Berpisah Lagi

"Aku akan sabar nunggu kamu." Ali memeluk pinggang Prilly.

"Bener?"

"Iya."

"Enggak apa-apa?"

"Asal ada satu syarat."

"Apa?"

"Pulang dari Belanda, kamu harus siap aku lamar."

Mata Prilly terbelalak. "Ih, jangan bercanda." Prilly mencubit dada Ali, pipinya memerah, tersipu.

"Aku serius. Aku enggak pengin kehilangan kamu lagi. Udah cukup selama ini kita berpisah. Mau, kan?"

"Kamu harus tanya sama orang tuaku."

"Iya. Aku bakalan ke rumah kamu dan melamarmu di depan Om Hans dan Tante Hesti."

Tak dipungkiri, ini yang sudah Prilly nantikan sejak lama. Dia lantas memeluk Ali dan menempelkan pipinya di dada bidang itu. Rasanya hampir tak percaya, dia bisa berada dalam pelukan Ali sekarang. Masih terasa seperti mimpi.

Matahari yang hampir tenggelam menampakkan warna hitam pada lautan yang terbalut oranye di sekitarnya, terasa indah dan seakan mengerti perpisahan mereka bukanlah akhir dari pertemuan selama ini. Tapi akan menjadi awal kehidupan baru yang nantinya akan diarungi bersama.

Ali membalas pelukan kekasihnya dengan penuh cinta. Untuk kali ini dia akan memastikan Prilly menjadi miliknya walaupun harus menunggu beberapa waktu lagi dan itu bukanlah masalah untuknya.

"Tolong jaga lagi hati yang aku titipkan ke kamu dan kembalikan nanti setelah kamu kembali. Satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintaimu dengan syarat." Ali mendekap kedua pipi chubby Prilly.

Prilly melepaskan dekapan tangan Ali di pipinya, lalu memicingkan mata, memahami maksud perkataan Ali yang mencintainya dengan syarat.

"Kok bersyarat lagi?"

"Iya, kamu mau tahu apa syaratnya?"

"Apalagi?" jawabnya malas.

"Dengan syarat foto kamu harus bersanding sama foto aku dengan background biru di buku nikah."

"Ali!"

Ali terkekeh. "Biar makin jelas kamu punyaku."

Ali kembali merengkuh pundak Prilly agar bersandar padanya.

"Jaga diri baik-baik di sana, aku akan tunggu kamu pulang, lalu kita sama-sama memulai kehidupan yang baru di sini. Aku juga akan lebih memantaskan diri untuk bisa mendampingimu sampai tua nanti."

"Terima kasih sudah memilihku, Li. Tolong jaga juga hatiku yang aku titipkan ke kamu. Aku bakalan belajar yang bener biar enggak buat malu kamu dan orang tuaku."

"Aku percaya itu."

Bersama dengan pulangnya mentari ke peraduan, Ali mencium kening Prilly.

***

Risau! Prilly menunggu kedatangan Ali. Hesti dan Hans yang memerhatikan Prilly sejak tadi mondar-mandir sambil melihat jam tangannya hanya menghela napas panjang.

"Sabar atuh, Neng. Mungkin Ali terjebak macet di jalan," ujar Hesty mencoba menenangkan Prilly.

"Tapi setengah jam lagi aku harus masuk ke pesawat, Mi." Bibir Prilly manyun, kesal sekali kepada Ali.

"Sini duduk dulu!" Hans menarik lengan Prilly pelan agar duduk tenang di sebelahnya. "Papi boleh tanya sesuatu sama kamu?"

"Boleh. Papi mau tanya apa?"

"Apa kamu beneran sudah resmi pacaran sama Ali?" Mata Hans mengerling, setengah menggoda Prilly.

Seketika pipi Prilly terasa hangat, dia tersipu malu. Prilly menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hesty dan Hans tertawa melihat tingkah konyol putri mereka.

"Dasar!" Hans mengacak kecil rambut Prilly.

"Papi jangan bikin aku malu dong." Prilly berkata tanpa menurunkan kedua tangannya dari wajah.

"Emang salah kalau Papi bertanya begitu? Papi berhak tahu dong?"

