Jatuh Cinta Pada Pangeran Es

Aku tidak tahu pasti kapan cinta itu hadir, seperti setiap orang yang bertanya, kapan detik pertama kehidupan dimulai? aku hanya tahu satu hal, bahwa aku saat ini sedang merasa jatuh cinta.

Pena menari-nari di atas kertas, mengukir setiap bait kata yang tertuang dari isi hati. Entah mengapa rasa tak menentu semenjak Prilly melihat Ali, dia selalu terbayang-bayang wajahnya. Hingga tersentuh rasa indah di kalbunya.

"Mi ...." Prilly memanggil Hesty lirih.

"Iya. Ada apa sayang?" Hesty menoleh saat mereka sedang asyik menonton televisi.

"Mami ... mmmm ...." Prilly ragu untuk mengatakannya membuat Hesty mengerutkan dahi saat menunggu Prilly selesai mengucap.

"Apa ...?" tanya Hesty lembut sambil membelai wajah putri cantiknya itu.

"Mami pernah nggak suka sama seseorang, tapi orang itu cuek sama Mami." Hesty tertawa keras saat Prilly mempertanyakan hal itu dengan wajah yang bersemu merah dan malu-malu kucing.

"Kenapa? Apa anak Mami sedang jatuh cinta? Cieeeeee ... anak Mami udah gede ternyata," goda Hesty sambil mencolek dagu Prilly.

"Aaaaaa ... Mami. Nggak kok Mi. Prilly ... mmm ... cuma ... mmm ...."

"Cuma naksir tapi dicuekin?" sambung Hesty membuat Prilly menahan malu setengah mati.

"Aaaa ... Mami. Jangan meledekku, aku malu Mami." Prilly berkata manja menirukan suara anak kecil dan menyembunyikan wajahnya di belakang punggung Hesty.

Hesty tertawa lepas sambil menutup mulutnya agar tak terlalu keras suaranya. Ebie berjalan membawakan jus jeruk dan camilan ringan untuk menemani mereka bersantai sore itu.

"Ini Non, Nyonya, di minum." Ebie meletakan dua gelas jus dan sepiring kue lapis legit di atas meja.

"Terima kasih ya Bi, ini loh Bi, ada yang sedang jatuh cinta, tapi malu-malu curhat sama Maminya," kata Hesty masih dengan sisa tawanya.

"Iya tuh Nyonya. Saya juga sering memergoki Non Prilly senyum-senyum sendiri di dalam kamar," adu Ebie polos membuat Prilly semakin malu dan Hesty justru semakin tertawa.

"Ada apa ini rame sekali," tanya Hans yang baru saja pulang dari kantor.

"Aaaa ... Papi, Mami jahat," adu Prilly manja, yang langsung menghampiri Hans dan bergelayut manja di lengannya.

"Memang Mami ngapain kamu?" tanya Hans lembut, mengelus rambut Prilly dan mengecup pucuk kepalanya.

"Hidiiihhh ... Mami nggak ngapa-ngapain dia kok Pi. Mami cuma tertawa," sangkal Hesty masih dengan tertawa kecil.

Hans duduk di samping Hesty tanpa Prilly melepas lengannya.

"Katanya Nona Prilly sedang jatuh cinta, Tuan," sambung Ebie polos, membuat Hans langsung menoleh kepada Prilly.

"Oh iya? Anak Papi sedang jatuh cinta? Sama siapa? Yang mana orangnya?" Hans terdengar antusias menyambut kabar baik itu.

Hesty dan Hans tak pernah membatasi pergaulan Prilly. Hanya mereka mengarahkan kepada siapa Prilly harus bergaul. Dan untungnya Prilly termasuk anak yang patuh dan penurut dengan orangtuanya.

"Dia pindahan dari sekolah lain Pi, dan dia juga anaknya cuek, bikin Prilly semakin penasaran sama Ali." Prilly tak sadar menyebut nama 'Ali' membuat semua orang yang mendengar curahan hatinya ber-oh-ria.

"Oh, jadi namanya Ali," sahut Hesty manggut-manggut.

"Terus," sambung Hans yang juga merasa penasaran sampai sejauh mana anak gadisnya itu mengagumi sosok Ali.

"Jadi, dia itu bicaranya dikit kalau sama cewek. Malah selama ini setahu Prilly kalau bicara sama lawan jenis, dia tidak pernah menatap matanya. Ihhhh ... pokoknya Prilly penasaran deh sama dia." Prilly tersenyum sendiri membayangkan wajah tampan Ali walau tanpa senyuman.

