Sebuah Kisah
Haiiiii readers, kepoin cerita baru saya ya...
Selamat mengikuti 😘🙏
Kisah ini saya kolaborasi dengan sahabat saya yang lain, Nona Aruna/ Inka Aruna
****
Matahari bersinar cerah pagi itu seusai hujan deras mengguyur kota malam tadi. Nampak gadis kecilku sudah siap dengan berangkat sekolah. Jilbab merah yang bertengger di kepala membuat dia terlihat manis dan lucu.
Aku tersenyum menatapnya. Di usianya yang ke empat, Keira begitu aku memberi nama, belum pernah bertemu Ayahnya. Entah dimana lelaki itu.
Dia pergi meninggalkanku yang tengah hamil tujuh minggu tanpa pesan apapun. Hanya secarik kertas bertuliskan "Aku mencintaimu" itu saja yang dia tinggalkan untukku.
Setelah itu dia hilang bak di telan bumi. Bahkan keluarganya pun tak kudapati. Hingga akhirnya aku dan keluarga pindah, tak tahan mendengar cemoohan dan pandangan sinis tetangga tentang kehamilanku yang tak bersuami.
Mereka saling membuat cerita dengan versi masing-masing. Sementara aku hancur, larut dalam kesedihan dan kesepian. Menanggung beratnya masa kehamilan sendiri tanpa seorang suami disisi.
Aku masih ingat saat itu, pernikahan yang baru berumur tiga bulan harus hancur. Gilang lelaki yang kuharap menjadi teman sehidup semati itu pergi. Aku hanya tahu, dia pergi itu saja. Dan itu sudah cukup buatku untuk membencinya. Meski hati kecil ini tidak meyakini kepergiannya.
****
Lamunanku usai ketika jemari mungil Keira mengusap airmataku. "Bunda, kenapa nangis? Keira aja yang mau sekolah nggak nangis," ucapnya membuatku gemas dan menciumnya.
"Baiklah, ayo kita berangkat sekarang. Oh iya, nanti Kei pulangnya di jemput Mak Jum ya."
Gadisku itu mengangguk tersenyum.
Setelah mengantar Keira, kembali kupacu motor menuju kantor tempatku bekerja. Sejak bisnis keluargaku hancur, di susul dengan meninggalnya Ayah dan tak lama kemudian Ibuku, praktis harus berusaha menyambung hidup demi anakku sendiri. Sudah tiga tahun aku bekerja di perusahaan ini.
Suasana kekeluargaan antara para karyawan membuat betah bekerja. Aku bekerja sebagai accounting, sesuai dengan ilmu yang aku dapat saat kuliah dulu.
Hari ini akan lebih sibuk pastinya, karena bos akan diganti dengan yang baru. Yang kudengar dari beberapa teman, bos yang baru nanti seumuran, tapi meski begitu dia sangat perfeksionis.
Aku sendiri tidak begitu peduli, yang penting bisa menyelesaikan tugas dan pekerjaan tepat waktu, selebihnya perkembangan Keira yang jadi prioritas utama. Akhirnya aku sampai di kantor. Nampak Tari menyambut, dia sepertinya siap menceritakan gosip terbaru, seperti biasa. Aku tersenyum menyambut sapanya.
"Pagi cantiiiik, eh udah tahu kan hari ini kita ganti bos?" tanyanya mengekor.
"Hmm," ujarku menanggapi.
"Eh tahu ngga, doi ganteng banget!" Tari mengerjapkan matanya ke arahku.
Aku mengernyit menggeleng.
"Idih! Ini orang aku udah maksimal cerita, kamu lempeng aja, ngga penasaran siapa yang aku bilang ganteng?"
Aku menggeleng tak berminat. Sejak Gilang pergi dari hidupku, praktis sejak itu aku tak ingin berhubungan dengan lelaki manapun. Meski saat ibuku masih ada beliau sering menjodohkanku dengan pria pilihannya, namun kutolak.
"Huh, capek bicara sama kamu Sha!" gerutu Tari bersungut. Aku tertawa melihat ekspresinya.
