Tempat Penitipan Anak
[originally made by me, TheRedFoxx]
[konten mature kekerasan, meski tidak diperlihatkan]
"Hei, Gina!"
Teriakan itu spontan membuyarkan lamunanku. Aku langsung menoleh ke sumber suara. Ternyata itu suara temanku, Nilda.
"Sudah puas melamun heh?" tanyanya seraya berdecak pinggang.
Aku memutar mata, "Aku tidak melamun."
"Jangan bohong ah. Kamu tiga kali aku panggil, baru noleh," jawab Nilda sambil terkikik geli. "Emang apa sih yang menarik dari Tempat Penitipan Anak itu?" lanjutnya penasaran.
Aku hening sejenak. Entahlah, sebenarnya tidak ada yang menarik dari Tempat Penitipan Anak dengan cat mengelupas di mana-mana dan suara cit cit sesekali terdengar dari sana. Entah sejak kapan Tempat Penitipan Anak ini ditutup. Bahkan aku tak pernah tahu kapan tempat itu dibangun. Sebenarnya aku tidak tahu apakah tempat itu buka atau tutup. Hanya saja, tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di sana dan tempat tersebut dipenuhi garis kuning polisi, sehingga bisa disimpulkan tempat ini ditutup. Aku tidak tahu mengapa, tetapi disaatku menatap jendelanya yang ditutupi koran sebentar saja, pikiranku langsung melayang.
"Nah kan, melamun lagi!" pekik Nilda sebal.
"Ah sudahlah, ayo kita pulang!" kataku sembari menarik tangan Nilda, menjauhi wilayah itu sebelum pikiranku terbang kembali.
***
Aku menatap layar monitor dengan malas. Tidak ada yang menarik di youtube. Entah dari mana, tiba-tiba muncul ide untuk mencari tentang Tempat Penitipan Anak itu. Detak jantung memburu, seiring huruf per huruf muncul di layar, membentuk nama Tempat Penitipan Anak itu. Warna Kasih.
Sepanjang yang kulihat, hanya muncul iklan-iklan unfaedah ataupun prestasi dari anak yang (dulu) dititipkan di situ. Aku nyaris saja mematikan monitorku kalau saja salah satu berita itu tidak menarik perhatianku. Tanpa ba bi bu, aku langsung mengeklik berita tersebut.
Dunia Gelap di Balik Tempat Penitipan Anak "Warna Kasih": Apakah Benar Sang Pemilik Kanibal?
(01/12/2016) Tempat Penitipan Anak "Warna Kasih" adalah sebuah tempat penitipan yang cukup misteri. Bagaimana bisa? Hal ini dikarenakan banyak yang tak mengetahui tempat ini. Bahkan hanya sedikit anak yang pernah dititipkan di sini. Bagaimanapun anak-anak itu terkenal akan 2 hal, yaitu akan prestasinya dan akan kabar kehilangannya. Pada tanggal 6 Mei 2016, semua anak di penitipan tersebut hilang tanpa jejak. Polisi sudah melakukan investigasi berbulan-bulan, namun tidak ada yang mereka dapatkan. Pada tanggal 8 Oktober, Polisi kembali menginterogasi Mrs. Silvercrown, pemilik sekaligus pengurus TPA Warna Kasih. Saat itu, polisi pun memutuskan untuk memberikan titah penutupan TPA Warna Kasih sampai waktu yang tidak ditentukan. Hingga tanggal 28 November, tidak ada tanda-tanda penutupan dari TPA ini. Polisi pun mengambil langkah lebih jauh dengan menutup dan menyegel secara paksa. Sampai sekarang tidak ada yang tahu di mana anak-anak malang ini. Tersebar kabar kalau sang pemilik sebenarnya seorang kanibal. Rumor ini didukung dengan penemuan beberapa pisau dengan noda darah yang dikubur di halaman belakang rumah. Saat Polisi masuk secara paksa, tidak ditemukan kehadiran Mrs. Silvercrown. Begitu pula di rumah dan di tempat lain. Keberadaan Mrs. Silvercrown pun lenyap seperti anak-anak lainnya. Terlepas dari rumor aneh itu, berikut adalah nama para anak yang hilang:
-Jessena Elva (10)
-Fred Dominica (13)
-Herissa Kasitajaya (9)
-Baturasita Amandaputri (6)
-El Hans (11)
Jika anda melihat mereka, silahkan hubungi nomor berikut 082254984817.
"Jadi itu mengapa tempat tersebut dipenuhi garis polisi," gumamku. Aku mengambil handphoneku, memotret berita itu, dan langsung mengirimkannya kepada Nilda. Entah ada angin apa, aku mengirimkan sebuah pesan yang menentukan hidup dan matiku.
'I dare us to go there tomorrow.'
***
"Gina, kau yakin kita masuk ke situ? Masih ada kesempatan untuk kembali," bisik Nilda gemetaran. Sebaliknya, aku justru dengan penasaran menyentuh garis polisi yang warnanya memudar.
"Astaga Nilda. Kenapa kamu seperti tikus ketakutan begitu?" ujarku terkikik geli melihatnya.
