Mengagumi Tanpa Balasan
"Meyra Prilly Natasya, apakah kamu mau jadi pacarku?" Ali berteriak keras mengungkap isi hatinya di tengah lapangan.
Ratusan pasang mata memperhatikan Ali dan Prilly yang ada di tengah lapangan basket SMA Pelita Bangsa. Ali memegang setangkai mawar putih, berlutut di depan Prilly. Pipi merona Prilly menandakan dia kini sedang menahan malu. Hati Prilly berbunga-bunga dan di dalam perutnya seakan banyak kupu-kupu yang berterbangan hingga perutnya terasa geli seperti di gelitiki.
"Kalian sudah paham?" Suara keras ibu Ira menggelegar mengusik khayalan Prilly tadi.
Seketika Prilly tersadar dari lamunannya. Selama pelajaran, Prilly tak bisa berkonsentrasi secara penuh. Setiap kali Prilly melihat wajah menyeramkan ibu Ira, yang terbayang justru wajah Ali. Begitu juga kala dia melihat whiteboard lebar di hadapannya. Dalam waktu sekejap Ali sudah memenuhi pikirannya.
"Baiklah anak-anak, jangan lupa tugas lusa di kumpulkan ya. Saya tidak mau kalian punya alasan lupa tidak mengerjakan. Jika itu terjadi, akan ada hukuman terdidik bagi kalian," titah Ira.
"Baik, Buuu ...," jawab semua murid yang ada di kelas itu serentak.
Bu Ira merapikan buku-buku pelajaran yang dibawanya dan bergegas meninggalkan kelas, karena bel istirahat sudah berbunyi nyaring.
"Ran, emangnya Bu Ira ngasih tugas apa?" tanya Prilly yang menahan kegiatan Rana memasukan bukunya ke dalam tas.
"Lah, emangnya lo nggak denger apa yang dibilang Bu Ira tadi?" Prilly hanya menjawab dengan gelengan kepalanya.
"Ya Allah, Prilly, apa sih yang lo pikirin dari tadi. Tuh kerjain halaman 50 bagian 1, 2, 3." Rana menyodorkan buku Biologi yang belum sempat di masukkan ke dalam tas.
Rana menunjuk mana saja yang harus di kerjakan oleh Prilly. Tapi sayang, Prilly sama sekali tak memperhatikan Rana, matanya justru asyik mengikuti langkah kaki yang membawa Ali keluar dari kelas mereka. Rana yang merasa tak di dengarkan menutup bukunya sedikit kasar.
"Lihatin aja terus sampai lo sukses, capek gue ngomong sama lo. Udah ah, gue mau ke ruang redaksi, udah di tunggu sama yang lain." Rana pergi meninggalkan Prilly yang masih diam di tempatnya.
"Rana tunggu, ikutttt ...." Prilly pergi berlalu menyusul Rana yang lebih dulu keluar.
Prilly dan Rana berjalan beriringan. Prilly masih memikirkan apa yang akan di jadikannya tema minggu di redaksinya nanti. Lagi-lagi Prilly hanya bisa terdiam saat sosok yang perlahan mulai di kaguminya melintas di hadapan mereka. Ali, dia orang pertama yang berhasil membuat Prilly jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.
"Cinta, iya cinta, tema kita minggu ini tentang cinta. Remaja seusia kita saat ini pasti lagi indah-indah merasakan apa itu cinta." Pandangan Prilly tak lepas dari sosok Ali yang diam berdiri mematung di pinggir lapangan basket dengan kedua tangan terlipat di depan dadanya.
Rana mengikuti arah pandang Prilly yang sejak tadi tak mendengarkan saran yang Rana berikan.
"Masya Allah, itu mah yang ada lo yang lagi jatuh cinta. Ayo buruan udah di tunggu anak-anak nih." Rana menarik Prilly paksa.
Tak ada yang bisa memungkiri hati saat Dewi cinta mulai melepaskan panah asmaranya kemana pun dia mau. Jika busur cinta sudah melesat ke jantung hati, siapa yang dapat menghindari? Biarkan cinta itu tumbuh dan berkembang di dalam sanubari.
Saat Prilly dan Rana masuk ke ruang redaksi, tak sengaja mata Ali menoleh ke arah sana. Ali melihat punggung Prilly dan Rana yang sudah di ambang pintu ruang redaksi. Ali yang memang bersikap tak acuh dan dingin tak memperdulikan hal itu. Dia menganggap hal itu biasa saja.
"Woi Bro, lo anak baru ya?" sapa Nanang ketua tim basket menepuk bahu Ali dari belakang.
