Kesadaran Yang Terlambat
Tersadar pada sebuah kenyataan baru, apakah itu suatu keterlambatan? Apa yang harus dilakukan jika tanpa sepengatahuan si pemilik dia datang tanpa permisi? Haruskah dia membuang jauh-jauh tanpa pernah mau mengakui bahwa dia itu ada dan nyata. Bukankah itu suatu kebahagiaan, jika dia tahu bahwa dia juga memiliki hal yang sama? Entahlah, terkadang takdir Tuhan tak ada yang bisa mengetahuinya, sehebat apapun orang itu.
Ali sudah rapi dengan setelan jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya dan celana hitam serta sepatu hitam. Ali terlihat tampan walaupun nampak seperti pengusaha muda yang menjanjikan. Sekali lagi Ali memperhatikan dirinya di cermin, merapikan sedikit jambul yang di buatnya, seulas senyum terpampang saat dia sadar bahwa dirinya tampan.
Ali keluar dari kamarnya, sebelum itu dia meraih kunci mobil yang tergantung di pinggir lemari pakaiannya. Malam ini Ali akan menghadiri acara Promnight yang di adakan pihak sekolah SMA Pelita Bangsa untuk sedikit merayakan kelulusan murid-murid kelas 3, termasuk Ali yang juga sudah lulus.
Di ruang tamu Ali bertemu dengan Azka dan Lika, tanpa permisi Ali langsung saja melewati mereka berdua.
"Punya etika dan sopan santun kan?" tanya Azka tanpa menoleh, tapi itu berhasil membuat Ali menghentikan langkahnya. "Masih sadarkan kalau punya orangtua? Kami bukan patung atau pajangan yang bisa seenaknya dilewat begitu saja," tambah Azka, Lika yang ada di sebelahnya mencoba menenangkan suaminya dengan mengusap-usap lengan Azka.
"Aku pergi dulu, udah telat. Assalamualaikum," pamit Ali lagi-lagi tanpa menoleh.
Sudah belasan tahun Ali membenci keluarganya. Meraka tinggal satu atap, tapi sekali pun mereka tak pernah bertegur sapa, sekalipun mereka bersuara, yang ada justru pertengkaran dan pertengkaran yang terus terjadi.
Mora juga sudah beberapa kali menasehati keponakan tersayangnya itu, tetap saja belum berhasil. Sifat kerasnya Ali menurun sekali dari Azka.
"Walaikumsalam." Jawab Selvi lirih. Selvi sempat keluar dari kamarnya karena mendengar sedikit keributan di luar. Rasa sedih selalu menjalar di hatinya, tiap kali harus melihat pertengkaran papa dan kakak laki-lakinya.
***
Ali dengan santai terus melajukan mobil sport miliknya, dengan earphone sudah menempel di telinganya. Ali mencoba menghubungi Mora beberapa kali, tapi tak langsung mendapat jawaban.
"Kenapa Li?" sapa Mora.
"Salam dulu kek Mam, baru nanya kenapa," ucap Ali kesal.
"Iya, mami lupa. Assalamualaikum keponakan Mamora yang gantengnya melebihi mami." Ali yang mendengar itu hanya bisa terkikik geli.
"Bukannya jawab salam mami malah ketawa lagi. Ada apa telepon mami?"
"Mamora beneran nggak bisa nemenin aku ke acara prom ini? Aku bisa jemput Mami sekarang?" Ali sempat meminta Mora menemaninya ke acara Promnight, tapi sayang Mora menolaknya.
"Mami nggak bisa Li. Lagian kalau mami ikut yang ada kamu nggak bisa deketin Prilly."
"Mami apaan sih. Siapa juga yang naksir Prilly."
"Loh, Mami kan nggak bilang kamu naksir Prilly."
"Apa sih Mami."
"Udahlah, mami tunggu kabar baiknya dari kamu." Mora menutup teleponnya sepihak. Ali hanya bisa mendengus kesal dengan tingkah Mamoranya itu.
Ali kembali fokus pada jalanan ibukota yang tampak ramai di malam hari, tak ada yang tahu bahwa hati Ali saat ini mulai bimbang. Dia bisa merasakan sesuatu di dalam hatinya, tapi dalam waktu yang bersamaan dia berusaha menampiknya.