"Oh my Gina, there are something in here! Of course I am scared," pekik Nilda tertahan ketika mendengar sesuatu berderit. "Apa itu?" tanyanya sembari berlindung di belakangku.
"Seperti suara pintu terbuka. Ayolah, lagipula kamu sudah setuju untuk ikut denganku," kataku sembari menarik tangannya bersemangat. Benar saja, sebuah pintu (yang nampaknya pintu belakang) terbuka kecil. Sepertinya engsel pintu tersebut sudah tidak berfungsi.
Kami pun perlahan masuk ke dalam. Kondisi ruangan di dalam sangatlah gelap, Nilda bahkan menyalakan senter di HPnya agar dapat melihat sekitar. Langkah kami terdengar menggema seiring dengan langkah kecil para laba-laba yang mendeteksi pendatang asing.
"Ey, lebih baik kita pergi dari sini. Something wrong in here, Na!" desak Nilda. Tepat setelah mengatakan itu, terlihat seorang gadis kecil mengintip dari ujung lorong. Saat menyadarinya, Nilda langsung membeku ketakutan. Aku sebaliknya, justru mendekat dengan penasaran. Aku ingat wajah gadis ini. Salah satu gadis dalam foto koran itu.
"Elva, Jessene?" ucapku pelan. Gadis itu mendelik ke arahku dan berlari ke ruangan lain. Aku langsung mengikutinya, sementara Nilda di belakangku mencicit ngeri. Terdapat lorong yang menghubungkan dua ruangan itu. Cukup panjang, namun dipenuhi lampu kristal dan foto-foto usang. Kerap terdengar suara kikikan kecil. Sesampainya di ruangan lain itu, si gadis, yang sepertinya bernama Jessene menarik karpet yang ternyata menutupi sebuah lubang rahasia. Terdapat beberapa anak tangga untuk masuk ke dalamnya. Jessene mengibaskan tangannya, mengisyaratkan mereka untuk ikut turun. Menyadari Nilda yang hanya terpaku, aku pun mendesaknya.
"Ayolah, Da."
"No no, this place is f*cked up, Na. Firasatku gak enak," bisik Nilda tertahan. Tanpa kami sadari sebelumnya, gadis itu berhenti di tengah tangga, menatap kami—oh, lebih tepatnya Nilda—dengan penuh kebencian. Tak sampai 1 menit, Ia kembali berbalik dan menuruni tangga. Dalam hati, aku menghela napas lega. Ada apa gerangan? Mengapa Ia menatap kami sedemikian rupa?
"Hei Nil. Semakin cepat kita turun, semakin cepat kita naik dan pulang. Lagipula, sepertinya mereka membutuhkan pertolongan kita," kataku sembari memegang tangannya, memohon. Ia mengernyit tidak setuju, namun akhirnya Ia kembali menuruni tangga.
Sesampai di bawah, kami menemukan berbagai barang yang ditutupi kain putih. Entah mengapa ditutupi. Tapi bukan itu yang kami perhatikan, melainkan 5 anak yang kami kenali. Para anak hilang.
"Halo, Kakak," sapa seorang anak yang nampaknya paling tua di sana.
"Kau Fred? Fred Dominica?" tanyaku memastikan. Ia mengangguk. Aku pun menoleh ke arah anak-anak lain "Herissa? Baturasita? El? Dan kau ... Jessene, yang tadi membawa kita ke sini kan?" . Mereka—kecuali Baturasita—mengangguk.
"Tapi Kakak tidak seratus persen benar. Itu bukan nama panggilan kami yang sebenarnya. Aku Riska, gabungan Rissa dan Kasita," kata seorang bocah dengan rambut digepang dua.
"Aku lebih suka dipanggil Freddy," kata Fred sambil tersenyum dingin. Nilda tampak kembali membeku ketakutan ketika melihat senyumannya.
"Jessena. Sena," jawab Jessena pendek.
"Aku Hans, Kakak," kata Hans riang sembari membetulkan kacamata bulatnya.
Selang beberapa detik aku menunggu lanjutan dari Baturasita, tetapi tidak ada suara. Aku pun mengalihkan pandangan ke arahnya, berusaha tersenyum. Gadis kecil itu duduk sembari memainkan bonekanya dengan cuek.
"Maaf, tetapi Ita tidak bisa bicara sejak lahir," jelas Riska. Aku mengangguk pelan.
"Ah ya, namaku Gina," ujarku memperkenalkan diri. Sepertinya anak-anak menunggu perkenalan dari Nilda, tetapi Ia sibuk mengurusi ketakutannya.
"Apakah kakak yang itu juga lidahnya tidak ada?" ceplos Hans spontan membuat kami terkejut. Karena kupikir Ia hanya bercanda, aku pun segera menjawab, "Tidak, tidak. Ia hanya ketakutan. Namanya Nilda.". Suana pun langsung sunyi sejenak.
"Mengapa kalian di sini? Apakah ... Mrs. Silvercrown mengurung kalian?" tanya Nilda mendadak. Entah mengapa Freddy tersenyum sinis saat mendengarnya.