"Iya, tapi jangan langsung begitu. Berasa diintimidasi tahu!"

"Tinggal jawab iya atau belum, gitu aja kok malu segala," sergah Hans disusul kikihan kecilnya.

"Miiiiii ... Papi nih bikin aku kesel aja." Prilly mengadu seperti anak kecil.

"Eh, Ali." Bukannya menyahuti Prilly, Hesty malah menyambut kedatangan Ali yang tampak ngos-ngosan.

Mendengar nama Ali, langsung Prilly menurunkan kedua tangannya. Dia terperanjat dan langsung bersikap kaku di depan Ali. Jantungnya berdebar-debar kencang.

"Halo, Tante, Om." Ali menyalami dan mencium punggung tangan kedua orang tua Prilly. "Maaf ya, Pril. Aku tadi kejebak macet di jalan." Ali menjelaskan dengan senyuman terbaiknya, dalam hati Ali berharap Prilly memaklumi dan tidak marah padanya.

"Masih ada waktu, kalian ngobrol dulu deh. Papi sama Mami mau cari minum. Kalian mau pesan apa?" tawar Hans sambil merengkuh pinggang Hesty, bersiap melangkah.

"Enggak usah, Om. Terima kasih."

"Ya sudah. Om tinggal dulu, ya?" Hans dan Hesty pun melenggang pergi.

Awalnya sangat canggung, bingung mau membicarakan apa, sebab kemarin yang mereka bicarakan sudah cukup jelas semuanya. Ali duduk di sebelah Prilly.

"Buat kamu." Ali mengulurkan kotak hitam panjang, ukurannya kecil.

Prilly mengerutkan dahi sambil menerimanya. Perlahan dia membuka kotak itu. Pena emas yang Ali siapkan khusus untuk Prilly, terukir nama gadis pujaan hatinya itu.

"Makasih, ya? Aku akan menjaganya baik-baik."

"Kamu punya rencana buat melanjutkan novel keduamu?"

"Kalau ada waktu luang, insyaallah aku mau mulai mengetiknya. Kenapa?"

"Bisakah kamu fokus menyelesaikan kuliahmu dulu? Setelah wisuda, baru kamu mengerjakan itu."

"Iya, akan aku lakukan nanti setelah lulus."

Ali tersenyum lebar, dia mengacungkan kedua jempol kepada Prilly. Tak berapa lama telepon masuk di ponsel Prilly. Tertera nama Rana di sana, segera dia angkat.

"Pril, sorry gue enggak bisa antar lo ke bandara. Gue ada ujian hari ini," papar Rana terdengar buru-buru.

"Iya, enggak apa-apa kok, Ran. Besok kalau gue udah balik lagi ke sini, kita jalan sepuasnya ya? Lo masih punya utang sama gue, mau traktir gue kan?"

"Iya, iya. Gue buru-buru nih mau masuk kelas. Pokoknya lo hati-hati, jaga diri baik-baik. Oke?"

"Iyaaaaa."

"Dadah Prilly."

"Daaaah, Ran."

Panggilan itu diakhiri Rana. Prilly menyimpan kembali ponselnya di tas.

"Udah waktunya aku naik ke pesawat deh, Li." Prilly mengecek tiket dan paspornya, semua sudah lengkap.

Hans dan Hesti mendekat, mereka mengantar Prilly sampai di depan pintu pemberangkatan.

"Jaga diri baik-baik, ya?" pesan Hesty memeluk Prilly dan mencium kedua pipinya.

Prilly beralih memeluk Hans. "Jaga kesehatan dan jangan lupa makan yang teratur." Hans mengecup kening Prilly.

"Iya, Mi, Pi."

Ali menggenggam kedua tangan Prilly. "Aku menunggumu, cepat kembali."

Sementara menghiraukan keberadaan kedua orang tua Prilly, Ali menarik gadis mungil itu ke dalam pelukannya.

"Aku akan segera menyelesaikan kuliahku di sana dan kembali ke sini."

Setelah pelukan itu dilepas, Ali mencium kedua punggung tangan Prilly. Seeeer, rasanya darah Prilly mengalir cepat dari ujung kepala hingga kaki. Sekujur tubuhnya merinding.

