Mungkinkah(?)


Nulis kisah ini mata saya ikut menghangat 😭😭. Hiks ...

Membayangkan posisi Shabrina, yang harus menebus 'kesalahan' ibunya dengan mengorbankan diri sendiri dan tentu saja Keira,itu tidak mudah. Lebih lagi dia memang masih mencintai Gilang meski berusaha dia kubur dalam-dalam.

Akankah cinta Shabrina kembali berlabuh di dermaga yang sama?

💕💕💕

Dari kamar aku mendengar tawa dan celoteh Keira dan Gilang. Sesekali terdengar nada manja gadis kecil itu padanya. Kini aku semakin bimbang, rasa yang kucoba hilangkan kini perlahan menguat meski rapuh.
Suara Keira tak lagi kudengar, sepi. Bahkan suara Mak Jum tak terdengar. Setelah rapi dengan jilbab instanku, aku keluar. Aku tak percaya dengan apa yang di depanku. Keira terlelap dipangkuan Gilang, demikian juga lelaki itu. Mereka sama-sama tertidur.

Perlahan aku menghampiri mereka berdua, mataku menghangat. Keira, tidak biasanya dia mau dekat dengan orang yang baru dia kenal, namun ikatan bathin tak pernah berdusta.

"Mereka langsung cocok, Sha. Apa kamu masih berkeras tidak ingin kembali padanya?" Mak Jum bicara pelan di telingaku.

"Tidak, Mak!" Tegasku.

"Tapi Keira ...."

"Sudah aku bilang, Keira tetap akan tahu siapa ayahnya, tapi sulit bagiku untuk kembali. Mengingat betapa perbuatan ibu pada keluarga mereka, aku malu, Mak."

Mak Jum menarik napas, nampak dia tak setuju dengan pendapatku.

"Gilang cerita banyak tadi, dia ingin kembali ...."

"Membina rumah tangga denganku lagi, begitu kan, Mak?" Aku menyela.

Perempuan itu mengangguk pelan. Aku menggeleng.

"Entahlah, Mak. Biarkan Allah yang mengambil alih semua ini, entah seperti apa nantinya." Mataku menatap ayah dan anak yang tengah tertidur pulas.

Menatap keduanya membuat angan menggeliat, gambaran keluarga utuh dan bahagia tergambar di benakku. Namun sayang awan hitam menyelimutinya. Entah sampai kapan bertahan. Aku masih bermain dengan lamunan ketika suara Gilang memanggilku lirih.

"Maaf aku tertidur, Sha."

Aku mengangguk. Ketika Keira hendak kupindahkan posisinya dari pangkuan Gilang, lelaki itu menahanku.

"Biarkan, dia terlelap di pangkuanku dan akan bangun tetap dipangkuan ku," cegahnya.

"Tapi ini sudah sore, kamu harus pulang." Entah kenapa ada rasa nyeri di dadaku mengatakan itu.

"Aku tidak peduli, bahkan jika dia harus terbangun esok hari, dia akan tetap dipangkuanku."

"Gilang, ibu pasti menunggumu, pulanglah! Keira akan baik-baik saja," ujarku kukuh.

"Kamu mengusirku, Sha?" tanyanya dengan mata sendu. Tak sanggup aku membalas tatapannya.

"Gilang, tolong ...,"

"Tolong, Sha! Biarkan aku di sini sampai dia terbangun. Aku ingin merasakan tatapan ketika dia membuka mata," ujarnya memohon. Aku tak bisa menahan keinginannya.

"Mau aku buatkan minuman apa? Kamu pasti haus," tawarku. Dia tersenyum.

"Apa saja, asal dari tanganmu." Tak ingin rona merah wajahku terlihat olehnya, segera aku ke dapur.

"Duduk di sini, Sha. Aku ingin kita bicara," ujarnya setelah meminum teh hangat.

Aku duduk di agak jauh darinya.

"Kamu nggak ingin anak kita terbangun karena suaraku, kan? Duduklah didekatku."

"Apa lagi yang hendak kamu bicarakan, Gilang? Semua yang kamu ingin tahu sudah terjawab." Aku sedikit menggeser dekat dengannya.

"Belum, masih ada yang harus aku tahu, dan ini tentangmu." Suaranya pelan namun lembut.

"Apa lagi, Gilang?"