"Si nenek tua bangka itu? Ah, dia meninggalkan kami di sini. Mungkin dia berpikir sama seperti orang tua kami, kalau kami hanyalah sebongkah sampah. Tidak berhak mendapatkan dunia dan hanya mengotori lingkungan. Tidak apa-apa, toh Ia sudah dekat dengan akhirnya," kata Freddy dengan nada yang mengerikan. Nilda menyenggolku, menyatakan ada sesuatu yang salah.
"Lalu mengapa kalian tidak kembali ke orang tua kalian?" tanyaku lagi.
"Freddy sudah mengatakannya, Kakak. Orang tua kami tidak memerlukan kami. Mereka tidak bisa tidur karena kami. Jadilah kami di sini. Untungnya, sekarang mereka sudah tidur. Dan kami tidak ingin menganggu tidur panjang mereka," jelas Hans. Ada yang janggal dari penjelasan mereka.
Tangan kecilnya tiba-tiba memegang tangan Nilda. Wajah Nilda semakin pucat. "Nah Kakak Nilda, ceritain dong apa yang berita katakan tentang kehilangan kami.". Mata Nilda mulai sembab. Nampaknya Ia menahan diri agar tidak menangis ketakutan. "Aduh Kakak, kenapa diam saja? Kakak ... takut?" kata Hans lagi menekan bagian 'takut'. Nilda akhirnya membuka mulutnya, "Me ..., mereka pikir Mrs. Silvercrown menculik dan memakan kalian. Mereka pikir M, Mrs. Silvercrown kani ... bal,".
"Brilliant!" pekik Sena membuat aku dan Nilda kaget. Mendadak sebuah tongkat baseball mengayun dan terdengar suara pukulan tongkat disertai sesuatu yang menghantam lantai.
"Nilda!" pekikku tertahan. Nilda tergeletak tak sadarkan diri dengan bercak darah dan lebam biru di dahinya. Pandanganku seketika teralih kepada Freddy, dengan tongkat baseball di tangannya. "Apa yang telah kau lakukan?!".
Aku bergerak hendak mengambil HP, meminta pertolongan. Namun sebuah pisau ditodongkan ke leherku. "Don't," bisik Sena pelan, membuat bulu kudukku berdiri. Aku duduk di kursi yang entah sejak kapan di sana ketika Riska memerintahkanku, dengan senyum sinisnya. Bahkan aku hanya terdiam saat tali temali mengikat kencang sekujur tubuhku, membuatku susah bernapas, apalagi bergerak.
"Aku suka banget deh ama Kakak. Aku dari dulu suka tali temali. Kakak pintar banget, gak ngelawan waktu aku ikat. Kalau si Nenek malah ngelawan sambil menjerit, makin susah deh. Tapi sebenarnya si Nenek lebih seru sih. Ehehehehe," cerita Riska dengan tawa menggema.
"Tunggu, tunggu. Jadi kalian ...,"
"Koran nyaris benar, tapi tidak seratus persen benar, bahkan mereka terbalik. Nenek itu tidak pantas untuk memakan daging kami yang indah ini ...," Freddy menjeda sebentar. Tiba-tiba senyumannya menjadi liar. Ingin rasanya aku teriak, tapi tak bisa. Bahkan aku tidak tahu lagi apa kabar Nilda.
Mereka pun membuka berbagai barang yang ditutupi kain itu. Terekspos jelas berbagai jenis pisau, dari pisau roti hingga pisau sebesar gergaji. Terlihat pula berbagai benda tajam lain, seperti panah, tusuk gigi, dan lain-lain.
"Tapi kami. Kami bebas melakukan apa yang kami inginkan. Dan daging Nenek iu yang kami butuhkan. Cukup alot memang. Tapi cukup mengenyangkan kami. Iya, si tua bangka itu sudah mati di tangan kami yang hina namun suci ini. Ihihihihiiiii. Hmhm, sungguh keajaiban dua orang gadis yang hangat dan lezat mendatangi kami. Apakah kalian malaikat? Kalau begitu, biarkan kami memulai perjamuannya!" ucap Freddy lagi panjang lebar. Aku yang semakin mabuk dalam ketakutan, sudah tidak paham lagi apa yang Ia katakan. Tiba-tiba terdengar suara Riska yang berseru, "Biarkan si aadik kecil melakukan first bite!".
Aku merasakan langkah kecil mendekatiku. Aku segera mengangkat wajahku. Ita berdiri di depanku, dengan tatapan membunuh dan boneka yang selalu Ia pegang itu. Mendadang Ia membuka mulutnya, memamerkan gigi-gigi tajam nan berkilaunya tetapi hal yang lebih parah adalah ...
"Kamu tidak punya lidah," gumamku kaget. Tanpa kusadari, sebutir air mata meluncur dari mataku. Perkataan itu menjadi kata-kata terakhirku karena setelah itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Teriakan, tawa, tangisan, semua menjadi satu. Maafkan aku Nilda. Seharusnya aku mempercayaimu.
[The End]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top