Klub Misteri Paranormal

[Jadi ceritanya ada tugas Bahasa Indonesia disuruh buat cerpen. Akhirnya aku buat cerpen horor ini sekalian buat pos baru. Doakan dapat nilai bagus ya T_T]
[Originally made by me, TheRedFoxx]
           

Siang kali ini sungguh membosankan bagiku. Bagaimana tidak? Suara Pak Djoyo terus bergema bagai radio rusak tanpa ada satu katapun mampu kutangkap. Aku berusaha berkonsentrasi, sayangnya teman-teman sekelasku semakin riuh berlomba-lomba melenyapkan suara Pak Djoyo. Aku menghela napas lega saat bel pulang sekolah berbunyi. Tanpa ba bi bu, aku mengangkat tas dan meninggalkan kelas itu.

Namaku Marrischa Nyxia. Sebagian orang memanggilku Marie, tetapi aku lebih suka Nyx. Marie terlalu feminin untuk gadis tomboy sepertiku. Aku adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Marthayasa Kharites, kakakku adalah seorang yang cantik, feminin, pandai bersosialisasi, dan terkenal. Berbanding terbalik denganku yang wajahnya pas-pasan, tomboy, pendiam, dan tertutup. Temanku bisa dihitung pakai jari. Itu pun hanya sebatas berbicara kalau ada keperluan.

Aku sudah keluar dari gerbang sekolah jika tidak teringat akan ultimatum wali kelasku. "Kalau sampai besok kamu belum juga masuk klub, nilai IPA dan PKN kamu tidak saya tuntaskan!" suara Bu Nantya tadi pagi kembali membuatku kesal. Siswa-siswi SMA di sekolahku wajib bergabung dalam klub, namun aku yang bandel ini tidak bergabung dengan satu klub pun sampai semester dua. Menurutku, klub hanya membuang-buang waktu. Coba deh lihat Klub Fashion, nyaris 70% anggotanya ikut hanya karena ingin ikutan famous. Apa saja kegiatan klubnya? Meh, mereka hanya bertanding memamerkan pakaian siapa yang paling mahal. Lebih baik aku membaca buku di rumah daripada harus bergaul dengan orang seperti itu. Sayangnya Bu Nantya tak sependapat denganku. Ia bilang aku perlu lebih banyak bersosialisasi. Katanya, aku perlu membuka pikiranku lebih luas. Lebih luas? Coba tanya siapa penemu algoritma, aku akan segera menyerukan nama Al-Khawarizmi sementara mereka akan kebingungan tidak jelas. Bagaimanapun juga, karena aku tidak ingin nilai pelajaranku berkurang, berakhirlah aku di sini berdiri menatap papan pengumuman penerimaan anggota klub tanpa minat. Klub fashion? Sudah kubilang aku tidak akan masuk situ. Klub piano? Tanganku terlalu kaku untuk menari di atas alat musik seindah itu. Klub menggambar? Aku bukan si otak artistik. Ketika aku hendak melihat lebih banyak kertas klub, mendadak sebuah tangan mendobrak papan itu. Ralat, dia menempel kertas klub dengan keras.

"Cari klub? Ikut klub kami aja!" seru lelaki itu dengan kepercayaan diri yang overdosis. "Namamu Marie kan?". Aku mengangkat alisku sembari berkata, "Nyx saja. Tahu namaku dari mana?". Alih-alih menjawab, dia malah tertawa sombong. "Ahaha, tentu saja aku tahu semua orang di sini. Kamu pasti tahu aku kan? Aku tahu aku terkenal kok!" katanya yang spontan membuatku menggeleng kesal. Badan lelaki yang kekar itu digeser paksa oleh tangan gadis berambut bob sebahuku. "Stop mengatakan hal aneh, Bene! Oh hai!" pekiknya saat melihatku. Aku hanya tersenyum paksa. Setidaknya gadis itu lebih normal dibandingkan lelaki gaib di sebelahnya.

