Short Story: My Special Clover
[Aku tahu ini bukan cerita horor atau sejenisnya. Tapi yah sudahlah. Hope you enjoy it and thanks for 7k readers di wattpad. Ailafyu! 💞]
"Ibu, bagaimana awal pertemuan Ibu dengan Ayah?"
Ucapan gadis kecil itu nampaknya berhasil memantik percakapan pada sarapan yang sunyi ini. Si Ibu menoleh kepada Ayah seraya tersipu.
"Kenapa kamu menanyakan hal tersebut, Clover?" tanya sang Ibu seraya meneguk teh pelan.
"Apakah butuh waktu yang lama untuk kalian saling mendekati? Atau kalian sudah dekat sejak awal?" lanjut gadis bernama Clover itu tanpa memedulikan pertanyaan Ibunya. Spontan Ayahnya tertawa pelan.
"Ish, kenapa cuman diketawain sih?" jawab Clover kesal. Pipinya menggembung seiring wajahnya mulai cemberut. Namun Ia tetap mendekat ke arah Ibunya. Dengan berbisik, Ia kembali bertanya, "Atau ada seseorang atau sesuatu yang mendekatkan kalian? Siapa?". Sementara itu Ayahnya terkikik lagi dan mengerlingkan mata geli.
"Jangan memandang anak kita dengan tatapan geli itu, Rick. Dia hanya penasaran," kata Ibu pelan. Kemudian Ia mengelus lembut rambut Clover, lalu berkata, "Cepat atau lambat itu relatif. Yang mendekatkan kami? Tentunya kamu dong. Our Clover, the special and the unique one,".
Pipi Clover menggembung kembali. Ia tidak puas dengan jawaban Ibunya. "Ah Ibu, aku serius tau," serunya sebal.
"Lah beneran lo, emang kamu orang yang paling mendekatkan kami," ujar Ayah sok serius. Namun langsung tertawa melihat Clover mengeluarkan 'tampang monyet'nya. Memang mereka sepasang ayah dan anak yang jahil, terutama saat sarapan dan makan malam. Sesaat setelah mereka menyelasaikan sarapan, Ibu buru-buru mencuci peralatan makan bekas pakai. Kemudian Ibu berjalan cepat menuju pintu ruang kerjanya.
"Ibu harus segera kembali bekerja. Masih banyak yang harus Ibu selesaikan."
Clover buru-buru mengikuti Ibunya, "Aku ikut juga ya!". Tanpa diduga, raut wajah Ibunya berubah. "Tidak boleh! Di bawah terlalu berbahaya untuk anak kecil sepertimu!" jawab Ibu tegas. Belum sempat Clover membantah, Ibu sudah lenyap di balik pintu ruang kerja. Seperti biasa, Ibu tak lupa mengunci pintunya agar tidak ada yang berani mengendap-endap masuk.
"Hei, mau es krim?" tawar Ayah yang berhasil mencerahkan wajah Clover. Clover kembali duduk di kursi, menikmati semangkuk es krim cokelat dari Ayahnya.
Namanya Clover. Clover Amraphael Orangewood. Genap berumur 10 tahun pada 2042 ini. Orang-orang mengatakan kalau wajahnya sangat mirip dengan Ibunya di masa kecil, namun matanya yang hijau emerald dan perilakunya nyaris sama dengan Ayahnya. Ibunya sendiri bernama Avriel Nirima. Clover tidak pernah tahu pekerjaan Ibunya, namun Ibunya sering menghabiskan waktu di dalam ruang kerja bawah tanahnya itu. Entah mengapa, Ibunya tak pernah memerbolehkan Clover masuk ke ruang kerjanya. Sang Ayah pun hanya beberapa kali masuk ke situ. Seiring waktu rasa penasarannya semakin membuncah, Ia merasa seakan-akan Ia dipanggil masuk ke dalam sana oleh energi aneh. Dalam hati Ia bertekad akan ke sana jika ada kesempatan dan semoga saja kesempatan itu datang—
"Little Clover, Ibu pergi berbelanja sebentar ya. Ada yang Ibu perlukan," ujar Ibu terburu-buru, meninggalkan pintu kerja tanpa ditutup.
SEKARANG!
Clover perlahan bangkit dari sofa. Ia melihat sekeliling terlebih dahulu.
"Ibu berbelanja paling tidak 45 menit. Ayah masih kerja. Jam 5 sore baru sampai rumah. Sepertinya 30 menit saja sudah cukup untuk mengeksplorasi ruang kerja Ibu," gumam Clover memperhitungkan keadaan.
