Gilang


Kolaborasi with Inka Aruna /Inka Natsuki /Nona Aruna (nama elu banyak banget coy😂)
**
.
.
Udara dingin masih menyusup ke dalam kamar, semalaman hujan mengguyur, dan aku masih di sini, sepi sendiri. Rindu sangat akan kehadiran seseorang yang namanya masih tersemat di dalam hati.

Seorang wanita yang pernah kutinggalkan tanpa pesan apapun selain tulisan, kalau aku begitu mencintainya. Ia tak akan pernah tahu kenapa aku sampai hati meninggalkannya.

Semua karena harga diri keluargaku.

Aku kembali menarik selimut, seusai menunaikan salat subuh, rasanya tubuh ini masih butuh untuk direfresh. Karena hari ini adalah hari yang istimewa untuk karierku.

Saat mata ini hendak terpejam lagi, aroma masakan Ibu yang masuk lewat lubang angin pintu membuatku bangkit. Sepertinya Ibu masak sarapan istimewa juga.

Kutinggalkan ranjang yang masih berantakan, bergegas menuju dapur, Ibu sedang memasak sambil bersenandung.

"Wanginya ... Masak apa Bu?" tanyaku mendekat.

Ibu menoleh dan tersenyum.
"Ini, ibu buatkan pepes tahu teri sama capcay kesukaanmu. Ada tahu tempe goreng juga."

"Wah enak nih." Aku menyomot tahu yang baru saja diangkat dari minyak panas.

Dengan tisu kupegang agar tidak panas, dan mudah digigit.

"Mas, ciyeeee yang naik jabatan," ledek adik perempuanku yang kelihatan baru bangun tidur.

"Alhamdulillah ... Ini juga kan berkat doa kalian," kataku.

"Mau kopi, Mas?" tanya adikku lagi.

"Boleh, kopi hitam satu sendok teh dengan gula dua sendok teh."

"Siap, bos!" Oliv adikku terkekeh.

Sambil menunggu kopi dan masakan Ibu matang, aku bergegas untuk mandi. Mandi ala bebek yang tak pakai lama, cibang cibung cuci muka, pakai sabun sikat gigi selesai.

***
.
.
Selesai mandi, kini aku sudah berdiri di depan cermin besar, sebuah kemeja abu-abu dengan dasi sudah kupasang rapi, sebuah jas hitam kini akan menemani hari-hariku.

Kusisir rambutku dengan olesan gel rambut agar terlihat klimis, kumis sudah kucukur, hanya menyisakan jambang tipis sebagai hiasan agar wajahku terlihat berwibawa dan berkharisma.

Andai saja rumah tanggaku dapat kupertahankan, mungkin  Shabrina akan bahagia melihatku sukses seperti sekarang, apalagi Ibu mertuaku, pasti dia tak akan lagi menghina keluarga kami.

Aku menghela napas pelan.

"Mas, sarapan!" Sebuah panggilan dari balik pintu mengejutkan lamunanku.

Aku bergegas ke ruang makan, di sana Ibu dan adikku sudah menunggu begitu juga dengan secangkir kopi yang kuminta tadi kepulan asapnya sudah membuat candu.

Kuseruput pelan kopi hitam, lalu Ibu sudah mengambilkan sepiring nasi beserta lauknya.

"Makan yang banyak, biar kuat. Hari ini hari pertamamu bekerja sebagai orang penting. Ibu bangga denganmu, Nak. Semua yang pernah kita jalani selama ini akhirnya membuahkan hasil." Ibu tersenyum ke arahku.

"Iya, Bu. Terima kasih, semua juga berkat doa Ibu," kataku lirih.

"Lalu bagaimana hubunganmu dengan Stella?" tanya Ibu.

Stella adalah wanita yang dijodohkan Ibu untukku, Ayahnya adalah pemilik perusahaan yang kini kupegang. Ibu dan Ayah Stella bersahabat sejak lama. Aku menerimanya karena ingin memperbaiki kehidupan keluarga kami.

Kami sudah lelah selalu direndahkan oleh orang, terutama keluarga Shabrina, istriku. Aku dulu hanya bekerja sebagai staf biasa, karena pekerjaanku bagus, akhirnya bos besar menaikkan jabatan, juga menjodohkanku dengan putri kesayangannya.

"Baik, Bu," jawabku malas.

