Mengalah
Yang ikut hanyuutttt sama kisah ini cung! Hihi, btw saya juga tuh, 😅😢.
Syedih makk ....
VoMen tetep yaak
Happy reading 😍😘
💕💕💕
"Shabrina, dia pergi bukan karena inginnya, tapi ibumu yang mencoba memisahkan kalian!"
Aku menatap Mak Jum tak percaya, kembali aku teringat ucapan Gilang tempo hari. Benarkah ibuku setega itu?
"Benarkah itu, Mak?"
Pelan wanita itu mengangguk.
Kubuang napas kasar, mataku kembali berair.
"Kenapa Mak, kenapa baru cerita sekarang? Kenapa tidak dari dulu saat pertama kali ibu mengusir Gilang dari rumah?" sesalku.
"Maafkan Mak, Sha. Ibumu saat itu melarang, dia tidak ingin kamu tahu jika ini idenya. Hingga sebelum meninggal, ibumu berpesan agar aku menceritakan hal yang sesungguhnya kelak jika dia tiada. Dia sangat menyesal, Sha."
Aku mencoba menenangkan diri. Kupejamkan mata menahan gumpalan rasa kecewa yang mendalam. Ibuku yang menyebabkan semua ini terjadi, ibuku telah mengambil keputusan tentang bahagiaku. Meski akhirnya bahagia menurut beliau tak juga aku dapatkan.
Bukan! Berarti ini semua bukan salah Gilang! Tapi ibuku yang telah membuatnya pergi.
"Apa Mak Jum tahu kalau dulu ibu juga sering ke rumah Gilang untuk mengancam keluarga mereka?" tanyaku menatap lekat laptop di depanku.
"Iya, Sha," jawabnya lirih.
Mendadak udara di kamar terasa menipis, berkali-kali aku menghirup namun tak cukup buatku.
"Mak, aku mohon jangan pernah memberi informasi apapun tentang Keira jika suatu saat di ke sini atau jika Mak bertemu."
"Apa Gilang tahu alamat rumah kita?"
"Dia akan tahu,"
"Baiklah, Sha. Tapi kenapa?"
"Aku malu, Mak. Aku malu dengan Gilang dan keluarganya. Cukup sudah mereka terhina saat itu. Sekarang biarkan mereka bahagia. Gilang berhak mendapatkan kebahagiaan itu," ucapku tegas namun tak bisa membendung tetesan air mata.
"Lalu Keira? Apakah dia juga bahagia tanpa tahu siapa ayahnya?" pertanyaan Mak Jum menusuk hatiku.
"Dia akan bahagia, suatu saat nanti dia akan tahu, Mak. Tapi tidak sekarang, saat ini aku ingin Gilang bahagia, dia sudah cukup menderita saat itu."
Perempuan di depanku itu menarik napas.
"Terserah kamu saja, Sha. Semoga masing-masing dari kalian selalu bahagia." Mak Jum berdiri meninggalkan kamar.
"Mak mau kemana?"
"Sudah hampir jam sepuluh, mau jemput Keira."
******
Seminggu sudah aku tidak bekerja. Hari ini aku mendapat email untuk interview di salah satu perusahaan. Tentu saja aku sangat bersemangat. Setelan tunik biru muda dengan celana biru gelap dan jilbab pastinya senada membawaku berangkat ke tempat interview. Di sana sudah ada beberapa orang yang juga menunggu giliran untuk di wawancara. Meski aku memiliki pengalaman bekerja, namun tetap saja rasa gugup masih menggayut hatiku.
Wawancara selesai, dan bersyukur aku dinyatakan diterima. Mulai besok aku bisa bekerja di perusahaan baru. Dengan wajah cerah aku keluar namun langkahku terhenti ketika seseorang memanggilku.
"Sha, kenapa kamu resign? Kamu sengaja menghindariku?" Gilang berdiri tepat di depanku. Matanya menatapku lembut.
Aku mundur menjaga jarak, namun dia semakin mendekat.
"Kenapa kamu ada di sini?"
"Karena aku mencarimu," tegasnya.
Aku menggeleng cepat.
"Kenapa kamu memata-mataiku? Pergi Gilang! Kita sudah tidak ada urusan lagi. Lanjutkan hidupmu, jangan pernah melihat ke belakang." Aku melangkah meninggalkannya. Namun lagi-lagi dia menahanku dengan tangannya.
"Tolong, lepaskan tanganmu. Katakan apa yang kamu mau?" Mohonku.
"Aku mau kita bicara," tuturnya lembut.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan, semua sudah selesai. Urus saja surat perceraian ...."
"Aku tidak akan pernah menceraikanmu!" Gilang menyela. Ucapannya membuatku mengangkat wajah menatapnya. Sejenak kami saling menyelami rasa melalui netra.
