Kenangan (terindah)?
Suka dengan ceritanya?
Silahkan VoMen yaa .... 😊
💕💕
Aku, Mak Jum dan Keira, kami bertiga menghabiskan akhir pekan dengan berjalan-jalan di Mall, belanja dan tentu saja memuaskan perut dengan menikmati kuliner.
"Bunda, ayo kita ke toko buku, beli pensil warna."
"Oh iya, kita belum beli ya, ayo."
Gadis kecilku itu antusias mengambil beberapa buku untuk seusianya dan tentu saja pensil warna yang dia maksud.
"Mak, tolong temani Kei ya, saya ke bagian novel," ujarku pada Mak Jum.
Sudah lama sekali aku meninggalkan hobi membaca novel. Sejak menikah hingga saat ini.
Buatku, semua kisah di sana hanya mentertawakan derita. Andai kisahku ini berakhir seperti dalam novel-novel romance yang kubaca, pastilah berakhir indah.
Andai cinta sejati itu ada, pastilah kisah ini akan berakhir bahagia. Tapi sayang semua itu bullshit! Tak ada cinta sejati, tak ada kisah syahdu mendayu yang indah seperti dalam tulisan mereka. Aku mendesah jengah.
Mataku menyapu setiap rak berisi berbagai macam genre cerita. Tak satupun kini yang bisa menggugah selera membacaku. Kini bagiku semua hanya menjual mimpi yang tak berkesudahan sama seperti tontonan sinetron yang hadir setiap hari di layar kaca.
Kuurungkan niat untuk mengambil salah satu diantaranya, lalu kembali menemui Mak Jum dan Keira.
Namun langkahku berhenti melihat siapa yang tengah bercanda dengan putri kecilku.
Nampak Mak Jum membiarkan mereka berdua berinteraksi. Sedikit aku bersembunyi di balik rak buku yang berjajar.
Tenggorokanku mengering menyaksikan kehangatan mereka berdua. Gilang, lelaki itu tersenyum hangat menatap Keira. Tak bisa kucegah tetesan air dari mataku. Andai kami masih bersama, mungkin duniaku tak hanya hitam putih, dia pasti akan seindah pelangi. Namun kadang hidup tak selamanya berwarna, kita harus bisa menikmati keindahan meski hanya hitam dan putih. Segera kuusap pipiku.
Cepat kudekati Keira, meraih tangannya.
"Kita pulang, ayo Mak Jum!"
Gilang menatapku, segera kupalingkan wajah ke arah lain.
"Bunda, tapi Kei belum selesai milihnya."
"Besok kita ke sini lagi, sayang. Sekarang sudah siang," jawabku beralasan.
"Sha, siapa Keira?" tanya Gilang mencoba menahanku dengan tatapannya.
"Ayo, Mak Jum." Aku berlalu tanpa memberi jawaban padanya.
"Shabrina, kamu sudah menikah lagi?" tanyanya menjajariku. Mendengar ucapannya kekesalanku memuncak.
"Mak, tolong bawa Keira sebentar."
Setelah Mak Jum pergi.
"Maaf, Pak Kenzo, siapa Keira dan apa yang terjadi dengan saya bukan urusan Anda."
"Tapi status kita .... "
"Urus segera perceraian kita! Selamat siang."
Aku melangkah meninggalkan lelaki yang selalu membawa hatiku itu. Dengan menahan airmata yang siap jatuh, kuhampiri Keira dan Mak Jum mengajak mereka pulang.
Sepanjang jalan aku diam, sementara Keira justru berceloteh tanpa jeda. Hingga akhirnya kami sampai di rumah.
"Bunda, Kei ke kamar ya, mau nyobain pensil warna baru," ujarnya tersenyum cerah. Aku mengangguk.
Aku menuju dapur mengambil air dingin di kulkas meminumnya. Melihat kegalauanku, Mak Jum mendekat.
"Maaf, Sha, tadi benar-benar nggak di sengaja. Gilang masih ngenalin wajah Mak."
Aku diam melanjutkan minum.
"Mak bilang kalau Keira .... "
" Nggak, Sha."
"Syukurlah, dia tidak perlu tahu, Mak."
"Kasihan Gilang, sebetulnya dia anak baik." Mak Jum meninggalkanku sendiri. Aku mengernyit mendengar ucapannya.
Flash back.
Sore menjelang, aku bersiap menanti kedatangan Gilang. Sekalian ingin memberinya kejutan tentang kehamilanku.