"Maafkan temanku yang sinting itu. Namaku Eviy dan dia Bene. Namamu Nyx ya? Salam kenal!" katanya cepat sembari menjabat tanganku. Aku gelagapan dibuatnya. "Jadi kami ke sini mau menempel pengumuman klub baru kami. Kamu tertarik ikut?" tanyanya sambil menyodorkan secarik lembaran. Terlihat jelas tulisan 'Klub Misteri Paranormal' di atasnya. Astaga, omong kosong macam apa lagi ini? Namun aku kembali teringat atas ultimatum Bu Nantya. "Yah, setidaknya klub ini lebih berfaedah dibanding klub fashion itu. Baiklah, aku tertarik," kataku memutuskan. "Tapi ada tesnya sebelum kamu masuk," ujar Bene membuatku mendecak kesal. "Ribet banget sih. Tes apa?" balasku. "Kamu tahu kan kelas sebelas D?" pertanyaan itu sontak membuatku merinding. "Nanti malam kita harus berhasil menyelinap ke dalam situ dan membongkar misteri," lanjutnya.

Kelas XI D adalah kelas di lantai 2 yang ditutup 2 tahun yang lalu. Kelas ini sebenarnya bisa dibilang unik setelah menjadi satu-satunya kelas D seantero SMA. Tidak ada kelas D pada kelas 10 dan 12. Alasan ditutupnya masih simpang siur. Ada yang bilang terjadi pembunuhan di sana, ada juga yang bilang hanya karena ruangannya rusak. Bukan main, bahkan pintunya disegel dan dirantai untuk menghindari siapapun masuk. Aku sendiri tidak percaya akan desas-desus itu. Namun setiap melewati kelas itu, aku harus mengakui kalau auranya cukup aneh. Satu hal yang kutahu, kami akan dihukum berat.

"Kalian gak takut dihukum? Mereka ngelindungin kelas itu kayak ngelindungin berlian lo," kataku berusaha tenang. "Santai. Kalau soal itu udah kami atur. Jadi gimana? Setuju ya?" kata Eviy dengan nada memohon. Dengan berat hati aku pun mengangguk. Setelah kami menentukan jam dan tempat kami berkumpul, kami pun pulang. Tetapi sebelum pulang, Bene menyuruhku agar tak lupa membawa tang pemotong besi dan gunting. Aku hanya mengiyakan dan segera pergi.

Pada pukul sembilan malam, aku hendak berangkat ke sekolah. Namun pergerakanku terhambat oleh kakakku. Tak biasanya Ia masih bersantai di depan TV jam segini. "Hm, Mar? Mau ke mana?" tegurnya. "Nyx Kak. Kakak sendiri ngapain di sini?"  koreksiku sambil membalikkan pertanyaan. "Lagi baca cerita horor nih mumpung gak ada tugas. Ternyata di sekolahmu katanya ada suatu ruangan di mana dua orang melakukan penyem...," suara Kak Artha tidak terdengar lagi. Aku larut memikirkan alasan agar aku bisa lolos dari kakakku yang bawel ini. Aku baru ingat kalau kakakku juga penggila horor, mungkin Ia akan bersemangat mendengar tentang Klub Paranormal. Tetapi Ia pasti tetap melarangku jika tahu apa yang akan kami lakukan. "Lah, kok malah melamun? Btw, kamu mau ke mana nih jadinya?" tanya Kak Artha memecahkan pikiranku. "Anu, mau ikutan jurit malam di sekolah!" seruku spontan. Aku langsung mengomeli diriku sendiri. Mana pernah diadakan jurit malam di sekolah. Tanpa diduga, Ia sama sekali tidak curiga. "Perlu kakak antar gak?" tawarnya. Aku segera menjawab kalau aku berangkat dengan ojek online saja. Bisa gawat kalau Ia curiga melihat sekolah sunyi. Setelah bertanya beberapa hal dan berpamitan, Kak Artha pun membiarkanku pergi. Ah Kak Artha jauh lebih protektif sejak dua orang itu meninggalkan kami.