"Aku ingin kita hidup bersama selayaknya keluarga yang utuh! Aku ingin membahagiakanmu dan putri kita. Aku ingin berada di tengah-tengah kalian."

Bergeming aku mendengar perkataannya. Mencoba membantah perasaan yang sama di hatiku.

"Sha, aku ingin kita menua bersama, melihat anak-anak kita tumbuh dewasa, hingga Tuhan memanggil kita," ucapnya.

Aku beranjak dari duduk, menutup jendela kamar Keira, karena sudah mulai senja.

"Keira harus bangun, ini sudah lewat jam tidur siang," ujarku tanpa merespon ucapannya barusan.

"Sha ...."

"Keira, bangun sayang. Sudah sore ini." Aku menepuk pipinya pelan. Gadis kecil itu mengerjapkan mata menatap lelaki yang tengah memangkunya.

"Oom masih di sini? Keira bikin Oom nggak bisa pulang, ya?" tanyanya seraya bangkit perlahan.

Kulirik Gilang diam menatap sendu putri kecilnya.

"Keira, boleh nggak Oom setiap hari ke sini?" Pertanyaan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Wajah mungil Keira membias bahagia, matanya nampak antusias mendengar pertanyaan Gilang. Sambil mengangguk dia menatapku.

"Boleh kan, Bunda?" tanyanya penuh harap. Sejenak aku bertatapan dengan mata Gilang.

"Bunda, bolehkan kalau Oom ke sini setiap hari?" Keira bertanya lagi.

Aku hanya mengangguk menanggapi.

"Keira mandi ya."

Gadis itu berlari kecil menuju ke belakang.

Kini tinggal aku dan Gilang di kamar.

"Sha, aku serius dengan ucapanku. Aku akan kembali menikahimu, dan memulai semua dari awal."

"Urungkan niatmu, Gilang. Wanita itu lebih ...." Gilang meletakkan telunjuknya di bibirku.

"Tidak akan ada wanita selain dirimu, Sha! Dan aku tidak akan pernah menggantinya!"

Gilang berpamitan dengan Keira, berkali-kali gadis kecil itu menggayut manja di lengannya seolah tak ingin dia pergi. Berkali-kali pula Gilang menatapku seolah meminta jawaban dari pertanyaannya.

"Keira, biarkan Oom Gilang pulang dulu, ya. Besok Kei bisa ketemu lagi. Oke?" Aku mencoba memberi pengertian gadis itu. Meski terlihat kecewa, dengan mengangguk dia melepaskan pegangannya dari lengan ayahnya.

Satu bulan sudah aku bekerja di tempat baru, sebagai karyawan baru pelan-pelan mulai menyesuaikan diri.

"Sha, sepertinya hari ini kamu harus lembur, deh." Lisa menyerahkan setumpuk map di mejaku.

"Iya, Lis. Semoga aku bisa selesaikan lebih cepat, supaya pulang nggak terlalu malam," sahutku kembali ke pekerjaan.

"Perlu aku temani?" Tawarnya.

Aku menggeleng.

" Nggak perlu, kamu pulkam duluan aja. Kasihan anak juga suamimu di rumah," jawabku.

"Oke, tapi nanti sepertinya Reno bakal nemenin kamu tuh," gumam Lisa sedikit terkekeh.

Aku tersenyum menggeleng menatapnya. Reno adalah rekanku. Kami beda divisi namun dia sering membantu pekerjaanku. Pembawaan yang sederhana, namun mampu menghidupkan suasana membuatku nyaman jika bersamanya. Lelaki itu humoris, tanpa beban dan enak diajak ngobrol, dia teman yang menyenangkan.

Senja menjelang, aku masih berkutat dengan angka-angka. Drrrt! Getar ponsel membuatku teringat Keira, gadis kecil itu pasti menungguku. Gilang hampir setiap hari datang, namun sesekali saja aku bertemu dengannya karena kami sama-sama sibuk. Kadang kami hanya berkirim pesan dan membicarakan Keira. Namun belakangan ini ada hal yang menggangguku, dia mengajak menemui keluarganya. Drrrt! Bunyi itu membuatku bergegas mengangkatnya.

"Assalamualaikum"

"___"

"Aku lembur, belum bisa pulang."