Sengaja kupilih hari ini, karena tepat hari ulang tahunnya. Tentu saja itu akan sangat membahagiakan.
Aku berdandan sedemikian rupa, tak lupa aroma jasmine kesukaannya aku semprotkan ke seluruh tubuh. Sudah dua jam menunggu, namun Gilang tak kunjung datang. Berulang kali menghubungi ponselnya tak kutemui jawaban. Aku mulai resah.
"Kamu nungguin Gilang?" ibu duduk di sebelahku.
"Iya, Bu. Kenapa sampai menjelang isya' dia belum datang, ya? Ponselnya juga mati." Aku mulai putus asa.
"Suamimu itu memang tidak bisa diandalkan! Baguslah kalau dia tidak pulang!" sergah ibuku sinis.
"Ibu bicara apa, sih?" protesku menatap ibu.
"Dia bisa kasi apa ke kamu Sha? Kalian sudah tiga bulan menikah, masih ngenger tinggal di sini. Rumah, tempat tinggal itu adalah tanggung jawab suamimu sebagai lelaki! Bukan malah tinggal di rumah mertuanya dan menikmati semua fasilitas di rumah ini! Apa nggak malu dia?"
"Astagfirullah, Ibu. Sampai hati ibu berkata seperti itu pada suamiku." Mataku mulai panas menahan timbunan air yang hendak tumpah.
"Shabrina, seandainya waktu itu kamu menikah dengan Bima anak Pak Arya, ibu yakin kamu sekarang sudah punya rumah besar dan bagus. Masa depanmu dan anak-anakmu terjamin!"
Aku membuang napas kasar, lagi-lagi ibuku mengungkit masalah harta.
"Ibu, kebahagiaan itu bukan semata karena harta atau kekayaan, tapi hati dan perasaan, Bu. Shabrina tidak mencintai Bima, tapi mencintai Mas Gilang." Kembali aku memberi alasan yang sama seperti saat hendak menikah dulu.
"Cinta? Emang cinta bisa bikin kamu kenyang? Bisa bikin kamu punya rumah? Bikin masa depanmu cerah?" Ibu mengucap sinis sambil menatapku.
Aku diam, percuma mendebat ibu, tak akan ada ujungnya. Sementara waktu semakin merambat naik.
Aku terduduk lemas di pembaringan. Kuraba pelan perutku, berharap yang di dalam sana menguatkanku.
Mataku tertumbuk pada amplop di bawah lampu tidur. Nampak tulisan tangan Gilang. "Shabrina, percayalah aku mencintaimu, sangat mencintaimu, tunggu aku!"
Dengan menyusut air mata, kubolak-balik kertas itu berharap menemukan petunjuk keberadaan Gilang.
Namun sia-sia, tak kutemui satu petunjuk pun. Hati ini hancur, seluruh hidup seakan berakhir hari itu. Tak satu pun orang yang bisa mengerti aku.
Setelahnya hari-hari semakin kelam. Perutku semakin membuncit. Rencana ibuku hendak menikahkan aku gagal, karena mana ada lelaki yang mau dengan perempuan hamil dan itu bukan darah dagingnya!
Bisik-bisik dan kasak-kusuk tetangga mulai terdengar. Tak sedikit yang memandang miring. Semua sangat menyakitkan buatku juga buat keluargaku.
Dalam keterpurukan bukan aku tidak mencari Gilang, aku terus mencari informasi tentangnya, namun lagi-lagi nihil. Rumahnya kosong tak berpenghuni, dan tak ada yang tahu di mana mereka tinggal.
Aku hampir putus asa. Depresi, frustrasi. Ucapan dan sindiran dari tetangga menjadi santapan hari-hari keluarga kami. Air mata tak henti menyapa. Akhirnya kami memutuskan pindah.
*****
Hampir dua bulan aku selalu bersinggungan dengan Gilang, namun aku selalu menghindar setiap dia ingin mengajakku berbicara di luar urusan kantor. Meski kutahu dia frustrasi dengan penolakanku. Aku tidak mau urusan pribadi menjadi boomerang yang membuat karir ini hancur. Pekerjaan sebagai accounting membutuhkan konsentrasi tinggi, salah sedikit seluruh laporan akan kacau.
"Tari, aku pingin resign!" ujarku saat kami berdua menikmati makan siang di kantin.
"What!" Tari memekik keras membuat hampir semua yang di kantin menoleh pada kami.
"Ish! Nggak usah berlebihan gitu ah!" tegurku.
"Kamu becanda, Sha?"