"Oke, deh. Siapa yang kamu bilang ganteng itu?" tanyaku sambil mengatur berkas yang akan dikerjakan hari ini. Wajah Tari kembali cerah, sambil mendekatkan bibirnya ke arah telingaku.
"Bos baru kita, Sha! Dia ganteng maksimal tahu ngga!"
Aku kembali terkekeh.
"Tahu dari mana?"
"Eh, dia udah ada di ruangannya, Sha."
Mataku membulat, sepagi ini? Biasanya bos selalu datang siang. Atau lebih siang dari karyawannya.
"Kenapa? Kaget? Sama, aku juga. Dan satu lagi, dia benar-benar perfeksionis!" cicit Tari lagi.
Ucapan Tari berhenti ketika Bu Linda sekretaris memberi kabar pukul sembilan nanti seluruh karyawan wajib berkumpul di ruang meeting. Segera kami kembali ke tugas masing-masing.
Ada sedikit pertanyaan menggayut hatiku, Bu Linda bilang Pak Kenzo! Ah nama itu mengingatkanku padanya. Kenzo Gilang Pamungkas, nama lengkap Ayah Keira. Nama Keira pun aku ambil dari Kenzo dan Shabrina. Ah sudahlah, nama bisa siapa saja punya bukan?
Tepat pukul sembilan aku dan Tari bergegas ke ruang meeting, di sana sudah berkumpul beberapa karyawan yang lain. Lagi-lagi Tari dengan tingkah tengilnya meyakinkanku mempercayai ceritanya tentang ketampanan bos baru itu.
"Selamat pagi." Suara terdengar dari pintu masuk bersamaan dengan munculnya Pak Kenzo bos baruku. Kami serempak menjawab sapanya. Tari menyenggol lenganku menerima isyarat untuk menyetujui pendapatnya. Sambil mengangguk mencoba tersenyum, berharap aku salah orang, namun sia-sia. Lelaki bernama Kenzo itu adalah Gilang! Dia kini berada hanya berjarak empat meter di depanku.
Wajahnya masih seperti dulu, menyenangkan untuk dipandang, senyumnya tak bisa dipungkiri sangat menarik. Kerlingan matanya, cara dia bertutur kata, semuanya masih seperti dulu.
Terbayang wajah Keira di hidung dan bibirnya. Gadis kecilku itu memang sangat mirip ayahnya. Aku tak dapat menyembunyikan kegugupan, ketika sekilas matanya melihat ke arahku.
Aku terus berusaha menyembunyikan wajahku saat ini.
Dengan berwibawa dia memperkenalkan diri, dan sedikit bercerita tentang perjalanan karirnya. Aku sama sekali tidak berminat mendengar, rasa benciku sudah sampai diubun-ubun.
Jika saat dia bukan atasanku pasti sejak tadi aku sudah keluar dari ruangan ini. Kini hanya berharap dia tidak mengenaliku lagi. Sebab penampilanku sudah berubah, berhijab, dan bahagia jika Gilang tak mengenaliku.
*****
Sudah satu minggu aku bekerja dengan bos baru. Sebisa mungkin aku bersikap profesional setiap kali berhadapan dengannya. Demikian juga Gilang, kami tidak pernah mencoba saling menyapa meski masing-masing dari kita di satukan oleh masa lalu.
Namun biarlah begini, aku lebih nyaman bekerja, dari pada harus kembali mengingat dan mencoba bercakap-cakap dengannya.
"Sha! Makan siang di mana?" tanya Tari sambil melirikku.
"Aku bawa bekal, Tari. Jadi sepertinya aku di sini aja. Lagian banyak yang harus aku kerjakan."
Aku masih fokus ke layar komputer.
"Oh, oke deh. Eh Sha, kemarin aku lihat Pak Ken sedang makan siang bareng cewek cantik tau! Sumpah pasangan serasi banget menurutku. Dengar dari Bu Linda sih, itu calon istrinya." cerocos Tari panjang lebar. Aku menempelkan kepalaku ke sandaran kursi menatap Tari tajam.
"Eh, kenapa kamu, Sha?"
"Tari, please, aku tidak ingin mendengar apapun tentang bos kamu itu saat ini. Atau lebih tepatnya jangan pernah bercerita yang tidak ada hubungannya dengan kerjaan kantor deh, bisa kan?" tanyaku memohon. Nampak Tari agak heran dengan reaksiku, namun dia mengangguk mengerti.