Hesty, Hans dan Ebie saling memandang penuh pertanyaan di benaknya dan mereka juga ikut merasa penasaran dengan sosok Ali yang diceritakan Prilly tadi.

"Baiklah, Mami besok ikut mengantar kamu ke sekolah," sela Hesty.

"Saya juga mau ikut Nyonya," rajuk Ebie yang memiliki rasa penasaran tinggi, seperti apa sih lelaki yang sedang dikagumi Prilly.

"Papi, juga penasaran. Setampan apa sih dia, sampai buat anak papi senyum-senyum sendiri sepanjang hari."

***

Mobil BMW hitam mengkilat milik Hans terparkir di depan gedung SMA Pelita Bangsa. Seperti yang mereka katakan kemarin sore, hari ini mereka akan memecahkan rasa penasaran yang sejak kemarin sore tertanam di benak mereka.

"Yang mana sih Non orangnya?" tanya Ebie yang mengintai dari dalam mobil.

"Iya, dari tadi Mami lihatnya teman-teman lama kamu. Nggak lihat yang baru," sahut Hesty yang sama penasarannya dengan Ebie dan Hans.

"Ih, kok kalian malah kepo sih. Tunggu sebentar, biasanya dia memarkirkan motornya di situ." Prilly menunjuk ke arah depan.

Tak berapa lama terlihat seorang pemuda menaiki kuda besi yang membuatnya terlihat semakin gagah. Dia melepas helm dan jaket kulitnya. Lalu turun dari motor kebanggaannya itu.

"Pasti itu deh Nyonya orangnya. Lihat saja ...." Ebie menebak sendiri dan melirik Prilly yang sedang terkagum melihat Ali di depan mobil papinya.

Hesty semakin mempertajam penglihatannya, begitu juga Hans yang duduk di balik kemudi.

"Hmmm, ganteng juga Pi, makanya anak kita kecantol," kata Hesty masih menatap Ali yang melangkah masuk ke dalam gedung sekolahan.

"Iya Mi, nggak salah ternyata dia memang mengagumkan dan wajah datarnya membuat anak kita dilanda rasa penasaran akut nih," goda Hans menoleh ke belakang di mana Ebie dan Prilly duduk.

"Ah, aku mau masuk." Prilly segera mencium pipi Hesty dan Hans lalu dengan gerakan cepat keluar dari dalam mobil sebelum dia menjadi bulanan orangtuanya dan Ebie.

Orang yang ada di dalam mobil tertawa lepas menyadari bahwa Prilly saat ini sedang menghindari godaan mereka.

***

Jam istirahat tiba, seluruh murid melakukan banyak kegiatan sesuai kebutuhan mereka. Kali ini Prilly dan Rana ingin ke ruang redaksi. Namun langkahnya terhenti saat mereka di hadang oleh Bu Ira.

"Rana, saya bisa minta tolong?" kata Bu Ira kali ini suaranya lembut tak seperti saat dia sedang di dalam kelas.

"Iya Bu, bisa."

"Tolong bantu saya mempersiapkan bahan dan alat praktek untuk kita nanti di ruang laboratorium," titah Bu Ira kepada Rana.

"Baik Bu, setelah ini saya naik ke ruang Lab. Biologi."

"Terimakasih Rana," ucap Bu Ira berlalu pergi.

"Pril, lo duluan ke ruang redaksi. Entar gue menyusul kalau sudah selesai dari ruang biologi," perintah Rana kepada Prilly.

"Oke."

Akhirnya mereka pun berpisah di tempat itu. Prilly melanjutkan langkahnya ke ruang redaksi dan Rana ke ruang Lab. Biologi. Saat Prilly sedang asyik berjalan sambil bersenandung kecil, jantungnya berdegub kencang kala melihat lelaki pujaan hatinya sedang sendiri duduk di bangku putih bawah pohon rambutan.

"Ya Allah, kapan rasa ini berhenti saat melihat dia?" Prilly membatik dengan pandangan tak beralih pada Ali.

Ali tak menyadari bahwa sedari tadi Prilly memandangnya. Justru Ali malah asyik membaca sebuah novel yang saat ini sedang buming.

"Apa membaca novel salah satu hobby-nya? Hmmm ... unik dan langka. Biasanya cowok lain asyik bercanda dan bermain, ini ... dia justru membaca novel menyendiri dengan yang lain. Duh, Ali lo semakin buat gue penasaran. Lama-lama kalau sikap lo selalu dingin begitu, gue bisa mati penasaran." Prilly berkata dengan dirinya sendiri.