"Nggak, aku serius!"
"Tunggu, kenapa tiba-tiba kamu punya pikiran seperti ini?" Tari menatapku heran.
Segelas air jeruk dingin kuminum habis.
"Nggak ada apa-apa, hanya ingin suasana baru aja," jawabku santai.
"Tapi kamu ...."
"Tari, bisa tinggalkan kami berdua?" Tiba-tiba Gilang muncul di tengah-tengah kami. Aroma tubuhnya sama seperti empat tahun yang lalu.
Tari menatapku bingung, sambil mengangguk dia mengikuti perintah Gilang.
Lelaki itu duduk tenang di depanku. Matanya menatap intens. Tak ingin ada kontak mata dengannya aku membuang pandanganku ke arah lain.
"Tolong! kali ini jangan menghindar. Aku merindukanmu, Sha!" ucapnya dengan suara bergetar.
Hatiku serasa dihujani puluhan sembilu mendengar ucapannya. Merindukan aku? Tanpa ada usaha mencari? Omong kosong! Meski di dalam hati aku juga sangat merindukannya, namun hatiku sudah beku. Rasa sakit yang dia tanam sudah semakin dalam. Meski aku bahagia mengetahui dia baik-baik saja, namun saat melihatnya hampir setiap hari bersama wanita itu cukup menyiksa batinku.
"Sha, tatap mataku!" Tangannya mencoba menyentuhku, namun cepat aku menghindar.
"Sha, maafkan aku. Aku pergi waktu itu bukan kemauanku, percayalah! Aku pergi hanya ingin membuatmu nyaman, berharap kamu tetap mencintaiku, dan jika aku kembali kita bisa bersatu lagi, membangun mimpi yang pernah kita rajut. Tapi saat aku kembali, aku tidak menemukanmu!"
Aku bergeming.
"Kamu tahu rasaku saat itu? Hancur, Sha! Aku hampir putus asa. Kamu pergi membawa separuh hatiku!" Gilang masih berkata dengan suara bergetar.
"Kamu tahu, Sha? Aku pergi karena permintaan ibumu. Beliau memintaku untuk pergi meninggalkanmu, dengan alasan aku tak akan pernah bisa membahagiakanmu. Dia terus memintaku hampir setiap hari semenjak pernikahan kita. Dan sering juga datang ke rumah untuk mengancam ibuku. Lalu aku bisa apa, Sha? Bicara padamu dan menceritakan yang sesungguhnya? Itu bukan pilihan tepat! Aku harus menjaga hubungan baik antara ibu dan putrinya, bukan?"
Mendengar penjelasan panjang darinya, aku menoleh dan menatap tajam ke arahnya.
"Apa? Ibuku? Mas eh maksudku kamu bilang ibu yang memintamu pergi?"
Pelan Gilang mengangguk, baru kali ini kami saling menatap dari arah sangat dekat. Jelas kulihat selasa kerinduan di sana. Mencoba tidak larut dengan situasi, aku menggeleng memejamkan mata.
"Jangan bicara buruk tentang ibuku. Beliau memang menentang pernikahan kita, tapi dia tidak akan berbuat seperti itu." ucapku kembali melempar pandangan ke tempat lain.
"Sha, itu yang aku pikirkan, jika aku mengatakan yang sebenarnya saat itu, apa kamu akan percaya. Maka aku putuskan untuk pergi, mengikuti apa yang diinginkan ibu. Mencoba bekerja keras untuk kembali menjemputmu. Tapi .... "
"Cukup! Jangan diteruskan. Sudah waktunya bekerja, permisi, Pak." Aku beranjak dari duduk. Namun cepat tangannya menahanku.
"Tunggu, Sha! Aku mencintaimu, masih sangat mencintaimu. Katakan, siapa Keira!"
"Dia ...."
"Kenzo! Aku telepon dari tadi kenapa nggak dijawab? Ada apa ini?" tiba-tiba gadis cantik waktu itu muncul, heran melihat kami.
"Eum, aku sedang ada urusan sebentar, Stella. Bisa aku minta kamu tunggu di ruanganku?" Gilang berucap jengah. Sementara tangannya tetap menahanku.
Dengan tatapan heran gadis bernama Stella itu pergi.
"Sha! Tolong jangan diamkan aku."
"Dia calon istri Anda, bukan? Selamat Pak Kenzo. Dan saya tak akan lagi menunggu seperti yang Anda tulis di surat itu tempo hari. Selamat siang!" Kuat aku tarik tanganku dari genggamannya, berlari menuju kantor.