"___"

"Maaf, aku nggak bisa"

"___"

"Jangan, aku harus selesaikan hari ini juga, ini tugasku"

"____"

"Tapi, Gilang .... "

Pembicaraan di akhiri. Aku membuang napas kasar. Kembali menekuri komputer. Malam ini adalah ulang tahun Bu Hamidah, ibu Gilang. Aku diajak untuk datang ke pesta kecil keluarganya, sekalian ingin memberi kabar tentang niatnya untuk kembali bersamaku. Aku tahu tentu tidak semudah yang sudah Gilang bayangkan. Terlalu banyak yang harus di korbankan untuk mewujudkan keinginannya,meski itu juga jadi keinginanku.

"Sha, sudah makan? Jangan melototin komputer terus gitu!" Reno berdiri di depanku.

Aku tersenyum sejenak ke arahnya, lalu kembali ke pekerjaan.

"Sha! Sudah adzan maghrib nih, nggak salat dulu apa?" cetusnya.

Aku mengangguk.

"Iya, ini aku save dulu."

"Oke, kamu mau makan apa? Nanti sekalian aku belikan," tawarnya.

"Apa aja deh, terserah!"

"Oke,"

*****

Selepas salat aku kembali ke meja. Ada bungkusan makan malamku di sana. Aku melihat sekeliling mencari sosok yang, namun lelaki itu tak kutemukan. Kembali aku duduk melanjutkan pekerjaan tanpa menyentuh bungkusan itu.

"Nyonya, kenapa Anda tidak makan? Nanti sakit. Makanlah dulu." Reno tiba-tiba muncul di depanku membuat terkejut.

"Reno! Udah kaya hantu aja, muncul tiba-tiba gitu!"

Dia terkekeh geli.

"Nggak lucu, tahu! Ini kantor sudah sepi, nakutin aja." Aku mendengus, masih terkejut.

"Sorry, Sha, lagian udah ada makanan kenapa nggak di makan langsung?"

"Kamu sudah makan?"

"Udah, tadi sekalian," jawabnya.

"Sha!" Suara Gilang menahan membuka makan malamku. Aku dan Reno menoleh ke arah yang sama. Gilang melangkah mendekati kami.

"Aku sudah telepon Pak Indra, kerjaanmu boleh diselesaikan besok!"

Aku menatap Reno yang serba salah.

"Maaf, Sha, aku ke mejaku dulu."

"Iya, Reno. Makasih ya,"

Kulirik Gilang menatap Reno tak suka.

"Sha, lain kali kami nggak perlu lembur, kasihan Keira." Suaranya terdengar lembut tak seperti tadi.

"Gilang, ini pekerjaanku, dan aku harus bertanggung jawab penuh," protesku jengah.

"Sha, aku hanya ingin kamu tidak pulang malam, aku sangat mengkhawatirkanmu."

Setelah sedikit berdebat, aku mengikuti usulannya untuk pulang, namun enggan untukku datang ke syukuran ulang tahun ibunya.

"Aku nggak yakin ibumu mau menerimaku," ujarku menanggapi ajakannya.

"Kita belum mencoba, Sha. Sekarang kita pulang, jemput Keira kemudian ke rumahku, oke?"

Aku bergeming.

Dia mengemudikan mobil ke arah rumah.

"Sha, siapa lelaki yang di kantor tadi? Sepertinya kamu dan dia sudah sangat akrab?" Gilang menatapku sekilas lalu kembali ke fokus ke depan.

"Dia Reno, dia teman kerjakan, kenapa memang?"

"Aku harap dia tidak jatuh cinta padamu," jawabnya tanpa menoleh. Aku tersenyum datar.

"Aku serius, Sha. Karena kamu istriku dan akan selamanya begitu!"

Tak lama kami sampai, kulihat Keira tersenyum bahagia melihat kedatangan kami.

Gawai Gilang berdering, aku menatapnya.

"Dari ibu, sebentar ya."

Lelaki itu berjalan menjauh. Aku mengajak Keira masuk.

"Bunda, apa betul Oom itu ayah Kei?" Pertanyaan Keira mengejutkanku.

"Siapa yang bilang begitu, Sayang?" Kurapikan rambutnya yang berserak di wajahnya.

"Nggak ada yang bilang, tapi Kei sering mimpi, di mimpi Kei ada Oom itu, Kei panggil dia ayah," celotehnya.