Saat menyadari kepala Ali ingin mendongak, Prilly dengan cepat berpura-pura memperhatikan arah lain. Ali berdiri dan berlalu melewati Prilly begitu saja tanpa menyapa dan melihatnya. Itu membuat Prilly kesal dan rasanya dia ingin berteriak kepada Ali 'gue di sini Ali, padanglah gue'.

"Issshhh ... jangan-jangan dulu Emaknya pas hamil dia ngidam nelen bongkahan es atau jangan-jangan ngidam jalan-jalan ke kutub, makanya anaknya lahirnya begitu. Sedingin es, muka datar kayak trimplek," gerutu Prilly sebal.

Prilly segera melanjutkan langkahnya. Saat dia hampir sampai di depan ruang redaksi dia berpapasan dengan Selvi.

"Hay, Kak Prilly?"

"Hallo Selvi," balas Prilly ceria dan ramah.

"Kakak mau ke mana?" tanya Selvi ceria.

"Mau ke ruang redaksi."

"Oh, Kakak anggota redaksi ya?"

"Iya, kenapa?"

"Aku mengirim cerpen loh Kak, untuk dipasang di mading sesuai tema minggu ini 'cinta pertama'."

"Oh iya? Oke deh nanti aku cari dulu kiriman kamu ya? Kalau menarik aku masukan di buku buletin saja. Soalnya hasil rapat kemarin sudah menemuka untuk dipasang di mading."

"Baiklah Kak. Kalau begitu Selvi duluan ya Kak? Dada Kakak cantik." Selvi berlari kecil sambil melambaikan tangan kepada Prilly.

"Dada Selvi cantik," balas Prilly melambaikan tangannya dan senyum manisnya.

Prilly melanjutkan langkahnya masuk ke ruang redaksi. Dia duduk di tempatnya, di sana sudah ada beberapa orang yang sibuk mengerjakan tugasnya. Prilly mulai menyentuh kertas yang butuh perhatiannya. Kertas warna-warni tersebar di atas meja dengan berbagai bentuk goresan tangan si pemilik.

Aku tak tahu mengapa aku rindu
Ingin kucurah tetapi rasa malu
Cobalah engkau mengerti isi hatiku
Di dalam diam aku mencintaimu.

Prilly tersenyum saat membaca salah satu isi puisi dari kertas itu. Dia mengambil kertas yang lain.

Kuharap kau paham perasaanku
yang kini dilamun rindu padamu
sungguhnya aku telah jatuh cinta
oh ... indahnya bila bersamamu
cintaku dengan ikhlasnya
janganlah engkau sia-siakan
harapan dan impianku.

Kedua sudut bibir Prilly tertarik hingga sebuah senyum manis terukir di bibirnya.

Dalam diam kumencintaimu,
Taukah kamu lamanya kumenunggu, Suburnya mimpi di tanah haru, Dengan terang cinta di padang savana,
Cahaya temaram darimu putri purnama,
Adakah rasa jemuku tuk menantimu, wahai engkau yang kupuja.

Prilly menyisihkan kertas yang baru saja ia baca tadi. Baginya puisi itu menyentuh hatinya. Dia kembali mencari puisi yang menurutnya bagus.

Kadang sulit bagiku tuk ungkapkan sesuatu, yang ingin kuungkapkan, tak perlu orang lain, cuma kau dan aku, dan lampu jalan yang telah menerangi hati gelap. Kau adalah lentera senja yang selalu menuntunku kembali.

Semua itu cetusan qolbu, atau cetusan sanubari, walau hanya sepintas, itu cetusan yang berharga, ternyata sang waktu memaksa berjumpa, berjumpa denganmu, senang hati rasa tak lagi mampu menolak datangnya cinta.

Kalau kau mau kuterima, kukembali dengan sepenuh hati. Aku masih tetap sendiri, kutahu kau bukan yang dulu lagi. Bak kembang sari menyeruakan harum menusuk hingga ke dalan sanubari.

Prilly tersenyum lalu dia mengambil sebuah pena dan kertas warna. Dia mulai mencoretkan pena di atas kertas, mengungkap isi hatinya menjadi sebuah syair yang indah.

Kau yang kupuja, penuh misteri
Beraninya kau mencuri hati
Tak kala bayangmu memenuhi hari
Akankah cinta menemani
Hingga kumati.

########

Rex_delmora

Sampai di sini masih ada yang menanti kelanjutannya kan?

Aku nggak sangka loh, bisa buat puisi sok puitis begitu. Wkwkkwkwkwk yang biasanya bikin puisi itu kalau bukan Opah Puspa Mekar ya Ebie. Dua orang ini yang selalu bisa bikin sajak maupun syair yang indah. Kalau aku amatir dan masih amburadul. Wkwkkwkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top