LDR (Long Distance Relationship)
Tidak mudah mejalani LDR. Pasti akan banyak perdebatan dan timbul kecurigaan-kecurigaan yang memicu pertengkaran. Hal kecil saja dapat menjadi masalah.
LDR dalam pacaran adalah tanggung jawab saling menjaga perasaan meskipun tidak bertemu setiap hari. Meskipun pengertian LDR mudah dipahami, bukan berarti cinta jarak jauh ini mudah dijalani.
Ali mengacak rambutnya, dia mengembuskan napas kasar. Mora yang melihat, mengerutkan dahi.
"Kenapa sih?"
"Aku serba salah deh, Mi. Telat ngangkat telepon aja, Prilly ngambek. Lama balas chat, dia marah-marah. Bawaannya curiga mulu. Heran!"
Mendengar penjelasan Ali itu, bukannya iba, Mora justru terkikih.
"Dasar bocah, bocah!"
"Ngeledeeeek?" Ali mengerling tak suka.
"Enggak. Mami sudah melewati masa itu sama Om Al. Hal biasa kalau pacaran LDR-an."
"Tapi masa sih sampe curiga aku punya gebetan baru di sini? Aku tuh sibuk ngerjain skripsi, ngedit naskah, belum lagi kalau ngurusi event Penerbit Cahaya Cinta."
Farid yang mendengar ocehan Ali terbahak-bahak. "Liiiiii, Ali! Baru juga pacaran. Ribet amat sih!"
"Heeeeh, orang jomlo diem aja! Dilarang komen," sahut Mora.
Seketika Farid menutup mulutnya rapat dan mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Farid lalu kembali ke pekerjaannya.
"Itu hal wajar kalau lagi LDR-an. Mungkin juga karena Prilly belum mengerti kesibukanmu di sini. Atau bisa juga karena dia lagi PMS, bawaannya over thinking, penginnya marah terus, imbasnya ke kamu."
"Gitu ya, Mi?"
Mora manggut-manggut. "Udah, lanjutkan pekerjaanmu. Biar selesai tepat waktu."
"Om Al ke mana, Mi? Kok enggak kelihatan di kantor?" tanya Ali saat Mora ingin pergi dari hadapannya.
"Lagi meeting sama produser. Sepertinya ada salah satu judul novel kita yang memikat hatinya."
"Judul yang mana?" sahut Farid cepat, memutar kursinya menghadap Mora.
"Ada deh! Belum pasti. Entar aja kalau sudah fix dikabari, ya?"
"Yang jelas sih novel best seller. Iya, kan?" ujar Ali menatap Mora dan Farid bergantian.
"Bisa jadi!" timpal Farid menaik-turunkan kepalanya.
"Udahlah, kalian selesaikan pekerjaan hari ini." Mora melambaikan tangan, lantas pergi dari ruang kerja Ali dan Farid.
***
"Gue tuh kesel tahu, Ran!"
"Iya, iya, Prilly. Terus gue harus gimana biar lo enggak kesel lagi? Keselnya sama Ali, ngocehnya ke gue." Rana menggerutu karena setiap Prilly ada masalah dengan Ali, selalu dia menjadi wadah untuk mengomel.
"Kirimi gue cokelat kek, Ran! Kalau lagi gini gue penginnya ngemil."
"Jangaaaan, entar timbangan nambah, pulang-pulang ke sini kayak gajah bengkak, Ali lihat lo takut, terus dia kabur gimana?" Rana cekikikan dari ujung telepon. Dia hanya ingin menghibur sahabatnya itu.
"Ah, lo mah gitu amat sih!"
"Sebenarnya itu cuma perasaan lo aja kali, Pril. Gue yakin Ali enggak akan aneh-aneh kok di sini. Dia itu lagi sibuk mungkin."
"Sibuk apa sih dia, sampai aku telepon enggak angkat. Chat balasnya lamaaaa banget. Kadang ditelepon enggak bisa slow, kayaknya gerak mulu badan dia. Ish!"
"Tuh kaaaan, lo harusnya lebih jernih berpikirnya. Tandanya kalau begitu Ali sedang sibuk. Kemarin sih gue enggak sengaja ketemu Ali di minimarket. Dia lagi nganterin adiknya belanja. Enggak sempet ngobrol banyak, soalnya gue buru-buru juga."
"Hubungan dia sama adeknya emang sudah membaik, ya? Tumben dia mau nganterin Selvi?"
"Setahu gue sih, sejak bokapnya meninggal, hubungan Ali sama adiknya fun-fun aja. Justru kayaknya sekarang kalau gue enggak salah info nih, nyokap tirinya kerja di kantor apa gitu! Ali kuliah sambil kerja juga buat meringankan beban nyokapnya kali, Pril! Lo bayangin aja, enggak mungkin dong Ali tutup mata sama keadaan keluarganya sekarang."
Seketika Prilly terdiam, ada hal yang merasuk ke dalam pikirannya.
"Jadi, selama ini Ali menjadi tumpuan keluarganya, gitu maksud lo, Ran?"