"Aku cabut makan siang dulu deh, Sha."
Aku mengangguk tersenyum. Setelah Tari pergi dan beberapa karyawan yang lain juga maka siang, kantor sepi. Aku masih fokus dengan pekerjaan.
"Sha, aku mau bicara." Mendadak aku membeku mendengar suara itu. Tak kuasa untuk mengangkat wajah menatapnya. Gilang, lelaki itu kini ada di depanku.
Aku masih dengan posisi semula, menatap layar komputer.
"Sha, aku bicara denganmu. Kenapa kau seolah tidak mengenalku?" ujarnya lagi.
"Maaf, Pak. Saya sedang banyak pekerjaan." jawabku asal lagi-lagi tanpa menoleh. Terdengar desah kesal dari nafasnya.
"Aku menunggumu sore nanti di ruanganku, sebelum kamu pulang." Dia berkata kemudian pergi ke ruangannya.
Aku menghela napas lega. Tanganku mengepal kuat menahan buncahan emosi yang siap meledak. Sekuat tenaga menahan airmata, sebab jika sampai si bawel Tari tahu, bisa heboh seisi kantor.
Sore menjelang, bergegas membereskan mejaku, mengingat besok adalah akhir pekan, dan itu sangat menyenangkan. Keira selalu memintaku untuk mengajaknya sekedar berjalan-jalan di Mall atau berenang. Mencoba melupakan ucapan Gilang siang tadi bergegas melangkah meninggalkan mejaku. Namun Bu Linda menepuk bahuku pelan.
"Eh, maaf ada apa, Bu?"
"Pak Kenzo memanggilmu di ruangannya. Temui sekarang."
Tak berkutik ditatap Bu Linda, dengan mengangguk kuputar langkah menuju ruangan Gilang. Berat kuketuk pintu, tanpa diduga dia sendiri yang membukakan pintu.
"Terima kasih kamu mau menemuiku, masuklah, Sha."
Aku berjalan menunduk melewatinya. Mencoba bersikap tenang seolah tak pernah terjadi apa-apa pada kami di masa lalu.
"Duduklah,"
Aku diam menuruti perintahnya. Wajah aku tekuk sedemikian rupa menghindari tatapannya.
Sejenak kami saling diam, mencoba menghilangkan perasaan tak menentu kupilin ujung jilbab. Deru degup jantung mulai tak beraturan, merasa terjebak di masa lalu. Mendadak semua kenangan itu kembali menyeruak ke permukaan. Sakitnya ditinggalkan begitu saja tanpa pesan apapun, beratnya harus hamil dan melahirkan tanpa suami, belum lagi pandangan sinis dan cemooh dari tetangga, semua itu kembali hadir di memoriku. Tak tahan dengan situasi ini aku memutuskan beranjak pergi, namun tangan kekar menahanku.
"Jangan dekati aku, biarkan aku pergi!" Aku mencoba melepaskan tangan lelaki jangkung itu.
"Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Shabrina. Sebelum kamu jelaskan kemana kamu selama ini!" Gilang mencengkeram kuat pergelanganku membuatku meringis sakit.
"Lepasin! Kamu menyakitiku."
"Maaf, aku hanya ingin mendengar jawabanmu." Perlahan dia melepaskan cengkeramannya.
"Kemana aku pergi bukan urusanmu! Kenapa kamu bertanya padaku? Seharusnya kamu berkaca sebelum menanyakan hal itu!"
Aku tak sanggup menahan emosiku.
"Sha, aku ...."
Tok tok tok, pintu diketuk, Gilang menggeleng sedikit mengumpat melangkah membuka pintu. Nampak wanita cantik dengan rambut panjang berdiri di depan pintu. Senyumnya merekah menatap Gilang.
"Hai honey, malam ini kita jadi nonton, 'kan?" sapa wanita itu manja.
Kesempatan ini tidak kusia-siakan, segera kusambar tas tangan melangkah cepat menuju pintu.
