Duka Bagi Ali
Waktu terus bergulir demikian pula rasa rindu yang Ali rasakan semakin hari semakin menusuk. Ali mulai kehilangan semangatnya untuk mencari Prilly, ribuan kali Ali mencoba untuk membujuk Rana agar memberi tahu di mana keberadaan Prilly, tapi ribuan kali juga, ia gagal mendapatkan apa yang dia inginkan. Hanya sebuah informasi tentang Prilly saja, susahnya minta ampun!
Kini Ali hanya bisa pasrah, ia tidak tahu lagi bagaimana cara mencari keberadaan Prilly. Mungkin Tuhan berkehendak lain, mungkin sudah tidak ada lagi kesempatan baginya untuk meminta maaf pada gadis itu.
"Li, nggak baik bengong di siang bolong, kemaren ada ayam tetangga gue kesurupan gara-gara bengong mulu." tegur Rafid, teman Ali itu menepuk bahunya dari belakang, membuyarkan lamunan Ali.
"Sembarangan aja lo nyamain gue ama ayam, lagian ya, siapa juga yang bengong, gue lagi baca-baca naskah yang baru masuk nih," tutur Ali sambil merapikan kertas naskah yang dari tadi ia pegang.
Rafid menaikkan sebelah alisnya heran, pasalnya Ali akhir-akhir ini nampak selalu berdiam diri sambil melamun seolah memikirkan sesuatu.
"Yaudah, gue cabut dulu nyari makan keluar, kelarin noh baca naskah jangan ngelamun mulu," ledek Rafid sambil terkekeh kecil.
Ali hanya geleng-geleng kepala melihat Rafid teman barunya yang sama-sama bekerja sebagai editor baru-baru ini. Bagaimana bisa, ia dengan cepat bisa akrab dengan orang, sedangkan dulu ia begitu dingin mengalahkan es di kutub sana.
Tiba-tiba terngiang kembali kejadian minggu lalu, di mana ia masih tetap bersi keras meminta jawaban pada Rana, tentang di mana keberadaan Prilly.
Cinta lo udah terlambat, Li.
Kata-kata Rana tempo lalu masih membekas cukup dalam di benak Ali. Apa memang ia harus menyerah akan semuanya? Sampai disitukah batas kemampuannya?
Berulang-ulang kali Ali berpikir, apakah tidak ada kesempatan untuk bertemu dengan Prilly, walau hanya sekali saja? Ya, jika memang Prilly sudah bahagia, maka ia akan berhenti. Tapi entah mengapa hatinya berkata lain dan memintanya untuk tidak menyerah.
Drrrttttttt ....
Getar ponsel menggelitik halus di paha Ali, setelah melihat nama yang tertera di layar ponselnya, dia pun merasa jengah. Sudah tiga kali, hari ini wanita yang paling ia benci itu menelponnya dan Ali sama sekali tidak mengangkatnya, tapi kali ini dengan kesal Ali mengangkat telepon dari Lika, ibu tirinya.
"Ck, berapa kali dibilangin sih, gue lagi sibuk jangan ganggu!"
"Papa meninggal."
Dua kata yang cukup membuat Ali diam terpaku, wajah kesalnya mulai berubah sendu, matanya sudah memerah, Hp yang ia genggam dan tempelkan di telinganya terjatuh seketika.
Secepat kilat Ali berlari keluar dari ruang kerjanya menyambar sepeda motor yang terparkir di halaman depan.
***
"Sus, di mana ruangan Papa saya, Sus!" tanya Ali tergesa-gesa setibanya di rumah sakit.
"Atas nama siapa ya, Mas?"
"Atas nama Azka." Ali tampak sangat khawatir, keringat dingin bercucuran di dahinya.
"Bapak Azka berada di ruang ICU. Anda tinggal lurus saja, nanti belok kiri," jelas suster tersebut.
Ali mengangguk paham, kemudian dengan cepat berlari menyusuri koridor rumah sakit sesuai petunjuk suster tadi.
"Mana Papa?" tanya Ali panik pada Selvi yang tengah tertunduk di bangku.
"Papa di dalam Kak, ada Mama juga di dalam," jawab Selvi sambil menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
Ali bergegas masuk ke dalam, dilihatnya Lika menangis terisak memegang tangan Azka yang terbaring pucat, bunyi nyaring alat pendeteksi jantung seolah menjadi musik pengiring kepergian Azka. Ali berjalan perlahan menuju ranjang Azka. Dilihatnya Lika tengah menangis tersedu tidak menyangka suaminya akan pergi begitu cepat.