Tak ingin membuang waktu lebih lama, Prilly melangkah sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Setelah melewati pengecekan tiket, Prilly menoleh dan melambai lagi. Ali memerhatikan Prilly sampai tubuh mungilnya tak terlihat lagi. Dalam dada Ali campur aduk. Ada perasaan tidak rela, tetapi dia harus melepas Prilly kembali ke Belanda untuk menyelesaikan pendidikannya.

"Ayo, Nak Ali!" ajak Hans menepuk bahu Ali.

"Iya, Om."

Selama mereka berjalan keluar bandara, banyak pertanyaan yang Hans lontarkan kepada Ali. Meski begitu, Ali menjawab setiap pertanyaan itu dengan santai dan apa adanya. Mereka berpisah di parkiran. Ali kembali ke kantor, Hesty dan Hans pulang.

***

LDR! Rasanya tuh sangat berat. Sedang dilanda kasmaran, tapi harus menjalani jarak yang jauh. Mereka hanya bisa menahan rindu dan menunggu waktu yang tepat untuk bertemu.

"Kak Ali, makan yuk!" ajak Selvi menghampiri Ali yang sedang duduk sendiri di baklon.

Sekarang Ali berusaha membantu Lika memenuhi kebutuhan rumah. Ali sadar bahwa Selvi dan Lika adalah tanggung jawabnya. Setelah Azka meninggal, Lika bekerja di kantor simpan pinjam.

Banyak perubahan dari sikap dan cara berpikir Ali. Yang pasti lebih dewasa dan bertanggung jawab. Sambil kuliah mengambil jurusan bahasa Indonesia dan sastra, Ali bekerja di penerbitan Al. Penghasilannya dari bekerja itulah yang dia gunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan membantu Lika.

Di meja makan tak banyak obrolan. Ali malah sibuk membalas pesan-pesan dari Prilly sambil sesekali menyuapkan nasi ke mulutnya. Lika dan Selvi yang melihat hal tak biasa itu malah heran dan saling pandang. Selesai makan, Ali membawa piringnya ke belakang dan mencuci. Setelah minum dia langsung masuk ke kamarnya.

"Ada apa sama kakakmu itu, Sel? Enggak biasanya seperti itu?" Lika mengerutkan dahinya menatap pintu kamar Ali.

"Selvi juga enggak tahu, Ma."

"Enggak ada cerita apa-apa kakakmu?"

"Enggak, Ma." Selvi menggeleng.

Lika menghela napas, dia menyelesaikan makan malamnya bersama Selvi. Sedangkan di kamar, Ali sudah melakukan video call dengan Prilly.

"Terus?" tanya Prilly dengan tampang penasaran.

"Ya aku bilang sama Om Al, kalau kamu bakalan menyelesaikan novel kedua setelah lulus kuliah."

"Kamu nih yaaaa ... padahal aku udah bilang sama Om Al, bakalan secepatnya nyelesaiin novel keduanya."

"Biarinlah! Pokoknya kamu fokus selesaiin kuliah. Aku juga mau fokus buat skripsi. Biar kita sama-sama lulusnya. Habis itu nikah!"

"Idiiiiih, tujuan selesaiin kuliah bukannya dukung cari kerja malah ngajakin nikah mulu ah!"

"Emang salah?"

"Enggak sih."

"Aku tuh cuma enggak mau kehilangan kamu lagi. Cukup sekali aku tersiksa ditinggal kamu pergi. Aku menyesal sudah mengabaikan kamu dulu."

"Udah yaaaa, jangan diungkit lagi. Itu perjalanan kita. Terpenting sekarang aku sama kamu sudah memutuskan bersama, ayo kita rencanakan hal terbaik untuk masa depan kita."

Mereka mengobrol hingga tak terasa sudah larut malam.

****

Hai, apa kabar? Aku berharap ada yang masih menunggu kelanjutan cerita ini ya? Sudah lama sekali cerita ini belum selesai. Tapi, insyaallah akan aku selesaikan sampai tuntas.

Mohon masukannya ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top