Perlahan tapi pasti, Clover masuk ke dalam pintu tersebut. Ternyata beberapa anak tangga sudah siap menunggunya.
"Hm, mengapa Ibu harus membuat ruang kerja di bawah tanah? Bukankah membuat ruang tambahan di atas tanah lebih gampang?" gumam Clover lagi sembari melompati undakan anak tangga.
Clover terkesiap ketika melihat pemandangan di bawah. Jika Clover berpikir ruang kerja Ibunya hanyalah ruang kecil persegi dengan meja-meja kantoran dan kertas-kertas berserakan, maka pikiran itu sangat meleset. Ruangan kerjanya sangat luas. Bahkan melebihi luas rumah asli mereka. Dindingnya biru muda pualam dengan lantai keramik putih. Terlihat alat-alat seperti tang, bongkahan batu aneh, palu, dan masih banyak lagi. Ada yang tergantung rapi, sebenarnya lebih tepat disebut melayang karena menggunakan teknologi magnet terkini. Namun ada juga yang berserakan di sekitar benda raksasa yang ditutupi tirai abu-abu. Di sebelah tirai tersebut, terdapat meja kaca luas dengan sehelai kertas di atasnya.
Bagaikan terhipnotis, tangan kecil Clover menggeser tirai itu. Kaget, Clover terdiam menatap sebuah benda, mungkin sejenis mesin atau kendaraan dengan warna hijau muda di depannya. Kendaraan itu menggunakan teknologi terkini, melayang tanpa perlu roda. Mesinnya berbunyi halus, tanda Ibu lupa mematikannya. Tidak ada asap yang keluar dari kendaraan ini, tanda semakin ramah lingkungannya teknologi terkini.
"Apa ini?" kata Clover dengan takjub. Ia pun menuju meja kaca yang sepertinya meja kerja Ibunya. Ia mengernyit bingung melihat sehelai kertas yang menguning tergelatak di atas meja tersebut. Ia merasa aneh karena meja kaca Ibunya bukan sembarang meja. Meja itu berteknologi maju sehingga bisa digunakan untuk mengakses, menyimpan, atau mengirim file apapun. Lalu, mengapa Ibunya masih menggunakan sehelai kertas yang menguning, yang bahkan jika disentuh dikit saja bisa robek?
Clover pelan-pelan meraih kertas itu, takut kalau kertas itu memang rapuh. Ibu pasti marah besar jika Ia tidak sengaja merobeknya. Lagi-lagi Ia dibuat bingung. Kertas itu berisi tentang mesin waktu, bahan apa yang mungkin bisa menciptakan mesin waktu, apa saja yang harus dilakukan, dan penjelasan aneh lainnya. Yah, walaupun dia tahu teknologi sekarang jauh lebih canggih dibanding ketika Ibunya baru lahir, yaitu tahun 2005, Ia tidak pernah tahu manusia—bahkan dia adalah Ibunya—sudah berhasil menciptakan mesin waktu. Clover mencoba membuka file di meja tapi meja itu dilindungi password. Takut mendapat masalah, Clover pun tak berani mencoba-coba dan masuk ke dalam mesin itu dengan kertas menguning siap di tangannya.
Meski tak pernah masuk pesawat luar angkasa, Clover yakin benar kalau ruangan di dalam pesawat itu kurang lebih sama dengan mesin ini. Yang membedakan, terdapat beberapa tombol dengan slot angka khusus di depan kursi kemudinya. Baru saja Clover melangkah masuk, semua lampu di pesawat itu tiba-tiba menyala. Kursi kemudinya sigap bergerak ke arahnya. Entah bagaimana caranya, Clover dilempar paksa ke kursi tersebut. Dengan cepat, kursi itu kembali ke depan tombol-tombol aneh, yang mungkin tombol kendalinya. Entah kenapa Clover tergoda untuk mencobanya. Well, sepertinya Ibu belum pernah menguji alat ini dan Ia akan memerlukan seseorang yang tulus untuk mengujinya. Toh aku mau. Kalau aku berhasil, aku bisa membuktikan kalau Mama berhasil kan?
Clover kembali membaca kertas tadi. Ternyata di situ tertulis cara-cara mengaktifkan mesin waktu itu. Sebelum membacanya, Clover berpikir dahulu ke mana Ia harus pergi. Ia tidak ingin pergi ke tahun saat Ibunya baru lahir, karena bisa jadi Kakek dan Nenek akan ketakutan. Kalau tahun saat Ayah dan Ibu menikah, rasanya akan awkward. Tiba-tiba muncul sesuatu di pikirannya. Tanpa ba bi bu, Ia mengikuti pikirannya, Ia akan menuju ke zaman ketika Ibunya berumur 13 tahun.