"Papa ...," panggil Ali lirih, air mata yang berkali-kali ia coba tahan, tidak dapat lagi dia bendung.
"Sebelum Papa meninggal, dia meminta Mama memberikanmu ini." Lika memberi sebuah kertas pada Ali.
Ali mengangguk kemudian pergi keluar dengan alasan, ia harus ke kamar mandi.
Untuk anakku, Ali
Ali, mungkin saat kamu membuka surat ini, berarti Papa sudah tidak bisa berada di sampingmu lagi. Papa hanya ingin menyampaikan permintaan maaf Papa kepadamu. Papa telah merenggut kebahagiaan Ali dengan mamamu. Tapi ketahuilah, Papa yakin Mama sudah tenang di sana, mamamu tetap menjadi yang terindah di hati Papa. Papa tahu Ali sangat membenci keputusan Papa yang memilih menikahi Mama Lika. Tapi Papa melakukan semua itu demi kebahagiaan kamu, Papa tidak menginginkan kamu merasa kesepian dengan tidak merasakan kasih sayang seorang ibu. Jadi Lika, sama sekali tidak merebut Mama dari hati papa, mamamu akan tetap terukir manis di hati Papa, walaupun ia telah tiada. Jadi kalaupun kamu membenci Papa, Papa rela, tapi jangan membenci Mama Lika, dia sama sekali tidak bersalah. Dia menyayangimu tulus. Hanya ini yang Papa minta padamu anakku, Ali. Papa mohon Ali bisa mencoba menerima Selvi dan Mama Lika sebagai adik dan ibumu, Nak. Hanya itu yang Papa pinta darimu. Sekali lagi maafkan Papa, yang tidak bisa merawat kamu dengan baik.
Salam sayang dari Papa
Azka
Ali meremas surat tersebut, berkali-kali Ali memukul-mukul kepalanya. Dia sangat merasa bodoh selama ini, kenapa ia baru mengetahui semua setelah papanya meninggal? Ingin rasanya Ali berteriak sekeras mungkin meluapkan segala kesedihan yang ia coba pendam dari tadi. Merasa berdosa dan bersalah menggelayut dalam hatinya. Penyesalanlah yang kini dia rasakan. Masihkah ada kesempatannya untuk meminta maaf kepada Azka?
"Kak." Ali terkejut dengan tangan halus yang menepuk pelan pundaknya.
Dilihatnya Selvi berdiri di samping dengan senyum manis menatap dirinya.
"Bukan cuma Kakak yang sedih di sini, Selvi sama Mama juga sedih atas kepergian Papa yang mendadak Kak. Jadi Kaka jangan sedih lagi ya, kita coba relain Papa biar dia pergi dengan tenang."
Perkataan Selvi sedikit menenangkan perasaan Ali, perlahan ia mengangkat kepalanya menatap wajah Selvi. Wajah ramah wanita di hadapannya ini cukup mengingatkan Ali atas mendiang ibunya. Ali tidak pernah menyangka bahwa ia dulu sangat teramat membenci Selvi.
"Sel, gue mau min--"
Sebelum Ali menyelesaikan perakataannya ,Selvi sudah meletakkan jari telunjuknya di bibir Ali.
"Nggak papa kok Kak, Selvi ngerti Kakak tidak suka pada kami, tapi kami tetap sayang sama Kak Ali, kok." Senyum manis Selvi membuat Ali merasa lega.
"Kita harus mengurus pemakaman Papa, Kak, kita ke tempat Mama dulu, yuk!" Selvi menarik tangan Ali.
***
Sebulan berlalu, Ali tampak masih sangat merasa bersalah pada mendiang papanya, tetapi seiring berjalannya waktu Ali mencoba untuk mengikhlaskan papanya, dan menganggap bahwa semua ini sudah di atur oleh yang di atas.
Ali sedang memeriksa beberapa naskah yang akhir-akhir ini banyak sekali yang masuk. Dia sangat serius meneliti satu per satu. Dari semua naskah yang ia baca, tidak ada satu pun naskah yang mampu menarik perhatiannya. Berkali-kali, Ali selalu menunggu naskah dari Meyra, berharap akan ada cerita yang mampu membuatnya mengingat kenangan semasa SMA dulu.