"Secara enggak langsung sih, iya menurut gue. Tapi enggak tahu juga sih, Pril. Soalnya nyokap tiri dia kan juga kerja. Ali sekadar membantu, meringankan saja."
"Kayak gitu mau ngajakin gue nikah kalau dah lulus kuliah!"
"Emang Ali ngomong gitu sama lo?"
"Iya!"
"Niat Ali baik kali, Pril! Dia ngajak nikah lo bukan berarti mau ngajakin hidup susah. Kalau gue lihat, Ali ini orangnya gigih kok."
"Ran, gue sekarang berusaha berpikir realistas! Hidup berkeluarga itu enggak cukup dengan cinta. Ada yang namanya kebutuhan primer dan sekunder. Nah, minimal deh, bisa enggak kami nanti mencukupi kebutuhan primer?"
"Kalau lo sama Ali yakin bisa, kenapa enggak, Pril?"
"Pasti nanti bakalan ribet deh! Dia pasti masih akan membantu keluarganya. Gue enggak mau entar jadi sumber masalah di keluarga kami. Iya kalau dia ngasihnya terang-terangan sama gue. Kalau diem-diem kan, malah entar jadi bumerang?"
"Kalau sudah masuk ke arah situ, udah yaaaa, gue enggak mau ikut campur. Itu urusan lo sama Ali. Kalau mau diskusi jangan sama gue, langsung sama Ali sana."
"Kalau menurut lo, gue harus gimana?"
"No coment!" Daripada salah jawab, mending Rana tidak melanjutkan pembahasan itu.
***
Rasanya pembahasan ini tak akan berujung, malah semakin panjang dan keruh. Ali frustrasi, dia mengacak rambutnya, berusaha menekan emosi agar tidak membuncah. Prilly terus menyerocos.
"Aku cuma enggak mau kita nanti gagal di tengah jalan, Li. Aku pengin kita sama-sama saling mengenal lebih jauh lagi. Biar aku tahu apa makanan favorit kamu, apa yang enggak bisa kamu makan. Kebiasaan kamu apa."
"Pril, aku cape, mau istirahat boleh?"
"Kamu selalu menghindar setiap kita membahas ini. Sebenarnya kamu serius enggak sih sama aku? Kalau enggak, udahan ajalah kita!" Dalam hati Prilly sebenarnya ada perasaan tak rela saat mengatakan kalimat terakhir.
"Semakin kita panjang lebar ngobrol, malah makin merembet entar yang kita bahas. Bukannya menemukan solusi, yang ada cuma berdebat. Udah deh, sekarang kamu fokus selesaiin kuliahmu di sana, terus balik ke Indonesia, habis itu kita ngopi bareng, ngobrol sepuasnya. Oke?" Ali berkata dengan nada rendah supaya tidak semakin memancing emosi Prilly.
Kalau sedang berjahuan, ada saja pembahasan yang memicu pertengkaran. Ucapan perpisahan sering terucap, tetapi itu sekadar ucapan tanpa dilandasi keseriusan. Mungkin itu terjadi karena rindu yang sudah sangat berat.
"Sudah yaaaa, kamu pasti lagi banyak pikiran, cape. Kamu butuh istirahat sekarang. Tolong yaaaa ... kamu sekarang tidur, biar besok saat bangun pikiran sudah tenang dan jernih. Jadi enggak lagi mikir yang macam-macam. Soal hubungan kita, aku masih setia menunggu kamu pulang. Kita bahas nanti kalau sudah bertemu. Oke?"
Dari tempatnya duduk, Prilly hanya terdiam. Bisa-bisanya Ali masih tenang menghadapi keras kepalanya. Bahkan sama sekali Ali tidak meninggikan suaranya.
"Prilly sayaaaang, kamu masih dengerin aku ngomong kan?" Suara Ali itu mengusik telinga Prilly, lembut terasa sampai jantung.
"Iya. Maaf, aku cuma kangen."
Senyum Ali tersungging. "Kalau kangen tinggal ngomong kangen. Enggak usah cari bahan untuk kita berdebat. Aku juga kangen kamu. Sekarang kita istirahat, ya?"
"Iya."
"Jaga diri baik-baik. Jangan lupa salatnya. Makan yang teratur. Satu lagi, paling utama, jaga kesehatan!"
"Iyaaaa-iyaaaaa."
"Aku matiin teleponnya, ya? Asalamualaikum kesayanganku."
Perasaan Prilly menghangat. Senyum merekah di bibirnya. "Waalaikumsalam," jawab Prilly malu-malu.
Panggilan pun selesai, Ali mengembuskan napas lega. Dia lantas menjatuhkan diri ke tempat tidur. Ali menatap langit-langit kamarnya.
"Begini ya rasanya pacaran jarak jauh. Ya Allah, kuatkan imanku, kuatkan rasa cintaku ini, dan yakinkan hamba kalau Prilly adalah wanita pilihan terakhirku."
______________
Paling sulit kalau lagi LDR itu menjaga kepercayaan. Iya enggak sih? Ada yang pernah atau lagi ngerasain LDR? Apa yang sering kalian ributin kalau lagi jauh sama pasangan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top