"Kita bicara di luar," ajaknya.
Aku mengikuti langkahnya, dia mengajak ke cafe di samping gedung kantor tempatku wawancara tadi. Sebuah cafe yang nyaman dengan tema vintage. Kami mengambil tempat di sudut ruangan.
"Kamu mau pesan apa, Sha?" tawarnya menatapku. Aku menggeleng pelan. Dia tersenyum. "Baiklah, aku masih sangat mengingat kesukaanmu. Spaghetti saus carbonara?"
Aku tersenyum menanggapi, tak kusangka dia masih mengingatnya.
"Minumnya, masih orange juice?" Sambungnya lagi. Dan aku hanya diam kali ini.
Sambil menikmati musik dan menunggu pesanan datang kami masih saling diam. Berkali-kali kucoba menghilangkan rasa gugupku, namun justru semakin tak menentu.
"Sha, kumohon jangan menghindariku," ujarnya membuka suara.
"Aku tidak menghindarimu, hanya saja ...."
"Hanya apa?"
"Aku tidak ingin menjadi bayang-bayangmu, aku tidak ingin kamu jalan di tempat hanya karena aku," tegasku.
"Kamu bukan bayang-bayangku, kamu adalah bagian dari jiwaku, kemanapun aku pergi kau ada di sini." ujarnya menepuk pelan dadanya.
"Aku tidak ingin kehilanganmu lagi, Sha!" lirihnya.
Tak lama pesanan datang.
"Kita makan siang dulu,"
Kami makan siang, meski dengan suasana kaku, namun aku mencoba santai.
"Kamu mau bicara apa? Bicara lah sekarang!
Kami baru saja selesai makan.
"Siapa Keira?" tanyanya menatapku dalam.
"Akan akan jawab nanti. Apalagi pertanyaanmu?" Otakku berputar memikirkan jawaban apa yang akan aku berikan pada Gilang tentang Keira.
Lelaki itu menggeleng.
"Katakan yang jujur, Sha. Apa yang terjadi setelah kepergianku waktu itu?" lirihnya.
Alunan musik sendu menyapa telingaku. Seolah mengerti situasi hati saat ini. Orange juice di depanku masih tersisa sedikit kucoba habiskan namun tak dapat membasahi tenggorokanku yang seolah kering.
"Sha ...."
"Tidak terjadi apa-apa selain betapa menyedihkannya kondisiku saat itu!" ucapku tanpa menatapnya.
Lelaki itu meraup wajahnya kasar, nampak penyesalan di sana.
"Maafkan aku, Sha. Seharusnya aku membawamu saat itu, tapi aku tidak ingin ibumu bersedih kehilanganmu, aku ...."
"Tak penting lagi itu dibahas saat ini, sekarang semua sudah berubah. Empat tahun berlalu telah merubahmu, demikian juga aku. Lanjutkan hidupmu, Gilang. Urus perceraian kita, kamu berhak bahagia, maafkan kesalahan ibuku." Aku beranjak pergi melangkah meninggalkannya.
"Sha, tunggu!"
Tanpa menoleh kuhentikan langkahku.
"Aku mencintaimu, dan aku tidak akan pernah menceraikanmu! Demi cintaku padamu dan demi anak kita!"
Tubuhku membeku mendengar ucapannya. Siapa yang telah memberi informasi tentang Keira?
"Katakan! Keira anakku bukan?" Gilang berdiri di sampingku.
Aku bergeming tak ingin menatapnya.
"Jangan pernah menghindari pertanyaanku, Sha. Keira putriku kan? Aku sudah tahu semuanya. Aku mencari tahu beberapa hari ini tentangmu dan Keira. Sejak pertama aku bertemu putri kecil kita di Mall waktu itu. Sejak itu aku yakin bahwa Keira adalah putri kita."
"Katakan kenapa saat itu kamu tidak bilang jika kamu hamil?"
Pelan kutatap wajah Gilang.
"Maafkan aku, bisa aku pergi sekarang?"
Cepat tangan Gilang menahan langkahku.
"Kamu tidak akan pergi kemana-mana, aku masih suamimu, Sha!"
Mataku menghangat, tak mampu kutahan air mata yng sejak tadi berebut hendak jatuh.
"Kita duduk dulu. Ayo."
Kembali aku duduk, kali ini Gilang duduk dekat di sampingku.
"Aku hamil tujuh minggu saat kamu pergi, sengaja aku menyembunyikannya karena ingin memberi kejutan di hari ulang tahunmu" ucapku dengan suara serak.
Lelaki itu membuang napas kasar. Sesekali dia mengusap ujung matanya yang nampak berair.
"Maafkan aku, Sha! Maafkan aku." gumamnya pelan mencoba mendekapku dalam pelukannya, namun ku tolak.