Ali tak bisa membohongi hati, sejak pertemuannya waktu itu dengan Mora, Ali merasa lebih mengenal Prilly, bahkan dia tahu sisi lain seorang Prilly dari perbincangannya bersama Mora. Walaupun Ali hanya diam saja, tapi dia cukup memperhatikan tingkah laku gadis yang perlahan mulai merebut perhatiannya.
Ali sampai di gedung acara Promnight, acara malam ini memang dibuat sangat elegan. Gadis-gadis seusianya berdandan cantik dan mempesona dengan gaun yang membalut tubuhnya, sedangkan laki-lakinya mengenakan jas dan terlihat tampan.
Ali berjalan ke depan dengan satu tangan tersemat di dalam sakunya. Ali mencoba memperhatikan sekelilingnya dengan beberapa orang. Dia bukan memperhatikan, dia seperti sedang mencar. Seseorang yang sudah mulai memenuhi hatinya.
Ali sudah berkeliling, tapi dia tak menemukannya. Dia justru menemukan sahabatnya sedang sendiri bicara dengan orang lain. Ali mencoba menghampiri Rana.
"Ke mana dia? kenapa Rana cuma sendirian?" tanya hati Ali.
"Rana." Rana menoleh ke arah Ali.
"Kok lo sendiri temen lo ke mana?" tanya Ali langsung.
"Siapa? Ini temen-temen gue." Rana menunjuk lawan bicaranya tadi.
"Prilly." jawab Ali singkat.
"Oh Prilly, dia nggak dateng, ada urusan katanya, mau ngurus pasport sama keperluan lainnya." Jawab Rana santai.
Seketika Ali terdiam dan pergi tanpa mengucapkan apapun.
"Tuh orang aneh banget sih. Nanya udah dijawab main kabur aja, begitu. Dasar manusia es." Omel Rana melihat kelakuan Ali yang menyebalkan.
Ali tak lagi ikut acara promnight malam itu, dia langsung saja pergi menyusuri malam. Perkatan Rana tadi membuatnya ingin mencari seseorang. Dia semakin jauh meninggalkan gedung itu dan semakin dekat dengan tujuannya. Namun mendadak dia menghentikan mobil, untung saja tidak ada kendaraan lain di belakangnya, seandainya ada, mungkin akan terjadi kecelakaan beruntut akibat ulah Ali yang menghentikan kendaraannya mendadak.
"Gue mau ke mana? Ngapain gue langsung pergi buat nyari dia? Lagian juga gue harus nyari dia ke mana? Rumahnya aja nggak tahu." Ali memukul stir yang tidak bersalah itu.
Ali kembali melanjutkan mobilnya ke rumah Mora. Itulah tujuannya saat ini dibanding harus pulang ke rumah.
***
Prilly sedang memasukkan beberapa keperluannya ke dalam koper dibantu Ebie yang dari tadi membantunya dengan menangis.
"Bi, kamu kenapa sih dari tadi nangis mulu?" Prilly memasukkan baju terakhir ke dalam kopernya.
"Non, masa Non ninggalin Ebie sih. Nggak kasian apa Non sama Ebie. Nanti siapa yang Ebie kepoin kalau Non nggak ada." Ebie mengusap hidungnya yang sudah keluar ingus.
"Ya ampun Bi, nanti juga aku pulang, kan cuma sebentar aja. Kaya aku pergi ke mana gitu." Prilly menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Ebie.
"Non, nggak ngerti perasaan Ebie nih. Nanti kalau Ebie mau nanya-nanya mas ganteng itu gimana Non?"
Seketika Prilly menghentikan aktivitasnya. Prilly tahu siapa yang dimaksud Ebie. Ali, laki-laki yang dulu sempat dikaguminya, bahkan Prilly jatuh hati padanya. Kali ini rasa itu ingin dia kubur dalam-dalam, dia tak mau mengingatnya lagi. Sudah cukup setahun ini rasa itu tak terbalaskan. Memendam perasaan yang tak berujung karena tembok penghalang tidak di bangun oleh seseorang yang dikaguminya itu sangat melelahkan. Terlebih hanya bisa menggoreskannya pada lembaran-lembaran kertas putih yang paling mengerti dirinya. Lelah, bahkan sangat lelah. Tapi Prilly tak memungkiri rasa itu tetap ada di sudut ruang hatinya yang paling dalam.