"Iya," jawab Ali datar dan dingin.
"Lo hobi main basket nggak? Kebetulan tim sekolahan kita sedang kosong satu."
Ali tampak berfikir sejenak, mungkin dari dia bermain basket bisa menghilangkan kebosanan di sekolahan itu dan bisa lebih banyak teman.
"Oke, boleh." Nanang tersenyum manis lalu merangkul Ali ke tengah lapangan.
"Hai, guys ... kenalin dulu ini Ali tim kita yang baru," seru Nanang memperkenalkan Ali kepada timnya.
"Li, kenalin tim basket kita, itu Dion, Rangga, Imanuel, Yongki." Nanang menunjuk satu per satu orang yang sedang berlatih di lapangan.
Ali melambaikan tangan di balas teman barunya yang baru saja Nanang perkenalkan tadi.
***
Hujan lebat mengguyur ibu kota siang ini. Waktunya para murid pulang sekolah, justru hujan semakin lebat. Membuat para siswa harus menunggu hujan agar sedikit reda.
"Pril, gue duluan ya? Itu gue sudah di jemput. Apa lo mau bareng gue?" tawar Rana saat mobil jemputannya sudah terlihat.
"Lo duluan aja Ran, gue tunggu Mami. Kasihan kalau nanti Mami datang gue nggak ada," tolak Prilly halus.
"Beneran nih gue tinggal sendiri nggak papa?" tanya Rana memastikan.
"Iya Rana sayang ... gue nggak papa. Sudah sana kasihan Tante nunggu lama."
"Gue duluan ya Pril? Hati-hati." Rana berlari kecil memakai tasnya untuk melindungi diri dari air hujan.
"Dadaaa Prilly ...." Rana melambaikan tangannya setelah dia masuk ke dalam mobil.
Prilly tersenyum sangat manis membalas lambaian tangan Rana. Setelah mobil Rana tak terlihat lagi Prilly menyapu pandangannya ke seluruh penjuru. Sekolahan sudah sepi, hanya terlihat satu dua orang yang berlalu lalang. Prilly mengambil iphone-nya lalu mengirim pesan singkat kepada maminya. Saat Prilly sedang mengetik, dari ekor matanya Prilly menangkap ada seseorang berdiri di sampingnya.
"Mami ... jantung aku mau lepas lagi," pekik Prilly dalam hati saat menyadari jika yang ada di sampingnya adalah lelaki pujaannya.
Tubuh Prilly kaku dan jantungnya berdetak deg deg ser. Prilly menunduk tak berani menoleh ke samping. Namun Prilly mencuri pandang dari ujung matanya.
Saat mereka sedang menunggu hujan reda, ada sebuah motor melaju cepat hingga genangan air yang ada di hadapan mereka menciprat hingga mengenai seragam Ali dan Prilly.
"Woiy, sialan lo!" umpat Ali berniat mengejar orang itu namun terhalang oleh hujan yang masih lebat.
Prilly mengibaskan bajunya yang terkena cipratan air. Ali yang melihat baju Prilly basah hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya lalu melepas jaketnya.
"Ini pakai." Ali menutup tubuh Prilly dengan jaketnya lalu pergi begitu saja meninggalkan Prilly yang masih terbengong.
Prilly masih mematung di tempatnya, memperhatikan Ali menaiki motor Ninja RR 125 keluaran terbaru. Air yang masih rintik-rintik kecil tak menghalangi Ali untuk pulang. Mata Prilly tak lepas memandangi sosok Ali yang terus melaju sampai menghilang dari pintu gerbang sekolah.
Tangannya tiba-tiba memeluk tubuhnya sendiri, memejamkan mata, merasakan aroma tubuh Ali yang tertinggal di jaket yang di kenakannya. Rasanya begitu nyaman, bahkan Prilly bisa mengira-ngira seperti apa rasanya di peluk laki-laki yang sudah memporak-porandakan hatinya.
"Aaaahhhh ... Mami, tolong aku!" Prilly berteriak sekencang mungkin, suaranya beradu dengan air hujan yang semakin deras. Hatinya berbunga-bunga, perutnya seperti di penuhi kupu-kupu indah yang menggelitik.
"Mami, aku bisa pingsan mendadak kalau kaya gini Mam. Tolong aku Mami." Prilly menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, memejamkan matanya kencang, dan berjingkrak-jingkrak girang.