"Li, naskah pertama atas nama Meyra akan diproses. Lo atur kesepakatan dengannya ya? Buat perjanjian hitam di atas putih, dan jangan lupa, tanda tangan pihak pertama dan kedua di atas meterai," ujar Al menyembulkan kepalanya di pintu ruang kerja Ali.
"Lah Om, bukannya dia di luar negeri? Bagaimana caranya minta TTD dia?" tanya Ali.
Al menghela napas dalam. "Ya kamu kirim saja formulir kesepakatannya sekaligus segala lampirannya lewat email. Biar nanti dia yang nge-print sendiri, dan membeli materainya. Terus, kamu suruh saja, dia kirim balik semuanya, lewat pos atau apalah! Sekarang kan jasa pengiriman banyak. Gitu saja kok repot," tukas Al sembari melenggang pergi meninggalkan ruang kerja Ali.
Ali mengacak rambutnya asal. "Meyraaaa ... Meyraaaa, siapakah dirimu sebenarnya? Kenapa kau membuat pekerjaanku semakin sulit," gumam Ali sembari menggapai ponselnya dan mencari kontak ponsel atas nama Meyra.
Karena jika menelpon reguler berat di ongkos, Ali pun selama ini menghubungi Merya melalui panggilan dari aplikasi WhatsApp. Beberapa detik dia menunggu, akhirnya panggilan pun terjawab.
"Halo," sapa suara lembut dari seberang yang mampu menghangatkan perasaan Ali.
"Hai Mey," balas Ali ramah. Karena mereka sudah sering berhubungan lewat WhatsApp, jadi Ali merasa terbiasa dan menganggap sedang berbicara dengan teman sendiri.
"Hai Zefaro. Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?" tanya suara gadis dari seberang sana.
Dari suaranya, Ali merasakan seperti sudah lama mengenalnya. Tapi, dia masih ragu.
"Begini, Mey. Berhubung naskah kamu yang kemarin akan segera naik cetak, sebelumnya ada kesepakatan antara penulis dan penerbit. Jadi, kita harus membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal tersebut. Dari royalti yang akan kamu terima sampai hak-hak yang akan kamu dapatkan. Biar saling menguntungkan dan tidak berat sebelah, kita harus mendiskusikan ini," jelas Ali panjang lebar.
"Jadi? Serius, naskah aku bakalan diterbitkan?" tanya Meyra antusias dan sangat bahagia.
Ali tersenyum manis mendengar tawa bahagia dari seberang sana.
"Iya, Mey. Novel kamu sebentar lagi bakalan mengisi salah satu rak di toko buku Indonesia," imbuh Ali.
"Zef, ini kabar yang sangat-sangat membahagiakan untukku. Aku sudah lama menginginkan hal ini. Jadi bagaimana aku bisa menyepakati kerja sama kita?" tanya Meyra sudah tak sabar ingin segera menandatangani kesepakatannya.
Ali pun menjelaskan prosesnya, meskipun sangat rumit, sepertinya Merya memiliki jalan keluar yang lebih baik untuk hal itu. Usai menelepon, Ali merasa cacing-cacing di perutnya sudah memberontak. Dia tersenyum kecil, kalau dilihat dari kondisinya sebelum papanya meninggal, berat badan Ali sekarang jauh menurun drastis. Mungkin karena terlalu banyak pikiran membuat Ali melupakan makan.
Ali memutuskan keluar sebentar mencari makan, mungkin sekalian menjernihkan pikiran. Ali lebih memilih mencari makanan dengan berjalan kaki, mungkin dengan berjalan kaki sambil melihat-lihat sekeliling dapat menghilangkan kejenuhan Ali.
Bugh!
karena tidak terlalu fokus pada di depannya Ali tak sengaja menabrak seseorang.
"Ma-maaf gue nggak sengaja." Ali membantu orang yang dia tabrak secara tidak sengaja itu berdiri.
"Makanya, kalau jalan lihat-lihat dong, jangan melamun aja Mas." Omel orang tersebut semabari membersihkan bajunya yang kotor.
Ali merasa sangat kenal dengan suara ini, suara yang sudah bertahun-tahun ia rindukan, suara berisik yang selama ini selalu menemani masa-masa SMA Ali.
"Pri ... prilly?"
##########
Ira
Apakah benar itu Prilly? Menurut kalian bagaimana???
Maaf ya, lama. Hehehe
Terima kasih yang mau sabar menunggu, terima kasih yang sudah memberikan vote dan komentarnya. Semoga ini awal yang baik. Aamiin. Hahahahaha
Akan indah pada waktunya.😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top