"Um, slot pertama untuk tanggal dan bulan yang dituju? Aku tidak tahu kapan persisnya, tapi yah coba saja 7 Juli. Kalau 7 Juli berarti ketiknya ... 0707 kan? Lalu slot kedua ... tahun? Seharusnya 2018 Ibu sudah berumur 13 tahun. Slot terakhir jam, menit, dan detik. Astaga, asal aja deh. Jam 15, menit 20 detik 20. Kata si kertas, setelah itu pencet confirm. Kemudian putar tuas warna merah, lalu geser ke kiri. Terakhir, tekan tombol teleport. Eh? Oh, harus make sabuk pengaman dulu baru bisa toh. Oke sekarang ... PENCET!".
Tepar setelah Clover memencetnya, Ia merasa benda di sekitarnya berguncang. Tiba-tiba seperti ada muntahan cairan abu-abu, Ia tidak bisa melihat apa-apa lagi di jendela mesin tersebut. Ia mulai pusing akibat guncangan tersebut. Potongan-potongan memori yang sudah Ia lupakan kembali muncul. Nafasnya mulai tak teratur. Ia rasanya ingin muntah. Jantungnya berdebar seperti gong yang terus dipukul. Tepat ketika Ia nyaris memuntahkan isi perutnya, pandangannya menjadi putih. Awalnya putih, namun pelan-pelan Ia kembali melihat jelas lagi.
"Hei, kau kenapa?"
Clover spontan langsung menoleh ke arah sumber suara. Clover terperangah mendapati seseorang yang menanyainya tadi sangat mirip dengan Ibunya, hanya saja suaranya lebih renyah.
"Nirima?" panggil Clover spontan. Ia pun langsung merutuki kebodohannya.
"Eh, kamu tahu namaku? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya seseorang yang ternyata memang Nirima kecil.
"Se, sepertinya begitu. Maaf kalau aku gak sopan. Ini ... di Mall yak?" tanya Clover kebingungan. Nirima hanya mengangguk dengan tatapan aneh, pastilah Ia bingung mendapati gadis 10 tahun menanyakan hal itu. Yah, sebenarnya Mall tahun ini tidak jauh berbeda dari tahun asalku hanya saja ... terlihat lebih kuno.
"Um, yak. Kamu ... siapa?" tanya Nirima gugup. Clover pun bimbang, harus jujur atau tidak.
"Kalau aku jujur, kamu pasti tidak percaya," ujar Clover sembari mengangkat bahu. "Ah sudahlah, katakan saja!" seru Nirima tidak sabar. Akhirnya Clover pun berbisik, "Namaku Clover dan aku anakmu dari tahun 2042.".
Seketika suasana hening. Raut Nirima tak bisa diartikan. Namun mendadak Ia tertawa, "Hahaha ada-ada aja kamu ini. Kebanyakan baca cerita fiksi ilmiah ya?".
Clover langsung menggembungkan mulutnya. "Ish, aku gak ngarang. Ini beneran!" katanya kesal.
Setelah berhasil menuntaskan tawa, Nirima mulai mengamati Clover. "Yah, setelah dilihat-lihat penampilanmu lebih modern sih. Bajumu lebih mengilap dan halus. Bahan apa yang kalian gunakan di masa depan untuk membuat pakaian?" selidik Nirima penasaran. "Aku lupa apa namanya. Yang pasti itu teknologi terbaru pada masa kami," balas Clover cepat. Ia ingin menanyakan sesuatu secepatnya dan segera kembali sebelum ketahuan Ibu.
Nirima mengangguk dan segera menatap manik mata gadis 10 tahun itu. "Wajah kita nyaris sama ya. Hanya mata kita yang berbeda. Eh, apakah itu warna mata suamiku kelak?" tanya Nirima dengan wajah memerah. Clover mengangguk kuat dan langsung bertanya. "Nah kebetulan aku juga ingin bertanya tentang hal itu. Apa yang mendekatkan kalian berdua? Bagaimana ceritanya?".
Wajah Nirima berubah menjadi bingung, "Eh, aku bahkan tidak tahu siapa suami masa depanku.".
"Oh, kalau ... cowok yang selama ini dekat dengan kamu?" tanya Clover lagi.
"Aku selama ini jarang dekat dengan cowok. Bahkan aku menjauhkan diri dari mereka," balas Nirima kebingungan.