*****
Aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Gilang tentang ibuku. Sepanjang hari tadi berbagai pikiran berkecamuk. Apa benar ibu setega itu padaku. Tapi aku tahu seperti apa Gilang, dia lelaki jujur yang pernah aku temui, meski kadang rapuh saat itu karena kondisi perekonomian yang kurang beruntung.
Malam ini aku mencoba kembali mengirimkan surat lamaran ke beberapa kantor yang membutuhkan tenaga accounting. Tekadku bulat untuk resign dari perusahaan yang telah membesarkanku.
Kenyamanan hati lebih penting daripada harus bertemu dengan Gilang dan wanita bernama Stella itu. Ah, mendadak aku merasa sangat pongah. Mencintai lelaki yang jelas telah menghapus diriku di hidupnya.
Tapi bukankah dia bilang masih mencintaiku? Entahlah terkadang bibir memang tak selalu sejalan dengan hati. Jika memang Tuhan masih menjodohkan aku dengannya, maka tak ada jalan yang sulit.
Aku sendiri kini tak berharap banyak. Sadar jika hidup tak seindah dalam kisah novel romantis yang berakhir happy ending. Buatku, hidup harus terus berjalan. Kebahagiaan Keira adalah prioritas. Sedang aku? Tentu saja akan bahagia jika Keira bahagia!
Kubuka laci, disana tersimpan rekaman kisah indah dengan Gilang. Foto-foto pernikahan kami, juga cincin yang dia berikan saat itu. Dan tentu saja coretan tangan pesan sebelum dia pergi.
Aku mendesah jengah, setelah satu-satunya kutatap foto-foto kami. Kembali tanganku membuka kertas pesannya. Kebaca lalu kuremas dengan hati hancur, dan kulemparkan ke tempat sampah.
Jika dia mencintaiku dan memintaku menunggu, kenapa dia menikmati kebersamaan dengan Stella? Jika aku membencinya, kenapa saat ini aku merasa cemburu pada wanita itu. Aku tergugu, terisak menahan gemuruh rasa yang menggumpal di dada.
*****
"Kamu ngga pergi ke kantor, Sha?" tanya Mak Jum heran melihatku masih memakai baju rumah. Malas aku menggeleng.
"Mak, tolong Mak antar Keira pagi ini, ya."
Mak Jum mengangguk, namun matanya tak lepas menatapku penuh tanya.
Setelah melepas Keira berangkat sekolah, aku kembali ke kamar dan mulai mengirimkan surat lamaran lagi. Hari ini aku resmi mengundurkan diri. Dan surat pengunduran diriku telah aku berikan lewat Tari. Karena jika aku langsung bertemu Gilang, bisa dipastikan dia akan mempersulitku.
Kudengar Mak Jum sudah kembali, dia mengetuk pintu kamar.
"Masuk, Mak."
Perempuan itu masuk, wajahnya masih seperti tadi, penuh tanya.
"Kamu kenapa, Sha?"
"Nggak kenapa-kenapa, Mak."
"Kamu sakit?"
Aku menggeleng tersenyum.
"Lalu kenapa nggak ke kantor? Apa ada hubungannya dengan Gilang?" tanyanya mencoba menebak.
Aku diam, menunduk.
"Aku resign, Mak." jawabku lirih.
"Resign?" Mak Jum balik bertanya tampak terkejut.
Aku mengangguk pelan.
"Kamu masih mencintainya, Sha?"
Dengan kening mengernyit aku menatapnya. Kenapa Mak Jum membahas perasaanku?
"Mak, ini tentang ketenanganku."
"Jawab saja pertanyaan tadi, apa kamu masih mencintai Gilang?"
"Tidak ada gunanya lagi perasaan itu, Mak. Selama ini aku bertahan menunggunya, namun sekarang tidak lagi. Tidak ada gunanya jawabanku nanti," jawabku dingin.
"Shabrina, dia pergi bukan karena inginnya, tapi ibumu yang mencoba memisahkan kalian!"
Aku menatap Mak Jum tak percaya, kembali aku teringat ucapan Gilang tempo hari. Benarkah ibuku setega itu?
"Benarkah itu, Mak?"
Pelan wanita itu mengangguk.
Bersambung dulu😀
Cerita ni agak rumit yak, hehe, ngga biasa. Ya sudah terima kasih sudah jadi pembaca setia.
Semoga bisa menikmati alurnya.
Seperti biasa, colek jika typo.
Luv you all readers 😊😍😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top