***
Ali tiba di depan rumah megah yang menjadi tempatnya berlindung dari panas dan hujan. Bahkan di rumah ini Ali mendapatkan kasih sayang yang tulus dan apa adanya dari semua orang yang ada di dalam.
Ali memarkir motor ninjanya sembarang di teras rumahnya, dia berjalan santai memasuki rumah megah itu. Tubuhnya yang basah sudah membasai lantai rumahnya. Sisa-sisa air hujan tertinggal begitu saja.
Tanpa mengucap salam Ali beralih ke kamarnya. Tidak hanya di sekolah, di rumah pun sifat Ali yang pendiam dan dingin tetap di aplikasikannya. Ada beberapa alasan yang membuat dia seperti itu dan hanya dia yang tahu mengapa.
"Ali, kamu sudah pulang, Nak. Kenapa nggak nunggu hujan reda, kamu jadi basah semua kaya gini kan." Baru sampai anak tangga pertama Ali sudah di hadang oleh perempuan paruh baya yang tinggal di sana.
Ali hanya meliriknya dan tak berucap apa pun. Dia memang selalu tak acuh pada perempuan itu. Lika, perempuan yang selalu sabar menerima perlakuan Ali anak tirinya, walaupun seperti itu, dia tetap menyayangi Ali layaknya anak sendiri. Dia selalu berusaha membuat Ali merasa nyaman di dekatnya.
"Cepat ganti bajunya biar kamu nggak masuk angin. Nanti Mama siapkan teh hangat buat kamu ya." Mama Lika memegang lengan Ali yang basah.
"Nggak usah, nggak perlu." Ali melanjutkan langkahnya ke kamar dan meninggalkan mama Lika sendiri.
Mama Lika hanya bisa bersabar, apa pun yang terjadi Ali tetap anaknya, hanya saja dia tak lahir dari rahimnya sendiri. Tapi nalurinya sebagai seorang ibu tetap berjalan dari hati. Mama Lika tetap membuatkan segelas teh hangat untuk Ali dan akan membawanya ke kamar Ali.
***
Prilly tiba di rumah dengan taksi, maminya tak bisa menjemput karena tiba-tiba saja mobilnya mogok di jalan. Di depan rumah Prilly sudah di sambut Ebie yang dengan setia melayani apa yang di inginkan Prilly di rumahnya. Ebie menghampiri taksi dan membukakan pintu untuk Prilly, Ebie membawa payung agar nona mudanya itu tidak kebasahan karena hujan.
"Ayo Non." Ebie menunggu Prilly membayar supir taksi yang tadi di tumpanginya.
"Mami belum pulang, Bi?"
"Belum Non, tadi ibu bilang langsung ke bengkel, Non."
"Oh , yaudah aku ke kamar ya, Bi."
"Iya Non, nanti saya siapin makan siangnya buat Non Prilly."
"Iya, makasih ya Bi."
"Sama-sama Non."
Prilly masuk ke dalam kamarnya sedangkan Ebie kembali ke dapur menyiapkan makan siang untuk Nona mudanya.
Prilly duduk di depan meja rias. Melihat pantulan dirinya sendiri di cermin, masih dengan jaket Ali yang menempel di tubuhnya. Prilly mengusap kedua bahunya, senyum merekah di sudut bibirnya. Dia membuka laci dan mengambil buku diary kecil bersampul hijau yang menjadi teman setianya. Di ambilnya sebuah pena yang terselip di antara ring yang menjadi penyatu tiap lembaran kertas cerita hidupnya.
Pena itu di biarkan menari-nari indah di atas kertas putih kosong. Mulai di tulisnya apa yang sedang di rasakannya saat ini.
Matanya yang indah, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, bibirnya yang tebal. Ya Allah indah sekali goresan tangan Mu itu, aku sangat mengaguminya, tak ada yang paling indah dari apa yang memang Engkau kehendaki menjadi indah. Izinkan aku untuk tetap bisa mengagumi keindahan yang Kau titipkan padanya.
Prilly kembali menutup diarynya setelah menuliskan untaian kalimat yang hatinya mau. Dia lepaskan jaket itu dan di letakkannya di sandaran kursi.
Hati akan bergerak bebas saat dia belum menemukan apa yang dia inginkan. Tapi, hati akan bergerak perlahan jika dia memang sudah meyakini pilihannya, dan dia akan diam di tempat saat dia benar-benar yakin pada keputusannya.
########
Ebie
Hihihihih
Ternyata cuma mengkhayal. Wkwkkwkwkwk lol
Lamar deh Li, yang beneran melamarnya. 😂😂😂
Makasih ya yang sudah baca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top