Lari Dari Kenyataan
Belanda. Di negara itulah Prilly menginjakkan kaki dan meninggalkan Indonesia sebagai tempat kelahirannya. Ia membuang jauh angannya terhadap Ali. Bahkan cinta yang pernah ada di dalam hatinya ingin ia buang karena tak pernah terbalaskan. Di Universitas Amsterdam, Prilly melanjutkan studinya. Ia memilih sastra sebagai jurusannya. Mungkin, dengan terpisah jarak dengan Ali, Prilly mampu melupakannya.
"Pril, sudah sampai di belanda?" suara mami Hesty terdengar di sambungan telepon yang baru saja terhubung.
"Udah, Mi. Ini Prilly mau istirahat."
"Syukurlah kalau sudah. Hati-hati di sana jangan lupa kabari mami."
"Iya, Mi."
Selepas sambungan telepon terputus. Nama Ali kembali terlintas di otaknya. Sebegitu susahkah Ali untuk ia lupakkan? bahkan pergi ke luar negeri pun rasanya Ali masih saja dekat dengan hatinya.
***
Terlambat. Semua sesal takkan pernah terganti. Ali sungguh menyesal kehilangan Prilly sekarang. Gadis yang dulu selalu ia abaikan kini pergi entah ke mana. Ali merenung di sebuah cafe dengan pikiran kalut. Mora-lah yang selalu menemani Ali setiap harinya. Ia menghibur keponakannya yang sedang gelisah. Mengejar cinta yang dulu tak pernah ia kejar. Cinta yang dulu selalu ia acuhkan. Kini, ketika dia pergi barulah Ali mencari, namun terlambat. Dan hanya sebuah penyesalan yang tersisa di hati.
"Mau sampai kapan uring-uringan begini?" Ali diam menunduk sembari mengaduk kopi hangatnya. Pertanyaan Mora seakan tak ada jawabannya.
"Sampai dia kembali," ujarnya asal.
"Kalau dia nggak kembali?"
"Mam!" Ali menyentak ucapannya seakan membantah. Tak terima kalau Prilly-nya tak kan kembali.
"Udah deh, Li. Mami kasihan liat kamu begini. Lebih baik urus kuliah kamu itu loh, baru mikirin ini lagi." Ali membalas dengan anggukannya. Hanya Mora dan selalu Mora yang mampu mendengarkan curhatannya. Jika di rumah Ali merasa seperti neraka, terlebih rasa bencinya pada Lika yang tak berkesudahan.
"Mam, Ali nginap di rumah mami aja ya. Malas liat Lika di rumah." Tanpa peduli dengan ucapannya, Ali asyik saja mengaduk-ngaduk lemon tea yang baru saja ia pesan lagi, sedang mamora hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan keponakkannya.
"Ali, jangan kayak gitu."
"Udah deh Mam, nggak usah bela dia." Ali jengah. Ia tidak akan pernah terima siapapun yang menyanggah ucapannya soal Lika. Meski sudah bersikap baik, Lika tetap saja sudah tak ada artinya di mata Ali.
"Ya sudah tidur aja di rumah, Mami."
Selepas dari cafe, Ali dan Mora beranjak pergi. Ditemani tembang-tembang lagu mereka menikmati perjalanan pulang dengan senang. Mora tak ingin mengusik Ali dengan ucapannya yang mungkin akan menyakiti. Soal Prilly, Mora tak bisa banyak berkomentar. Ia sendiri tak tahu Prilly akan kembali atau tidak. Yang jelas Ali merasa hampa tanpa Prilly sekarang. Cinta baru akan terasa setelah kehilangan.
"Li, Mami ke kamar duluan ya." Mora pamit meninggalkan Ali di ruang tamu sedang duduk di atas sofa.
"Iya, Mam," ujarnya lirih.
Dipikirannya hanya ada sosok Prilly yang terbayang. Kenangan waktu mereka satu kelompok dan mengerjakan tugas bersama dengan sikapnya yang masih tak acuh. Masih membekas dalam ingatan. Ali menyesal tak pernah sadar waktu itu kalau ada rasa cinta yang hadir. Kini, sesudah Prilly pergi barulah Ali tahu cinta itu telah mengisi hatinya.