"Hm, membi—,"
Plafon mall di atas mereka tiba-tiba runtuh, disertai suara ledakan dan menjulurnya lidah-lidah api. Tak sampai semenit, lagi-lagi terjadi ledakan yang cukup besar, membuat mereka berdua terlempar. Kaca etalase toko-toko pecah berserakan. Terdengar suara orang-orang berteriak. Keadaan menjadi tidak terkendali. Suara sirine darurat ikut mericuhkan keadaan.
Nirima mencoba bangkit. Seluruh tubuhnya serasa remuk. Terdapat luka melintang di lengannya dengan beberapa memar di sekujur tubuhnya. Namun yang Ia pikirkan sekarang bukan itu. "Clover!" seru Nirima mencoba membelah kericuhan. Ia mencari di antara puing-puing, beharap menemukan Nirima seutuhnya, tanpa luka berat. Sayangnya yang Ia temukan selanjutnya menghancurkan harapannya. Ia jatuh berlutut, menatap gadis kecil dengan kakinya yang hancur. Tak hanya kakinya, kepalanya terlihat berdarah, sementara bercak darah menghias bagian tubuhnya yang lain. Mata Clover sayu menatap Nirima dengan senyum lemah yang tak akan Ia lupakan.
"Ku... sayan mam," ucapnya putus-putus. "Pergi. Ba, aya.". Tidak! Seru Nirima dalam hati. Ia harus menyelamatkan Clover, apapun yang terjadi. Dari jauh terlihat seorang remaja berumur 15 tahun berlari ke arah mereka.
"Hei di sini berbahaya, ayo pergi!" serunya sembari menarik tangan Nirima. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkan an—maksudku dia!" balas Nirima sengit, mempertahankan posisinya. Lelaki itu langsung menoleh ke arah Clover yang bersimbah darah.
"A, yah."
Nirima tersadar akan sesuatu. Mata emerald mereka sama persis! Lelaki itu tanpa memikirkan apa yang Clover ucapkan, langsung mengangkatnya pelan-pelan. Tanpa peduli pakaiannya ternodai darah. Tanpa peduli terhadap realita kalau anak itu tidak mungkin bisa diselamatkan. "Ayo cepat!" seru lelaki itu kepada Nirima. Tanpa mereka sadari, Clover tersenyum. Ia menghabiskan sisa-sisa energinya untuk tersenyum sepenuhnya. Ia tidak hanya bisa melihat Ibunya, Ia juga bisa melihat Ayahnya. Ia akhirnya bisa tahu bagaimana Ayah dan Ibunya berjumpa. Dan yang paling penting, Ia tahu kalau Ayah dan Ibunya selalu menyayangi Ia, bahkan sebelum Ia lahir. Pandangannya mulai memutih. Ia merasa lelah, namun damai.
Aku mengantuk. Aku boleh tidur sebentar kan?
.
.
.
Nirima tersentak, mendapati dirinya di ruang makan yang beberapa jam lalu dipenuhi gelak tawa sang buah hati. Satu jam yang lalu, Nirima menemukan rumahnya lenggang, dengan pintu ruang kerjanya terbuka. Ia pun segera menebak apa yang terjadi. Memori itu kembali muncul secara jelas, bahkan terlalu jelas. "Jadi itu terjadi kembali," gumam Nirima. Ia mulai menangis. Ia mulai menyalahkan dirinya yang membuat mesin waktu itu. Ia mulai menyalahkan dirinya yang tidak menutup pintu kerja dengan benar. Ia mulai menyalahkan dirinya yang berdiam saat Clover mendorongnya, menjauhkannya dari bom yang dilemparkan ke arah mereka. Ia mulai menyalahkan dirinya yang tak langsung percaya kalau Clover memang anak semata wayangnya, Little Clovernya.
Suara pintu terbuka tidak Ia hiraukan sedikit pun. Ia sudah terlarut dalam duka seorang Ibu yang kehilangan anaknya. Suaminya menutup pintu dan langsung duduk di depan Nirima.
"Sampai detik ini, Polisi belum menemukan apa-apa. Tapi aku yakin, Clover tidak apa-apa," kata Rick lembut.
Nirima mengangkat kepalanya, menatap mata suaminya. Tersirat duka dan ketakutan di sana. Namun Rick berusaha tegar di hadapannya. "Kau tahu dia tidak baik-baik saja. Kita berdua melihat sendiri keadaannya dua puluh empat tahun yang lalu. Ini semua kesalahanku," ucapnya terisak pelan.
