BAB 6: THOMAS YANG MALANG
Thomas menikmati hari ini dengan rasa syukur, ia mencoba menikmatinya dengan semilir angin yang menerpa wajahnya ketika ia berjalan masuk ke dalam supermarket, ia mencari kostum yang cocok, ia siapkan sendiri dengan ia beri sedikit make up. Thomas tidak menjadi badut yang penuh dengan bedak namun lebih tepatnya penawar produk, mungkin disebutnya sales di dalam supermarket atau apapun itu, ia mengatakan kepada iibunya ia hendak jadi badut di supermarket agar bahasanya mudah dimengerti ibunya.
Ibunya termasuk cuek dengan bahasa baru, ia tidak peduli dengan bahasa baru, ia hanya tahu kalau Thomas pergi ke supermarket di Jakarta, ia akan sukses. Thomas benar-benar bingung bagaimana menjelaskannya, ia merasa literasinya ia rendah, ibunya juga seperti itu. Sang ibu tidak berminat untuk memperdalam tentang pekerjaan anaknya, Thomas tidak memaksa karena ia mengerti setiap manusia punya jalannya masing-masing.
Thomas keluar dari ruangan ganti untuk menampilkan yang terbaik. Barang-barang sudah disiapkan, beberapa produk yang bisa menjadi alat untuk menghibur pengunjung telah disiapkan. Semuanya bisa terbilang baru. Thomas semakin merasa dadanya lebar, hangat oleh rasa syukur.
Thomas pun beraksi, ia mengambil mikrofon lalu beraksi di atas panggung, ia tersenyum dan menari-nari riang. "Di sini ada kemoceng, harganya murah, diskon dan berkualitas. Jika Anda membeli kemoceng ini, rumah Anda akan bersih!" ucapnya riang, para pelanggan ada beberapa yang langsung melihat-lihat barang, ada juga yang hanya sekedar lewat.
"Kemocengnya, Bu. Ayo kemocengnya."
Seorang ibu tersenyum lalu memgambil lima kemoceng. Thomas lalu bertepuk tangan, namun kebahagiaannya sirna ketika ada seorang anak seumuran sembilan tahun meneriakinya. "Eh bencong! Bencong! Kemoceng bencong! Saya bencong!"
Suara anak itu keras, ada beberapa pengunjung yang tertawa, bahkan orang tua si anak tidak marah malah tertawa melihat kelakuan anak mereka.
"Maaf ya Kak, anak saya kebanyakan nonton film jadi gini kalau godain orang."
Thomas merasa dadanya sempit, ia harus bersikap baik di tengah kekesalan yang ia terima. "Ya udah Bu nggak apa-apa, nih kemoceng saya kasih dua."
Si anak mungkin memang benar kata ibunya, kebanyakan nonton film, ia lalu mengambil kemoceng dari ibunya lalu menepuk ujung kemoceng yang bagian pembersih ke muka Thomas. "Nih, biar bersih."
"Eh, kamu jangan kurang ajar ya, nakal ya." Thomas hanya bisa menanggap dengan kelitikan saja."
"Huuh bencong, gak jelas!" umpat si anak kecil itu.
Thomas mencoba menahan diri, anak dan orang tua itu segera pergi meninggalkan Thomas yang mulutnya mulai manyun. Rupanya, Tania melihat hal itu dari jauh, Tania mengikuti keluarga itu dan memanggil mereka.
"Bu, maaf."
"Ya Mbak." Si ibu menoleh.
"Anda tadi sepertinya bercanda ya?" tanya Tania dengan tatapan yang tegas.
"Gimana Mbak maksudnya?"
"Maaf Bu, mungkin bercanda anak itu termasuk ke jenis yang bisa melecehkan. Ibu tahu kan, para wanita saat ini sedang berjuang untuk kesetaraan gender? Sekarang kenapa Ibu menertawakan pria yang sedang berjuang untuk keluarganya?"
"Maksud Mbak badut tadi?"
"Ya, dia karyawan sini dan dia rekan saya. Maaf Bu, mungkin Ibu harus menambah literasi lagi, banyak loh film yang mengajarkan memanusiakan orang lain, jangan dicontoh yang perbuatan buruk tadi."
"Mbak juga tidak mengerti kenapa saya begini sama anak saya. Dia lebih gila dari mas itu kalau ngamuk."
"Anda kok sudah memvonis mas itu ya? Padahal dia baik loh menahan diri agar tidak marah."
"Terserah sih Mbaknya, Mbak kan hanya karyawati di sini, paling tugasnya sapu-sapu saja. sana Mbak, nggak usah ganggu pelanggan."
Tania tersenyum, tidak mudah mengedukasi orang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top