Pencuri Hati

Pikiran Prilly menerawang teringat sosok Ali yang mencuri hatinya, pena yang menari-nari di atas kertas diarynya, Prilly hentikan. Ia putar pena itu dekat dengan kepalanya sembari tersenyum tak jelas membayangkan betapa tampannya Ali. Lamunan Prilly terhenti seiring ketukan Ebie yang mengantarkannya makanan, kebetulan Prilly belum makan siang ini.

"Non, ini Ebie bawakan makanan." Teriakan Ebie menggelegar di luar kamar, segera Prilly bergegas membukakannya pintu.

"Iya, Bi. Ayo masuk." Ebie mengernyitkan alisnya mendengar perintah Prilly yang menyuruhnya masuk.

"Nggak Non, bukan kapasitas Ebie masuk ke kamar Non Prilly." Prilly tertawa melihat wajah konyol Ebie, sudah lama berkerja di rumah, tapi masih saja malu masuk ke dalam kamar majikannya padahal sudah mendapat ijin.

"Bi, udah deh. Kan Prilly yang nyuruh, ayolah. Kita makan sama-sama." Dengan ragu Ebie melangkah masuk sambil membawa nampan dan setelahnya menutup pintu kamar Prilly walaupun tak rapat.

Ebie menuangkan Prilly air putih lalu menyerahkannya sambil tersenyum. Bakso yang tadi dibawanya ia aduk kemudian mencampurkan antara kuah ke dalam isinya. Begitu telaten Ebie melayani Prilly, itu karena sudah hampir lima tahun lamanya Ebie berkerja di rumah Hesty sebagai pembantu rumah tangga. Prilly juga sudah terbiasa ngobrol berdua dengan Ebie yang Prilly anggap sebagai kakaknya sendiri.

"Bi, pernah suka sama orang nggak?" Wajah Ebie tampak berpikir sejenak mengingat-ingat pernahkah ia suka dengan seorang pria.

"Pernah kayaknya Non, tapi kan sekarang Ebie kasian Non, pacar Ebie jauh di kampung." Ebie teringat kekasihnya di kampung yang ia tinggal sementara berkerja di ibu kota.

"Nggak kangen, Bi?" Prilly menanyai Ebie sambil memotong pentol bakso yang ada di dalam mangkoknya.

"Kangen pastilah Non, tapi nggak masalah. Kan Ebie sedang mencari sebongkah berlian di sini," ujarnya lucu.

"Ada-ada aja deh, Bi. Bi, buka mulutnya Prilly suapin, ya." Dengan terkesiap Ebie menerima suapan Prilly yang tersenyum manis padanya.

"Non, kenapa sih senyum-senyum terus?" Ebie heran saja melihat majikannya yang senyum tiada henti, murah sekali senyumnya hari ini seperti tak ada hari esok untuk tersenyum.

"Dia yang buat aku tersenyum." Tanpa sadar Prilly berucap dengan pikiran menerawang ke Ali yang tiap menit terlintas di otaknya.

"Dia siapa, Non?" Ebie yang tingkat keingintahuannya tinggi langsung menyelidik.

"Ah ... bukan siapa-siapa." Prilly kembali tersenyum, rasanya belum bisa berbagi cerita yang satu itu dengan Ebie.

Selesai Prilly makan, Ebie kembali ke dapur mengerjakan pekerjaan yang lain. Sementara Prilly di dalam kamarnya masih saja terbayang wajah seorang Zefaro Aliandra Putra alias Ali. Otak Prilly seakan tak bisa memikirkan yang lain kecuali satu nama itu, Ali. Sedari tadi pikirannya di penuhi sosok Ali hingga membuat Prilly tersenyum sepanjang hari.

Maklumlah, jika sedang menyukai seseorang biasanya senyum akan terlihat murah bahkan di obral ke segala penjuru. Prilly kembali mengambil buku diarynya yang bersampul hijau, ia menuliskan sesuatu di sana. Kecintaan Prilly terhadap dunia menulis sudah ia kembangkan semenjak duduk di bangku SMP sampai sekarang. Baginya, menulis adalah obat hati yang bisa mencurahkan segala perasaannya melalui sebuah kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat indah yang nyaman untuk di baca.