Gilang kembali meraup wajah kasar.
"Aku ingin menemuinya, Sha! Aku ingin menemui Keira anak kita," ucapnya bergetar.
Aku diam.
"Kamu pernah menceritakan tentang aku padanya?" tanyanya hati-hati.
Dadaku terasa sesak mendengar pertanyaan lelaki itu.
Tak sanggup membuka mulut aku hanya bisa mengangguk menanggapi.
"Apa dia pernah bilang ingin bertemu ayahnya?"
Kembali aku mengangguk kali ini air mataku semakin deras mengalir. Lembut tangan Gilang mengusapnya.
"Dan kamu tidak ingin memanggilku dengan panggilan yang aku sukai dulu? Mas Gilang?" tanyanya lembut.
Aku menggeleng.
"Kenapa? Apa sudah ada orang yang menggantikan posisiku?" lirihnya.
Aku menggigit bibirku kuat menahan perasaan yang bercampur aduk saat ini.
"Cukup, Gilang. Jangan pernah bertanya itu lagi. Hubungan kita sudah tidak seperti dulu. Biarkan aku hidup dengan Keira, dan lanjutkan hidupmu dengan wanita itu. Kamu pantas bahagia," sergahku sambil menyusut air mata.
"Apa kamu kira aku akan bahagia tanpa kalian berdua? Tidak, Sha! Dulu aku sudah pernah bertindak bodoh, sekarang aku tidak akan melakukan hal yang sama lagi!"
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi, dengar sampai kapanpun aku tak akan melepaskanmu. Aku mencintaimu bahkan lebih dari yang kau kira sebelumnya!" tukas Gilang seraya menggenggam jemari erat jemariku. Dan kali ini aku tak menolak.
Saat kami saling menatap, ponsel Gilang berdering.
"Sebentar, aku angkat teleponnya. Kamu jangan kemana-mana." Dia menjauh nampak bicara serius dengan seseorang. Matanya terus menatapku seolah takut sewaktu-waktu aku pergi.
"Aku mau pulang, ini sudah lewat jam tidur siang Keira, aku khawatir dia menungguku," ucapku saat dia kembali duduk.
"Aku antar, aku juga ingin menemuinya."
"Aku naik motor,"
"Aku bonceng kamu," kembali dia menukas.
"Kamu ke sini ...."
"Aku naik taksi daring, tadi," jawabnya santai.
Kami berdua menuju tempat parkir.
"Naiklah," ujarnya memberi isyarat dengan kepalanya. Ada binar bahagia di matanya.
Ragu aku naik di belakangnya.
"Sudah siap?" Tanyanya.
"Sudah."
"Kamu nggak pegangan di pinggangku?" Dia mulai berani menggoda.
Aku diam, namun aku merasa wajahku seperti kepiting rebus saat ini. Merah!
Dia terkekeh melihatku dari kaca spion. Pelan kami menyusuri jalan menuju rumah.
******
"Bundaaaa," sambut Keira dari dalam rumah. Seperti biasa aku langsung menggendongnya. Mata gadis kecil itu menatap lekat pada Gilang, nampak dia sedang mengingat sesuatu.
"Hai Keira, kita ketemu lagi," sapa Gilang tersenyum hangat.
"Bunda, Oom ini kan yang pernah ketemu di toko buku waktu itu ya?" Wajah Keira menatapku penuh tanya.
"Kita masuk dulu, yuk. Mak Jum kemana?"
Aku mengajak Gilang masuk, sementara Keira masih dalam gendonganku. Kulirik sekilas Gilang terus menatap putrinya.
"Kok baru pulang, Sha? Loh, Nak Gilang?" Mak Jum menatap kami bergantian tak percaya. Wajahnya terlihat bahagia.
"Iya, Mak. Kami ketemu tadi," jawab Gilang menyalami Mak Jum.
"Mak, temani Keira ya, aku mau mandi, penat."
Perempuan tua itu mengangguk.
Dari kamar aku mendengar tawa dan celoteh Keira dan Gilang. Sesekali terdengar nada manja gadis kecil itu padanya. Kini aku semakin bimbang, rasa yang kucoba hilangkan kini perlahan menguat meski rapuh.
Suara Keira tak lagi kudengar, sepi. Bahkan suara Mak Jum tak terdengar. Setelah rapi dengan jilbab instan, aku keluar. Tak percaya dengan apa yang di depanku. Keira terlelap dipangkuan Gilang, demikian juga lelaki itu. Mereka sama-sama tertidur.
Bersambung teman-teman.
Bagaimana? Apakah Gilang bisa kembali menata hidup dengan Shabrina dan membesarkan Keira berdua menjadi keluarga yang utuh?
Stay tune.
Colek jika typo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top