'Pril, kamu di mana?' Sambil menengadah ke atas langit di balkon rumah Mamora, Ali membatin.
Hati Ali benar-benar hampa, tanpa Prilly ia bagai kehilangan jiwa. Bahkan Ali sendiri tak tahu ke mana Prilly pergi. Mungkin hanya sebuah keajaiban yang akan membawa Ali kembali bertemu dengan cintanya.
***
Hari ini, Ali mengirimkan berkasnya ke Universitas Indonesia. Secara kebetulan, Ali juga mengambil jurusan sastra Indonesia. Entah kenapa, Ali begitu mencintai dunia sastra. Sejak duduk di bangku menengah pertama, Ali selalu unggul dalam pelajaran bahasa indonesia. Inilah yang menjadikan Ali memilih jurusan itu.
Ali yang tergesa tak sengaja menabrak seseorang yang berlawanan arah dengannya. Dengan sigap tangan Ali terulur memegang tubuh yang ternyata seorang wanita. Ia melebarkan mata saat melihat siapa yang baru saja ia tabrak.
"Rana."
"Ali."
Ya, Rana. Sahabat Prilly semasa SMA itulah yang Ali dapati. Tanpa sengaja mereka bertemu karena insiden saling menabrak karena sama-sama tergesa. Kehadiran Rana bagai sebuah cahaya untuk Ali mengulik keberadaan Prilly.
"Lo kuliah di sini?" Rana menanyakan.
"Iya, lo juga?"
"Iya. Kebetulan dong. Ambil jurusan apa lo?" Ali dan Rana saling melempar tanya seraya berjalan menuju sebuah bangku di sudut kampus.
"Sastra, lo ambil apa?"
"Hah ... sastra. Sama dong." Akhirnya mereka tertawa bersama. Bodohnya, Ali dan Rana tak pernah tahu kalau mereka akan bertemu lagi di sini dan satu jurusan pula.
Ali masih mencari celah untuk menanyakan tentang Prilly pada Rana. Rasanya lontaran tanya tadi sudah cukup menjadi bagian basa-basi.
"Ran," panggilnya ragu.
"Iya, kenapa?"
"Hmmm ...." Ali tak bisa mengeluarkan kalimatnya. Kelat di lidah. Kelu sangat kelu. Padahal tak ada salahnya menanyakan, namun karena masih terselip rasa gengsi takut Rana tahu ada perasaan cinta untuk Prilly darinya.
"Apa, Li?" Rana menepuk paha Ali tanpa sengaja sangking kesal karena dia hanya bergumam.
"Pri ... ly, dia di mana?" Lepas sudah kalimat itu keluar penuh dari bibir Ali walau sedikit tersendat.
Rana tampak berpikir. Pasalnya, ia sempat berjanji pada Prilly untuk tidak memberitahu Ali soal kepergiannya. Haruskah Rana menutupi?
"Ran." Ali menguncang bahunya hingga lamunan Rana terputus lalu kembali menoleh ke Ali.
"Eh ... gue nggak tahu, Li. Terakhir, dia bilang nggak kuliah di sini, tapi dia juga nggak bilang di mana," dustanya.
Terpaksa Rana berbohong. Ia tak ingin Ali tahu, Prilly ingin melupakan cintanya. Cinta yang bertepuk sebelah tangan dan tidak pernah terbalaskan.
"Kenapa, Li. Tumben nanyain Prilly?"
"Ah ... nggak, biasanya kan sama lo." Ali menampakkan senyum mirisnya. Lewat Rana, Ali tetap tak menemukan jawaban ke mana Prilly pergi.
Ali menghela napas kasar. Ke mana lagi ia harus mencari Prilly. Bahkan, sahabatnya sendiripun tidak tahu Prilly ke mana. Inikah balasan untuk Ali karena telah mengabaikan cinta Prilly? begitulah, penyesalan selalu datang terakhir. Jika saja Ali tahu perasaan di hatinya ada cinta, ia takkan membiarkan Prilly pergi. Beginilah Ali, merindukan seseorang yang telah pergi.
######
Selvi
Sampai di sini bagaimana?
Makasih ya udah kasih vote dan komentarnya. Ditunggu kelanjutannya ya? We love you all 😘😘😘😘
Sabar menunggu ya? Tunggu giliran dari yang lain lagi. Hihihihi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top