Wajahmu selalu terbayang di benakku. Entah kenapa dan mengapa kamu mampu menghiasi pikiranku dengan namamu. Pandangan matamu yang pertama kali kutatap, ketika sosokmu berdiri gagah di depan kelas memperkenalkan diri sebagai murid baru, aku terpesona. Kamu mampu memporak-porandakan hatiku hanya dengan satu tatapan maut. Ketika kudengar indahnya suaramu, jantungku berdetak tak karuan. Rasanya aku ingin rubuh saat itu juga, aku tak kuat menahan getarannya. Getaran yang berbeda, yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Kuingin kamu tahu, rasa ini kuberikan untukmu, tulus tanpa syarat.

Prilly menutup buku diarynya dengan perasaan tak menentu. Ia takut jatuh dan terluka karena rasa yang ada di hatinya. Tapi, itulah resiko ketika rasa berbeda menyambangi hati, meski yang dituju belum merasakannya juga. Rintik hujan masih terlihat dari kaca jendela kamar Prilly. Rasa ngantuk mulai menyergap Prilly, segera ia naik ke atas kasur lalu menarik selimutnya sampai sebatas dada kemudian berdoa dan mulai memejamkan mata menuju indahnya bunga tidur.

***

"Maukah kau menjadi kekasihku Meyra Prilly Natasya?" Ali berlutut di hadapan Prilly sambil memegang tangannya lalu mengecup dinding tanganya penuh sayang.

"Iya, Li. Aku mau." Ali berdiri lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Prilly hingga hidung mancung mereka bergesekkan, bibir mereka tinggal satu centi lagi akan bertautan. Prilly menutup matanya rapat merasakan nafas Ali yang menyapu wajahnya semakin dekat dan dekat.

"Non. Bangun, Non."

Gubrak!

Prilly terguling ke bawah kasur bersamaan dengan suara ketukkan pintu Ebie dari luar. Rupanya Prilly bermimpi. Mimpi yang indah, sampai membuatnya tak sadar berguling ke lantai. Prilly mengerjapkan matanya perlahan sembari mengusap pantatnya yang sakit akibat terhentak di lantai. Dengan sisa tenaganya Prilly bangun membukakan Ebie pintu, masih dengan wajah kusutnya.

"Ya Allah, Non. Ini udah jam setengah tujuh. Buruan mandi Non, nanti telat." Prilly malah melamunkan mimpinya yang ia harapkan menjadi nyata.

"Non, Non." Ebie melambaikan tangannya di depan wajah Prilly membuatnya kembali tersadar.

"Eh, iya Bi. Aku mandi dulu ya." Ebie menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Prilly.

Selesai mandi, Prilly tergesa memasukkan buku pelajarannya ke dalam tas. Waktu Prilly hanya tersisa satu jam, jika tidak ia pasti akan terlambat masuk ke sekolah dan tentunya akan mendapat hukuman. Ia menuruni anak tangga sampai ke bawah dan setengah berlari menghampiri Hesty dan Hans, Mami dan Papinya yang sedang sarapan.

"Prilly, ayo sarapan dulu sayang." Hesty ingin mengambilkan Prilly nasi goreng, namun ditahannya.

"Nggak usah, Mi. Prilly udah telat. Papi, ayo berangkat." Hans menggelengkan kepala melihat Prilly gelisah.

"Mami, Prilly berangkat ya." Prilly mencium punggung tangan Hesty kemudian mencium pipinya.

Setelah itu, Prilly berlari duluan ke dalam mobil menunggu Papinya yang masih memasang dasi. Rana sedari tadi sudah mengirimkan pesan pada Prilly menanyakan di mana ia sekarang kenapa belum muncul. Papi Prilly yang sudah masuk ke dalam mobil, dengan kecepatan cukup tinggi melajukan mobilnya ke sekolah Prilly. Syukurlah dalam waktu duapuluh menit, Prilly sampai di gerbang sekolah.

"Papi, makasih ya. Prilly masuk dulu." Diciumnya pipi Papi Hans yang hanya bisa tersenyum melihat watak putrinya.

Prilly berjalan tergesa-gesa menuju kelasnya, tinggal satu menit lagi pintu kelasnya akan di kunci Ibu Ira yang kejam itu. Dan langkah Prilly kurang cepat, sesampainya di muka pintu kelas, pintunya sudah tertutup rapat. Ketika Prilly menghela napas lelahnya, ia merasa seseorang menabrak tubuhnya hingga hampir jatuh. Ali. Ternyata yang menabraknya adalah Ali. Jantung Prilly mulai berdetak tak normal jika berdekatan dengan Ali dan fakta lainnya kenapa Ali berdiri di sampingnya, itu karena Ali juga terlambat sama seperti Prilly.

"Lo telat?" Tanyanya ketus.

