ali yang pagi ini baru ingin berangkat ke sekolah melewati Lika yang sedang sarapan bersama Selvi sementara Azka sudah berangkat lima menit yang lalu.
"Ali, sarapan dulu, Nak." Lika menyapa Ali ramah yang di balasnya dengan tatapan jengah.
"Nggak akan. Nanti kamu racuni aku, aku mati lalu kamu mengambil seluruh harta Papa, aku nggak ikhlas!!!" Ali berpikiran negatif padahal Lika sama sekali tak ada niat jahat, menyayangi Ali sama seperti dengan Selvi tak ada beda.
"Kak Ali kok kayak gitu. Mama sayang sama Kakak, mana mungkin mau membunuh Kakak, ayolah Kak, kita makan bareng. " Selvi menarik tangan Ali yang di kibaskannya kasar sampai membuat sendok yang ada di piring Selvi jatuh ke lantai.
"Sudah Sayang. Mungkin Kak Ali mau makan di Sekolah. Nanti dia makan bareng kita kok suatu saat." Lika melirih. Sudah lama ia berusaha mengambil hati Ali, tapi selalu tak ada hasil. Lika harus banyak mengurut dada jika harus berbicara dengan anak tiri yang tak pernah menganggapnya ada.
Ali berlalu tanpa menggubris ucapan Lika, Selvi juga ikut sedih saat Ali sudah pergi Lika menangis. Ali selalu saja berpikir negatif tentang dirinya padahal Lika tulus menyayangi Azka, tak pernah ada niat merebut Azka dari Ali. Kalau biasanya ibu tiri itu jahat, kejam, suka menghukum, tapi Lika jauh dari kata itu semua.
"Sudah ya, Ma. Jangan nangis." Selvi menghapus air mata Lika yang berlinangan lalu memeluknya.
***
Prilly menyusuri koridor sekolahan dengan tas yang bertengger di kedua bahunya sambil bernyanyi-nyanyi riang. Pagi hari ia sambut dengan senyuman agar mengawali hari menjadi lebih baik. Langkahnya terhenti ketika melihat Ali duduk di bawah pohon rindang masih dengan buku bacaan di tangannya. Prilly berdiri menatap Ali seraya tersenyum membayangkan jika bisa dekat dengan Ali betapa ia bahagia. Lalu, lamunan Prilly terhapus seiring kedatangan Rana yang mengejutkan.
"Heh. Ngelamun aja lo, kenapa masih di sini?" Rana menepuk pundak Prilly hingga ia memutar bola matanya malas.
"Rana. Lo ngagetin aja sih, gue lagi liatin pangeran es gue baca buku, tuh." Prilly menunjuk Ali dengan dagunya membuat Rana mengikuti arah pandang Prilly.
"Pangeran es, nggak mau di liatin sama lo. Udah yuk masuk kelas, mau sampai lebaran monyet berdiri di sini terus." Rana menarik tas Prilly untuk mengikut langkahnya menuju kelas sampai membuat tubuh Prilly rasa setengah melayang.
"Rana. Lepas nggak, lepas!!!" Prilly meronta, hal itu sontak membuat Rana terbahak melihat ekspresi lucu dari Prilly.
"Ketawa lo senang. Seenak jidat lo tarik-tarik gue."
"Yee, maaf. Habis kalau nggak gitu, mana mau lo pergi ninggalin itu pange ...." Prilly menyikut siku Rana untuk menghentikan ucapannya seiring dengan langkah Ali yang melewati mereka masuk ke dalam kelas.
"Ooo ... kamu ketahuan." Prilly melototkan matanya pada Rana yang mengejek Prilly karena takut ketahuan kalau pangeran es yang di maksud adalah Ali.
"Selamat pagi." Bu Ira menyapa muridnya dengan senyum yang minim.
"Pagi," sahut mereka serentak.
"Ibu mau bagi kelompok dua orang untuk tugas biologi. Kalian kerjakan di halaman 2 dengan teman kelompok kalian."
"Semoga kita satu kelompok ya, Rana," ucap Prilly penuh harapan.
"Aamiin." Sahutan Rana mengaminkan.
"Rana sama Lulu, dan terakhir Ali sama Prilly," ujar Bu Ira menyebutkan pasangan kelompok.
"Oh, my god. Gue sama Ali, Ran. Gue sama Ali." Prilly kegirangan mendengar namanya di pasangkan dengan Ali, namun si pangeran es justru sebaliknya.
"Ciyeeee ... ada yang kesenengan nih, tapi yang di belakang diam aja, noh." Prilly berbalik badan melempar senyumnya pada Ali yang menatapnya datar.
"Rana, kenapa sih dia cuek banget sama gue?"
"Sabar aja, jodoh nggak ke mana-mana," ujar Rana sok bijak.
Bel istirahat sudah berbunyi, Prilly tergugup ketika Ali mendatanginya berdiri di depan meja. Rana yang tak mau ikut campur meloloskan diri pergi ke kantin meninggalkan Prilly yang seketika panas dingin di tatap Ali sedemikian dekat.
"A ... a ... li, ada apa?" Prilly terbata-bata, sosok pria di hadapannya sama sekali berwajah datar tanpa ekspresi.
"Ikut gue pulang sekolah, kerjain tugas di rumah gue aja." Kalimat itu cukup menyentak hati Prilly yang menghangat.
"I ... ya." Ali berlalu tak lagi menanggapi Prilly, meski begitu ia sangat senang luar biasa bisa mendengar suara dari Ali yang kasar, namun mampu membuat jantungnya serasa ingin melompat. Apalagi bulu matanya yang lentik membuat Prilly bertambah kesemsem.