Setelah membayar ojek, aku pun turun dan melihat keadaan sekitar. Aneh, setahuku gerbang sekolah ditutup setelah pukul tujuh malam. Mengapa hari ini gerbangnya terbuka lebar seakan-akan ada yang masuk paksa? Aku nyaris melangkahkan kaki ke dalam jika tidak ada yang menarikku ke dalam semak. Aku panik dan meronta sampai orang asing itu berbisik, "Gimana tes nanti kalau gitu aja kamu udah takut?". Itu Bene astaga! Aku segera keluar dari semak. "Kamu ngapain sih muncul mendadak kayak hantu?" seruku kesal. Ia hanya terkikik sambil menjawab, "Iya, tahu kok aku kayak hantu. Bikin hatimu dag dig dug kan?". Aku menghela napas kesal. Orang aneh macam dia memang tidak bisa dilawan. Aku pun masuk ke dalam area sekolah diikuti Bene. "Tunggu dulu!" katanya sembari pergi ke pos satpam. Tak sampai satu menit, Ia sudah kembali sambil menggenggam sebuah kunci. "Kok gampang banget ngambil kuncinya? Emang si Pak Satpam ke mana?" tanyaku curiga. Bene hanya tertawa kecil sembari mendahuluiku masuk ke gedung sekolah. Dasar anak itu. Kalau sampai kita dapat masalah, lihat saja nanti!

Jika di lapangan mataku masih terhibur oleh bintang yang gemerlapan, maka keadaan di dalam gedung benar-benar sunyi dan gelap tanpa kehidupan. Aku berjalan rapat dengan Bene yang memegang senter. Dalam hati aku merutuki diri karena lupa membawa senter. "Eh, Eviy mana?" tanyaku baru sadar. Suaraku langsung bergema, mengisi segala sudut lorong. "Sakit perutnya kambuh lagi," jawab Bene singkat. Entah kenapa matanya menerawang. Biasanya aku cerewet, tapi entah mengapa kali ini aku diam. Keheningan pun kembali menyeruak di antara kami.

Setelah lorong tanpa ujung terlewati, senter kami akhirnya menyoroti sebuah pintu bertuliskan 'XI D'. Cat birunya mengelupas. Besi rantainya berdebu saat kusentuh. Dan tak bisa kupungkiri, auranya semakin mengerikan pada malam hari. "Tang?" pinta Bene. Aku sudah mengambil dan hendak memotong besi itu ketika Bene merebut tang di tanganku. "Cewek macam kamu lemah. Mending aku aja," katanya langsung membuatku naik pitam. Tanpa memakan waktu, rantai tersebut terpotong dan jatuh ke lantai, menghasilkan bunyi gemerincing kencang yang mampu membuat bulu kuduk berdiri. Aku segera mengeluarkan gunting saat melihat beberapa selotip aneh yang mencegah pintu terbuka. Tanpa dikomando, aku memotongnya, menghasilkan bunyi 'brek' yang memekakkan telinga. Di selotip tersebut terdapat berbagai tulisan yang tidak kupahami. Mungkin kami perlu membawanya untuk dijadikan objek penelitian nanti. Setelah pintu terbebas dari rantai dan selotip, aku segera memutar kenop pintu. "Gak kebuka?" pekikku. Kebingunganku langsung padam saat Bene mengangkat kunci tadi. Astaga ceroboh sekali aku sampai melupakan hal itu!

Tepat setelah kunci terputar, pintu itu langsung terbuka pelan. Butiran debu yang mengilap diterpa cahaya senter sukses membuat siapa saja jijik masuk ke sana. Demi tes klub, aku pun ikut masuk menahan jijik. Telingaku menangkap suara asing di pintu sebelum aku masuk, namun segera kulupakan. Tidak seperti kelas pada umumnya, hanya ada beberapa meja dan kursi kayu. Itupun keadaannya mengenaskan. Hembusan angin entah dari mana menggelitiki tengkukku. Mau tak mau aku menoleh ke sumber angin. Mataku segera menangkap sebuah buku bersampul lusuh. Perlahan aku mengambilnya. Kuamati tulisan nama yang memudar, mungkin nama pemilik buku itu dulu. "Kalev ... ah tulisannya gak keliatan lagi," gumamku pelan. Aku mengamati barang-barang lain di atas meja tersebut. Barang yang asing, tetapi entah bagaimana mengingatkanku kepada sesajen. Aku berpaling setelah mendengar Bene memanggil dari sudut lain. "Hei coba lihat!" ujar Bene bersemangat. Ternyata Ia menemukan sebuah loker. Aku hanya menatap datar loker itu. Loker itu bisa saja roboh jika disenggol dikit, apalagi besinya yang dicat abu-abu itu berkarat. Beberapa pintu lokernya ditutup selotip serupa dengan yang menutup pintu sebelumnya. Bene menyuruhku unntuk memotong selotip-selotip itu. Entah mengapa semakin sedikit selotip yang menempel, semakin tidak wajar aura ruangan ini, seakan-akan Ia berteriak menyuruhku berhenti. Namun karena Bene santai saja, aku pun cuek, membiarkan tanganku terus memotong. Sampai ketika aku memotong dan melepas selotip terakhir, semua pintu loker langsung terbuka kencang, seperti ada yang merangsek keluar. Badanku rasanya oleng ditiup angin entah dari mana. Untungnya aku berhasil menyeimbangkan diri dan segera menyelidiki isi loker itu.