Rick pun termanggu. Ia masih ingat bagaimana reaksi Nirima dulu saat dokter berkata nyawa Clover tidak bisa diselamatkan. Rick kesulitan mengantar Nirima pulang, namun ternyata Nirima hidup di sebuah Panti Asuhan swasta. Ia menjelaskan semuanya kepada Ibu Pengurus. Bahkan Rick seringkali berkunjung ke situ, menjenguk Nirima. Kata Ibu Pengurus, Nirima sering mengigau dan menjerit. Ia juga semakin mengasingkan diri dari dunia luar. Namun lama-kelamaan, dengan gandengan Rick, Nirima berhasil mengusir mimpi buruknya. Kemudian mereka berpacaran, dan akhirnya menikah. Rick sempat tegang melihat wajah Clover, persis seperti gadis yang dulu meninggal. Namun Ia tidak pernah tahu kalau hal ini akan terjadi. Kalau gadis kecil itu memanglah Clover.
"Hey," panggil Rick pelan. "Itu bukan kesalahanmu. Kamu ingat bagaimana kamu bersikukuh untuk menyelamatkannya, meski kamu bingung? Kalau kamu meninggalkannya, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada Clover. Mungkin ini salahku sudah menahanmu sebentar," jelas Rick berusaha menenangkan.
Nirima langsung berhenti terisak, "Tidak, ini bukan karenamu. Kalau kamu tidak membawanya, aku jauh lebih tidak tahu apa yang akan terjadi.". Setelah berkata seperti itu, Nirima pun terdiam.
"See? Kita sudah mencoba melakukan yang terbaik, mungkin ini memang takdir kita," ucap Rick sambil memeluk Nirima. Waktu-waktu itu mereka habiskan dengan berpelukan dalam sunyi, dalam rasa duka yang sangat dalam. Tanpa tahu keesokan harinya mereka berdua akan kembali menangis dalam sedih bercampur senang, ketika melihat beberapa daun semanggi berdaun 4 tumbuh di atas kasur Clover, menimbulkan aroma yang menenangkan mereka, beserta kertas tua yang berisi cara membuat mesin waktu, disertai tulisan 'I love you too always' yang terlihat baru.
[The End]
Ket. tmbhn:
2005=Ibu lahir
2018=Ibu 13 thn
2031=Ibu 26 thn
2032=Ibu melahirkan anak
2042=anak 10 thn dan time travel ke 2018.
[dipost juga di www.deepanddark.blogspot.com]
————————————————————————
WOY! *ngegas*
Readers: Udah ah min, ngegas terus. Ngopi napa ngopi.
Ekh, maaf deng. Halu semua, lama tak berjumpa. Maapkeun lama gak update.
Readers: Kenawhy long no update?
Anu, soalnya waktu liburan gak ada ide+sibuk liburan *orang sibuk 🤷🏻♀️*. Dan sekarang udah masuk sekolah lagi. Mimin udah kls 9, jadi harus lebih fokus belajar, soalnya tahun depan TO dan kawan-kawannya sudah siap membanting saia.
Nah, aku mau bilang makasih yang sebesar-besarnya melebihi besarnya cintaku untuk dia yang dulu *baper dah* untuk 7k readersnya. Gak nyangka lo, cerita yang kualitasnya macam rasa phpnya dia *lah?* ini bisa dibaca banyak orang. Walau aku makin jarang buka Wattpad, tapi setiap ngeliat notif like dan sejenisnya dari kalian, aku jadi semangat lagi. Makasih udah jadi pelangi di antara badai buat aqu :3. Aqu cayang deh :3.
Readers: AKU JIJIQ MIN! PERGI!
*angkut makanan dan baju* Oke bai :(.
[The Last Chapter end. Sampai jumpa di cerita lain :3]
.
.
.
.
YAH GAK LAH, MASA UDAH 7K DITINGGALIN GITU DOANG LOLOLOLOLZ. Aku terlalu sayang ama kalian, makanya aku gak mau ninggalin kalian. Tapi jujur aja, walau yang baca dikit, mimin terap update. Kenawhy? Karena mimin gak mau menelantarkan readers yang ada, walaupun dikit. Satu readers itu berharga banget. Hm berarti ... *otw jual readers* *gak deng, gak mau dipenjara* *kok mimin makin gaje sih*. Selain itu ini juga hobiku, gimanapun juga aku bakal mencoba terus update walau makin jarang.
Nah spesial untuk 7k ini, aku mau ngasih kesempatan untuk kalian yang mau nanya atau ngomong atau bahkan curcol. Kuy lah comment di sini, kapan lagi bisa ngobrol ama mimin? Ha, gak ada? Oke *furever alone*.
Segini dulu yaak, udah 2676 kata nih totalnya. See ya later and have a nice dream 🍀.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top