"Mami, Papi, Ebie, oh my God tolong pegangi Prilly mau jatoh." Prilly menjerit kesenangan dalam hati seraya menghempaskan tubuhnya di sandaran kursi sekolah.
Sepulang sekolah, Ali menunggu Prilly di parkiran. Rasanya lutut Prilly bergetar saat mendekati Ali selangkah lebih maju. Prilly menarik nafas dalam berharap jantungnya bisa berdetak normal ketika nanti Ali memboncengnya. Prilly berdiri di depan Ali gugup yang menatapnya tajam tanpa senyuman.
"Naik," ujarnya dingin.
"Dasar pangeran es, nggak ada lembut-lembutnya. Awas nanti lo, gue cairin baru tahu rasa." Prilly menggumpat dalam hati.
Ali sudah menaiki motor ninjanya menunggu Prilly naik. Hati Prilly berkecamuk di dalam, rasa mulai campur aduk layaknya nano-nano. Prilly naik ke boncengan Ali dengan memegang pundaknya pertama kali dan itu rasanya mau terbang melayang bikin darah berdesir di sekujur tubuh. Prilly duduk dengan nafas yang berulang kali di hirupnya agar dapat menetralkan jantung yang memacu cepat. Ali tak perduli, ia langsung melajukan motornya dengan kecepatan tinggi membuat Prilly refleks melingkarkan tangannya di perut Ali dengan hati yang semakin kejang rasanya.
"Ya Allah tolong Prilly, nafas udah engap-engap butuh oksigen. Ahhhhhhh ...." Prilly terus menjerit dalam hati.
Ali sempat menunduk ke bawah melihat tangan Prilly yang bertengger nyaman di atas perutnya. Ali tak acuh, ia kembali fokus membelah jalanan menuju rumah. Sesampainya di kediaman Ali, Selvi yang juga baru pulang sekolah menengok ke arah suara motor yang baru datang. Selvi sempat tercengang melihat ada Prilly di boncengan Ali terlebih tangannya memeluk pinggang sang kakak, mesra.
"Kak, Prilly." Selvi mendekati Prilly yang turun dari motor Ali seraya menyapa ramah.
"Hai, Selvi." Ali menatap kedua perempuan itu jengah, lalu masuk ke dalam setelah meletakkan helmnya di atas kaca spion.
"Kok, Kak Prilly bisa sama Kak Ali?"
"Iya, jadi Kakak sama Kak Ali satu kelompok di tugas Biologi Ibu Ira." Selvi menyahut dengan ber-oh-ria.
"Ayo Kak, masuk!" Prilly mengikuti Selvi dari belakang masuk ke dalam rumah yang bak istana.
Prilly mengedarkan pandangannya pada sekeliling, ia mendapati sebuah foto yang terpajang di ruang tamu, namun tak ada Ali di sana hanya ada Selvi dan kedua orangtuanya. Aneh. Prilly mengerutkan dahi saat Ali tak di dapatinya di foto itu.
"Ma, kenalin ini Kak Prilly." Selvi menarik tangan Lika ke ruang tamu lalu mengenalkannya pada Prilly.
"Cantik. Kenalkan saya Lika, ibu tirinya Ali." Prilly menjabat tangan Lika dengan perasaan sedikit kaget pasalnya orang yang sedang ada di hadapannya ini bukanlah ibu kandung dari Ali.
"Prilly, Tante. Teman sekelas Ali di sekolah." Lika manggut seraya tersenyum.
Selvi mengajak Prilly duduk di ruang tamu selama menunggu Ali mengganti bajunya, lalu Lika pergi ke dapur membuatkan minum. Prilly merasa keluarga Ali menyambutnya sangat baik, tapi kenapa Ali tidak. Justru Ali seratus delapan puluh derajat berbeda dari sikap mereka dan Prilly baru tahu jika Ali memiliki ibu tiri.
"Buka bukunya." Ali menyentak kedua perempuan yang sedang asyik mengobrol, Selvi dan Prilly.
"Kak, aku ke kamar dulu ya." Selvi langsung tak enak setelah melihat ke arah Ali yang memandangnya tak suka jika masih berada di ruang tamu.
"Kamu tahu jawaban yang ini?" Prilly menunjuk buku biologinya dengan pulpen lalu bertanya pada Ali yang menyandarkan tubuh di depan sofa sambil fokus menatap layar ponselnya tanpa mendengarkan Prilly berucap.
"Ali." Prilly memanggil hati-hati.
"Lo cari aja pasti ada jawabannya," tukasnya tak acuh.
Dia benar-benar pangeran es, tak salah Prilly menjulukinya dengan nama seperti itu. Bukannya mengerjakan tugas ia malah asyik dengan ponselnya. Untung Prilly suka, kalau tak suka mungkin ia akan naik pitam melihat tingkah Ali yang sedingin salju.
"Kapan sih, Li? kamu berubah. Sedikit aja mau berteman denganku, pasti aku sudah senang." Prilly melamun sembari membatinkan sifat Ali yang tak acuh.
Memang tak ada yang dapat merubah sifat seseorang kecuali orang itu sendiri. Setidaknya, Prilly tetap bersabar menantikan Ali untuk mau tersenyum padanya bahkan berbicara lebih dari sekadar teman.
##########
Selvi
Yeaaaaa ... akhirnya bisa lanjut ya? Nih part 7 kelanjutannya yang dulu pernah ada di tempat Selvi. Selamat membaca dan menikmati kelanjutannya ya?
We Love you all 😘😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top