Aku menautkan alis, menatap sebuah boneka berambut panjang yang sepertinya balas menatapku tajam. Di sekeliling boneka itu terdapat beberapa paku, bejana berisi kembang yang entah bagaimana caranya masih segar, dan botol-botol kecil berisi cairan. Aku mundur, merasakan ada yang salah. Sebuah tangan dingin mendadak menyentuh bahuku. Spontan aku teriak memasang kuda-kuda. "Waduh santai aja dong. Ini aku, Eviy!" seru gadis pendek sembari melambaikan tangan. Aku langsung menurunkan kepalan tanganku. "Eviy? Kata Bene kamu sakit perut, kok kamu ...?" aku terdiam setelah mereka saling bertatapan dan tertawa lebar. Sial, mereka sengaja menakut-nakutiku! Ia pasti masuk terlebih dahulu dan mengatur peralatan sedemikian rupa agar terlihat menyeramkan. Aku segera berjalan dengan gusar. "Sudahlah, ayo kita pulang!" ujarku kesal. Namun aku tergagap melihat tubuh Pak Satpam dengan keadaan mengenaskan di balik pintu. Cerita Kak Artha kembali melayang di pikiranku. "Katanya ada suatu ruangan di mana dua orang melakukan penyembahan dengan cara mengorbankan nyawa mereka sendiri.". Aku menoleh dengan nafas mulai tidak beraturan. Kalau Eviy masuk terlebih dahulu, bagaimana pintu kelas tetap terkunci dengan baik? "A, apa yang kalian lakukan terhadap Pak Satpam?" cicitku. Tubuh mereka berubah menjadi pucat dengan luka di sekujur tubuh, benar-benar berbeda dengan Bene dan Eviy yang tadi siang kutemui. "Pihak sekolah terlambat mengetahuinya. Petugas kebersihan menemukan mayat mereka dengan keadaan mengenaskan. Sejak saat itu kejadian paranormal terus terjadi.". Tanganku gemetaran saat Eviy mendekat. Bibirnya yang robek sama sekali tidak memperindah seringaiannya. "Ahli-ahli berdatangan. Mereka menyegel ruangan itu. Kabarnya jika segelnya dibuka, roh dua siswa itu akan bebas dan menguasai satu sekolah dengan kekuatan roh jahat.". Pintu kelas mendadak tertutup. Aku berusaha memutar dan menarik kenopnya, tapi tidak bisa terbuka juga. "Aduh Nyx jangan buru-buru pulang dong. Aku kan belum ngomong," ucap Eviy dengan nada sedih yang dibuat-buat. Aku mulai menyesal telah setuju mengikuti tes klub. Aku mulai menyesal telah membohongi kakak. Aku semakin merapat ke pintu ketika mendengarnya mengucapkan terima kasih karena telah membebaskan mereka. "Kalau gak salah nama mereka siapa ya? Ah ya, namanya Kaleviy dan Benediktus!". Aku menggeram, berusaha menekan rasa takut. Yang pasti satu hal yang bisa kuketahui di sini. Bene ikutan menyeringai melihat keringat membanjiriku bagaikan air laut. "Gak usah takut. Kami mau membalas budi karena bantuan kamu melepaskan kami. Habis ini kamu gak pernah takut lagi," katanya setengah berbisik. Ia ikut mendekat ke arahku. Tanpa kuduga, mereka berubah menjadi asap hitam yang berkobar, lantas terbang ke arahku. Seketika pandanganku menghitam. Aku tahu aku telah melepaskan sesuatu yang mematikan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top