Aku terdiam mencoba mencari jawaban.

"Bunda, siapa ayah Kei yang sering diceritakan Bunda? Kalau dia sayang sama Kei, kenapa ayah nggak pernah datang untuk Kei?" Tanyanya polos. Mataku menatap Gilang yang sudah ada di ruangan dan mendengar ucapan putrinya.

"Eum ...."

"Keira sayang, kalau Oom benar-benar ayah Keira, Keira senang nggak?" Gilang mendekat dan berlutut di depan Keira.

Gadis kecil itu mengangguk dan bersorak.

"Senang dong, Oom. Keira senang," soraknya gembira.

Kali ini tak sanggup menatap mereka berdua. Hatiku menghangat melihat pemandangan itu. Gilang memeluk Keira dan menggendongnya.

"Sha, kita ke rumahku sekarang," ajaknya masih menggendong gadis kecil kami.

"Tapi ...,"

"Semua akan baik-baik saja, percayalah." Dia mencoba meyakinkanku.

****

Rumah Gilang cukup besar. Aku bahagia akhirnya dia bisa membahagiakan ibunya, ayah Gilang sudah lama tiada, jauh sebelum kami menikah. Aku turun dari mobil menggandeng erat putriku Keira, seolah ingin berbagi keberanian dengannya.

"Ayo masuk, Sha. Kita sudah di tunggu di dalam," ajaknya menggandeng tanganku.

Kami bertiga memasuki rumah itu. Hatiku berdegup kencang menatap ibu dan adik Gilang. Mereka menatapku sinis.

Ku dekati ibu mertuaku, meraih tangan dan menciumnya takzim. Dia hanya menatap sekilas ke arahku, kemudian melihat Keira.

"Keira, salim ke eyang," ujar Gilang menatap lembut pada Keira. Gadis kecilku menuruti perintah ayahnya.

"Selamat ulang tahun, Eyang," ucapnya polos menatap Ibu mertuaku. Kulihat ada senyum dipaksa di bibirnya. Aku tersenyum menanggapi, sambil mengusap kepala putriku.

Tak lama datang Stella dan keluarganya. Nampak sambutan keluarga Gilang sangat antusias. Stella mendapat pelukan hangat dari ibu juga Olive adik Gilang.

Stella, gadis putri pemilik perusahaan tempat Gilang kini bekerja itu menggayut manja di lengannya.

"Mas, aku telepon dari tadi kenapa nggak diangkat sih?" tanyanya manja, sekilas mata kami berserobok.

"Ponselku di mobil, sorry." Risih Gilang menanggapi. Nampak dia mencoba melepas tangan Stella.

"Bunda, kenapa ayah dipegangin terus sama tante itu?" Keira bertanya polos

Aku tak menjawab, hanya kembali mengusap lembut kepalanya. Perasaan tidak nyaman mulai menyapa, nampak mereka semua mengabaikan kami. Menyadari kegelisahanku, Gilang yang sejak tadi terlihat kesal dengan Stella mendekat, erat dia menggenggam tanganku.

"Lepaskan, Gilang. Biarkan kami pulang, Keira, berikan kadonya ke Eyang," ucapku sedikit membungkuk ke arahnya.

Gadis itu mengangguk.

"Eyang, ini buat Eyang dari Keira."

"Oh, iya, terima kasih, ya. Lain kali nggak perlu repot, Sha!" Ibu mertuaku melirik tajam padaku.

"Maaf, saya pamit pulang, Bu. Semoga Ibu sehat selalu. Assalamualaikum."

Setelah bersalaman dengan semua yang hadir, aku meraih tangan Keira mengajaknya pergi.

"Sha, tunggu!" Gilang berlari mengikuti langkah kami.

"Mas Gilang, mau kemana?" Stella terdengar memanggil, aku mendengar suara Ibu juga ikut memanggil. Namun lelaki itu mengabaikannya.

"Sha!"

"Gilang, aku tidak ingin membuat seorang anak durhaka pada ibunya. Kembalilah, bahagiakan ibumu! Biarkan kami pergi," ujarku tanpa menoleh.

"Ayah." Suara Keira terdengar bergetar.

Keira.

Bersambung.

Haishh syediihhh 😭😭😭, nggak kuat mau ngetik lagi, hiks.

Bye bye, colek jika typo ya gaes 😁😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top