"Non kenapa diem?" tanya Ebie.
"Ah nggak apa-apa, ayo cepet abis itu kita makan. Aku laper." Prilly menghindari pertanyaan Ebie
Prilly berniat pergi untuk beberapa waktu, besok dia akan berangkat ke bandara dengan penerbangan pagi. Membawa pergi rasa cinta yang dimilikinya untuk Ali. Rasa yang indah tapi menyakitkan.
Ebie sudah keluar dari kamar Prilly dan Prilly beralih ke meja belajarnya, mengambil buku bersampul biru yang menjadi sahabat terbaiknya.
Aku bahagia karena Tuhan memberikan rasa itu padaku, aku akan membawa rasa itu sendiri tanpa perlu kamu tahu kemana aku membawanya.
Prilly kembali menutup diary biru dan meninggalkannya bersama kenangan-kenangan indah yang Prilly tuliskan di dalamnya.
***
Ali sudah duduk manis di ruang tamu rumah Mora, menikmati hot milk buatan Mora. Mora tak bertanya apapun sampai keponakannya ini mau bercerita sendiri apa masalahnya. Biasanya Ali akan datang jika dia ribut dengan Azka.
"Mam." panggil Ali.
"Iya."
"Salah nggak sih Mam?" pertanyaan tidak jelas terlontar dari bibirnya.
"Salahlah Li, kamu tuh harusnya jangan begitu, berdamailah dengan Papamu," ucap Mora sok tahu.
"Bukan itu Mamora," bantah Ali.
"Lah terus apa? Biasanya kamu kan kalau datang ke sini pasti bertengkar sama papamu."
"Dia pergi Mam, dia pergi saat aku mulai menyadari dia ada, saat aku sadar hatiku bergetar saat dia ada." Ali memandang layar televisi yang terpampang warna hitam karena belum dinyalakan.
Mora hanya tersenyum dan menyadari ke mana arah pembicaran keponakannya ini. Ali, yang selalu dianggapnya masih kecil, sekarang sudah mengerti apa itu suka dengan lawan jenisnya. Mora pun tahu bagaimana kisah hidup Ali, bahkan rasa traumanya pada perempuan semenjak papanya menikah lagi.
"Tapi Ali takut Mam. Ali takut jatuh cinta."
Mamora mengusap kepala Ali pelan, setalah itu meminta Ali menghadap ke arahnya.
"Bilang sama Mami kenapa kamu takut jatuh cinta?"
"Ali takut dia kaya Bella, Mam. Dia pergi gitu aja."
"Nggak semua perempuan sama kaya Bella, nggak semua perempuan seburuk yang kamu pikirkan. Mami tahu kamu masih trauma di khianati Bella. Tapi coba buka hati kamu buat perempuan lain. Dia berhak dapatkan cinta kamu, Li. Kamu juga berhak bahagia, kalau dia memang kebahagiaanmu, kejar kebahagiaanmu, raih kebahagiaanmu, setelah itu bawa pulang cinta kamu."
"Tapi Mam, ke mana Ali harus cari. Rumahnya aja, aku nggak tahu, dia pergi ke mana juga aku nggak tahu. Aku tadi sempat tanya sama Rana, tapi aku nggak tanya dia pergi ke mana. Mungkin ini hukuman buat Ali yang udah mengabaikan dia setahun ini." Ali tertunduk lesu di hadapan Mora.
Resah dan bingung apa yang harus dilakukannya, Ali juga tak tahu. Tapi yang dia tahu saat ini, rasa itu perlahan muncul kepermukaan hatinya. Akankah rasa Ali terbalaskan?
#######
Ebie
Telat Li, telat!!!
Nyeselkan?
Makasih buat vote dan komentarnya ya? We love you😘😘😘
Kalau kalian suka sama seseorang, cus ... tembak dia. Jangan sampai kayak Ali ya? Nyesel ujungnya. Kalau udah pergi baru terasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top