BAB 34: TAKUT
Malam ini Ranum tidak bisa tidur, ia sudah berada di penginapan selama berhari-hari, kabur dari kejaran polisi. Ia yakin dirinya dan Thomas bisa kabur lebih lama asal polisi tidak menyelidiki daerah tempat ia dan Thomas kabur. Ranum sebenarnya bingung harus mengatakan apa namun sampai sekarang dirinya hanya diam, apalagi ketika Thomas merokok di dalam kamar sambil menatapnya.
"Kita harus bagaimana Ranum?" Thomas bertanya untuk kesekian kalinya.
Sepertinya tidak ada masa depan untuk mereka berdua, yang ada mereka akan terjembab di antara kegelapan yang tak henti, yang mereka buat sendiri, seolah tidak ada jalan lain untuk mereka kembali.
Kebahagiaan demi kebahagiaan ingin mereka raih, namun mereka seperti terkendala oleh keadaan yang memaksaa. Keadaan yang membuat mereka harus pasrah dan menerima kalau mereka seperti dihimpit kesedihan.
Ranum yang tidak punya siapa-siapa selain Thomas sementara sang kekasih harus juga bergulat dengan keadaan, bagaimana keluarganya tidak bisa menerima bahwa Thomas mempunyai kehendak bebas.
Kehendak bebas seperti tidak bisa didapatkan padahal itu adalah kunci kebahagiaan Thomas. Ayah dan ibu Thomas seperti dimanfaatkan keluarga paman dan bibinya yang membutuhkan bahkan bisa dibilang ketergantungan dengan keluarga Thomas.
Keluarganya seperti menggadaikan kebahagiaan Thomas untuk ditukar dengan derita, menanggung beban sehingga gaji yang harus dinikmati seutuhnya untuk Thomas malah diberikan kepada keluarga paman dan bibinya.
"Anjing!" teriak Thomas. Tidak ada jawaban dari Ranum. Kepalanya menumpuk Otak di kepalanya seperti sedang bersetubuh, ia benar-benar kalut.
"Thomas, maaf." Ranum menjawab.
Ranum mulai pucat, menatap wajah Thomas, pria yang lumayan kaya namun seperti dilempar tanggung jawab oleh keluarganya padahal tidak perlu. Paman dan bibinya masih punya anak bernama Tia.
Tia benar-benar tidak peduli tentang perasaannya, harusnya ia membiayai ibunya. Tia tampak seperti orang kaya yang tidak tahu bagaimana cara mengurus orangtua, ia malah membiarkan dirinya mengurus orangtua Tia.
"Tidak perlu minta maaf, aku sedang memikirkan Tia."
"Kenapa? Siapa dia?"
"Sepupuku yang bangsat itu! Oh ya! Tendanganmu bagus tadi. Menendang suster."
Pikiran Thomas berubah-ubah, antara Tia dan Ranum. Ia seperti tidak mempedulikan Ranum yang sedang ketakutan dan merasa bersalah. Thomas seperti orang gila. Perlahan ia matikan rokok yang ada di tangannya lalu dibuangnya ke tempat sampah.
Thomas mencoba untuk tersenyum, apalagi wajah Ranum tampak cantik di saat ia ketakutan. Perlahan tangan Thomas memegang pantat Ranum. Meremas-remasnya sesuka hati.
"Thomas ..." bisik Ranum.
Thomas makin agresif, tidak hanya meremasnya, ia melepas celana Ranum hingga tangan dingin Thomas menyentuhnya. Wajah pucat Ranum membuat Thomas terbahak-bahak. Entah kenapa Ranum seperti tertular, ia tertawa. Thomas membaringkannya lalu pergulatan di atas kasur terjadi.
Entah mereka tenggelam dalam kesepian sehingga mereka saling membalas tawa atau kebahagiaan sudah mereka dapatkan. Hanya ada jambakan dan desahan yang disaksikan oleh kursi sebagai saksi bisu.
***
"Kita harus menikah Tan. Aku nggak tahan. Aku ingin isi rahim kamu." Gavi berkata ketika Tania meminum kopi.
"Apa? bahasamu itu loh!" Tania terkejut, hampir tersedak.
"Kapan ya?" tanya Gavi.
"Aku tak tahu. Kamu kapan ngelamarnya?"
"Setelah ini selesai kan?"
"Oh iya, aku lupa. Kenapa aku malah bingung sendiri." Tania jadi bete.
"Aku merasa bersalah sama semesta dan kamu."
"Kenapa Gav?"
"Aku selalu berfantasi tentang kamu dan kadang aku ngerasa ikatan pernikahan bikin aku lebih tenang."
"Yah. Pak Gavi sudah dewasa."
"Kamu ngatain aku anak kecil?"
"Gav, kamu insecure?"
"Sedikit, aku ngerasa setelah dikhianati beberapa orang rasanya mendapat kebahagiaan itu adalah titik hampa. Sebenarnya aku bahagia setelah ketemu kamu tapi kayak rasanya—"
"Jangan dilanjutin." Tania menutup bibir Thomas dengan telunjuknya.
"Manusia itu wajar suka nggak nyaman tapi bukan salah kamu kalau orang lain nggak suka sama kebahagiaan kamu. Kenapa? Kamu mikir sudah memberikan gaji mereka dengan baik? Sepertinya itu bukan sesuatu yang mereka bahagia kalau cara mereka memperlakukan orang lain dengan urakan."
"Menurutmu Ranum dan Thomas urakan?"
"Iya, dan ingat Sayang, apapun yang terjadi kamu, aku berhak bahagia. Jangan mempertanyakan perasaan kamu. Jujur."
"Tania, aku mau jujur, aku mencintai kamu dan jujur aku ingin menikahimu karena kamu cantik terus pintar."
"Tegas dan seksi," balas Tania.
Mereka berdua tertawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top