"Iya. Nih jaket lo, gue kembaliin." Meski gugup, Prilly memberanikan diri menyahut Ali yang menatapnya dingin. Tanpa berucap apa pun, Ali mengambil jaketnya di tangan Prilly.

"Assalamualaikum, Bu Ira." Prilly berusaha mengetuk pintu kelasnya. Dan tak lama terdengar suara pintu di dorong. Ibu Ira muncul dengan wajah garangnya menatap Ali dan Prilly bergantian.

"Kenapa kalian telat?"

"Maaf, Bu. Prilly bangun kesiangan," sahut Prilly jujur.

"Kamu Ali, kenapa kamu terlambat?"

"Maaf, Bu. Tadi ban motor saya kempes." Prilly melirik Ali sekilas, rasanya begitu bahagia bisa berdekatan dengan lelaki yang ia puja.

"Kalau begitu, kalian lari lapangan sebanyak dua puluh kali. Setelah itu, baru boleh masuk pelajaran saya," titahnya kejam.

"Baik, Bu," ujar Ali menyahut.

"Tapi, Bu." Sementara Prilly protes merasa hukuman itu terlalu berat untuknya.

"Nggak ada tapi-tapian. Lakukan sekarang!" Dengan terpaksa Prilly membuka tasnya dan menaruh di depan kelasnya lalu menguntit Ali berjalan dari belakang.

"Kak Ali." Terdengar suara seseorang berteriak memanggil Ali ketika mereka berjalan ke tengah lapangan.

"Kak Ali, di hukum?" tanya seorang gadis yang memanggil Ali dengan sebutan kakak membuat Prilly mengerutkan dahinya.

"Jangan panggil gue kakak. Karena gue bukan Kakak lo," pekik Ali pada gadis itu membuatnya menutup mata ketika wajah Ali berteriak mendekatinya.

"Maaf, lo siapanya dia?" Setelah Ali pergi meninggalkan Prilly duluan untuk berlari, dengan penasaran Prilly menanyai gadis itu ada hubungan apa dengan Ali sampai memanggilnya Kakak.

"Kenalin Kak, aku Selvi. Adik tirinya Kak Ali." Selvi mengulurkan tangannya memperkenalkan diri yang disambut Prilly ramah.

"Aku, Prilly. Teman sekelasnya Ali. Udah ya, jangan sedih. Mungkin dia lagi kesal karena di hukum. Aku ke sana ya."

"Iya Kak." Selvi berusaha mengerti sikap Ali yang sudah terbiasa bertingkah seperti itu baik di rumah maupun di luar.

Selvi Raini. Gadis berusia lima belas tahun itu adalah adik tiri Ali yang juga bersekolahan di SMA yang sama. Setelah berbincang sedikit dengan adik tiri Ali. Prilly langsung ikut berlari memutari lapangan sebanyak dua puluh kali. Peluh Prilly bercucuran membasahi seragamnya. Matahari tepat berada di titik tengah lapangan dan sedang bersinar dengan teriknya.

Ali sudah berputar lima putaran, sementara Prilly baru dua putaran kalah cepat dengan Ali tiga putaran. Mata Prilly mulai berkunang-kunang, perutnya yang kosong membuat kepalanya pusing. Dengan sekuat tenaga yang tersisa Prilly tetap melanjutkan larinya sampai di putaran ke sepuluh.

Prilly terhenti sejenak, napasnya tersenggal-senggal. Ali yang melihat Prilly di depannya kelelahan, hanya melewatinya tak acuh dan terus berlari menyelesaikan hukumannya. Prilly tak tahan untuk meneruskan hukumannya, Prilly merasa tenggorokkannya begitu kering dan kepalanya menjadi pusing.

"Hei, kenapa?" Ali menangkap tubuh Prilly yang tumbang ke belakang, karena pingsan.

Ali yang panik langsung mengangkat tubuh Prilly ke UKS. Direbahkannya gadis bertubuh mungil itu di ranjang UKS. Ali memandangi wajah Prilly yang memucat dengan perasaan tak acuhnya. Tak ada rasa iba sedikitpun melihat Prilly terbaring lemah tak berdaya di atas kasur dengan mata terpejam rapat.

############

Celpi

Sabar ya, yang sudah pernah membaca, tunggu sampai part 6 lewat. Hahahahaha
Siap-siap dulu, mengumpulkan tenaga untuk baper berjamaah. Wkwkkwkwkwk lol😅

Cuuuussss mau bokep dulu ah. Selamat malam dan selamat tidur buat semuanya. Cipok penghantar bobo.😘💋💋💋💋💋

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top