"Maaf, Pak Kenzo, saya harus segera pulang. Permisi." Dengan sedikit berlari aku meninggalkan ruangannya. Masih kudengar dia memanggil namaku, namun aku sudah tak lagi ingin kembali.
💕💕
Adzan magrib terdengar saat aku tiba di rumah. Mendengar suara motorku, Keira menyambutku dengan wajah ceria. Aku menggendongnya memasuki rumah.
"Kei sudah makan, sayang?"
Gadis itu mengangguk memainkan gantungan kunci motorku.
Aku tinggal bersama Keira dan Mak Jum. Dia adalah orang yang sejak dulu dekat dengan keluarga kami. Bisa dibilang Mak Jum tahu segalanya tentang keluargaku. Dia kini menjadi pengganti orang tuaku yang telah meninggal.
"Bunda, besok kita jalan ke Mal yuk. Kei pingin beli pensil warna yang baru."
Aku mengangguk tersenyum menanggapi. Buatku apa saja asal putriku itu bahagia, aku akan melakukan permintaannya.
Setelah menemani menonton acara favorit, aku menidurkan Keira.
Kulihat Mak Jum menonton televisi.
"Mak, aku sudah seminggu ini satu kantor dengan Gilang." ujarku duduk di sampingnya. Nampak perempuan tua itu terkejut.
"Kalian satu kantor?"
Aku mengangguk tersenyum.
"Lebih tepatnya dia bos ku."
"Lalu? Apa dia mengingatmu?"
Aku mengangguk lagi.
"Lalu? Apa dia tahu tentang Keira?"
Aku menoleh kemudian menggeleng cepat.
"Dia tidak boleh tahu. Lagian dia sudah memiliki wanita yang akan dinikahi." jawabku.
"Tapi kalian belum bercerai, Sha."
"Aku tahu, mungkin lebih baik aku saja yang menggugat."
Mak Jum menghela napas seperti ada yang dia sembunyikan namun enggan untuk berkata.
"Ada apa, Mak?"
"Apa tidak sebaiknya kalian berdua bicarakan dulu baik-baik, Sha. Ini tentang Keira, dia harus tahu siapa Ayahnya."
Aku menggeleng pelan. Biar waktu saja nanti yang akan menjelaskan siapa Ayah Keira, tidak sekarang.
"Kasihan Keira, dia pasti ingin mempunyai Ayah, atau paling tidak tahu siapa Ayahnya."
"Dia pasti akan tahu, tapi tidak sekarang, Mak Jum."
"Dulu kamu sangat ingin bertemu Gilang, tapi saat Allah telah mempertemukanmu dengannya, kenapa justru kami ingin menggugat cerai?" Mak Jum menatapku intens.
"Karena dia sudah tidak mempunyai rasa itu lagi, Mak. Dia sudah melupakanku. Biarlah dia bahagia dengan pilihannya." jawabku menatap langit-langit. Pikiran ini menerawang mengingat hal-hal indah yang pernah terjadi antara aku dan Gilang.
Saat itu cinta kami sangat kuat, hingga memutuskan menikah meski orangtuaku terlebih Ibu tak setuju. Pernikahan berlangsung meriah, kami sangat bahagia. Namun itu hanya berjalan tiga bulan, setelah itu semua berubah menjadi kelam.
Gilang pergi, dia menghilang tanpa ku sempat bertanya. Aku masih menyimpan nama dan cintanya di sini, di sudut hati. Hampir lima tahun berlalu, kini bertemu lagi dengannya, namun dia hadir dengan wanita pilihannya.
Lalu masih pantaskah lelaki seperti itu tetap kuharap cintanya?
Mataku menghangat terasa ada yang hendak melesak keluar.
"Aku mau ke kamar, Mak. Besok Kei minta diajak jalan-jalan. Mak ikut ya, refreshing sekali-kali," ajakku. Sambil tersenyum dia mengangguk.
"Sha."
"Iya, Mak?"
"Berpikirlah yang jernih untuk Keira, bukan untukmu."
Aku menghela napas, kemudian mengangguk meninggalkannya.
*****
Nunggu VoMen yang banyak dulu baru disambung. Kalau dikit di simpen sendiri aje, wkwkwkw.
Bye bye😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top