"Ya sudah, habiskan makannya, nanti telat. Bawa mobil kan?"

"Enggak lah, naik ojol aja."

"Apa? Masa bos naik ojol?" celetuk adikku hampir saja ia tersedak.

"Biar lowprofile ...," jawabku.

"Jaga imej dikit lah, Mas. Baru pertama jadi bos juga."

"Loh, justru kesan pertama itu yang harus ditampilkan, bukan sebagai bos yang sok berwibawa, arogan, atau sebagainya. Justru Mas ingin menunjukkan, meskipun jabatan Mas di sana sebagai bos, tapi di luar sama. Sama-sama hamba Allah."

"Iya, lah. Terserah kang Mas Gilang saja." Adikku mengalah.

Selesai sarapan, aku dan adikku pamit, kalau Oliv membawa sepeda motornya untuk berangkat kerja, sementara aku menunggu ojek online yang kupesan. Sebenarnya bensin mobilku habis. Bisa telat kalau harus mengantri bensin terlebih dahulu.

***
.
.
Sesampainya di kantor. Seorang wanita menyambut kedatanganku, wajahnya sedikit terkejut saat melihat aku turun dari motor ojol yang kutumpangi.

"Bapak, naik ojol?" tanyanya heran.

"Kenapa? Ada masalah?" tanyaku.

"Owh ... Enggak, nggak ada masalah. Heran aja," jawabnya gugup, seraya tersenyum.

Aku mengangkat bahu, ia lalu mengajakku ke sebuah ruangan, tertulis jelas di pintu kalau ruangan itu adalah ruang meeting. Belum sempat aku merapihkan penampilanku agar terlihat lebih keren. Tapi ya sudahlah, sudah banyak yang menungguku di ruangan itu.

"Selamat pagi," sapaku

Beberapa pasang mata menatapku kagum, wajahnya nampak bersinar, apalagi para karyawan wanitanya. Seperti tak pernah melihat pria tampan saja.

Hanya satu wanita yang sedari tadi menunduk, tak memperhatikanku, wanita berjilbab abu-abu itu terus saja membuang muka, aku maklum, memang biasanya wanita berjilbab akan menjaga pandangannya dari laki-laki yang bukan mahram.

Aku memperkenalkan diri secara singkat, juga perjalanan karierku. Semua berdecak kagum saat mendengar aku berbicara.

Satu persatu kuperhatikan wajah-wajah karyawanku, mereka yang kelak akan membantu menyelesaikan tugas, paling tidak aku harus bersikap baik dan ramah pada mereka.

Sekilas aku melihat wanita berjilbab itu, dan sepertinya ia mengenaliku, siapa dia?

Astaga, hampir saja jantungku nyaris copot, saat tak sengaja mata kami bertemu, mata itu, mata yang selalu menatapku setiap malam, bola mata yang indah dengan bulu mata lentik, milik wanita yang selama ini aku rindukan. Itu kamukah, Sayang? Shabrinaku. Pantas saja sedari tadi kamu selalu menunduk, menghindari tatapanku.

Rasanya rindu ini membuncah, seperti kembali menemukan berlian yang tengah hilang. Ingin sekali kurengkuh tubuhnya, dan tak akan kulepas lagi. Mungkinkah aku masih bisa mendapatkan hatinya lagi?

***
.
.
Seminggu sudah, aku bekerja satu kantor dengan Shabrina, kami tak pernah saling sapa. Ya pekerjaan membuatku tak bisa bergerak bebas, terlalu banyak berkas yang menumpuk untuk segera aku periksa dan ditanda tangani.

Makan siang tiba, semoga saja Stella tak datang ke sini, aku ingin berbicara pada Shabrina, penasaran selama ini ia pergi ke mana. Bertahun-tahun aku mencarinya, tak pernah kutemukan lagi tempat tinggalnya, bahkan kabar keluarganya pun tak kudapatkan.

Aku mengintip dari balik pintu ruangan, ia terlihat sedang berbincang dengan rekan kerjanya, Tari. Mereka memang begitu akrab.

Tari sudah ke luar, Shabrina tidak ikut, ini kesempatanku untuk mendekatinya lagi, karena seluruh karyawan sudah ke luar makan siang. Kondisi sepi.

"Sha, aku mau bicara," kataku yang seketika mengejutkannya. Karena posisiku kini sudah berada di depan meja kerjanya.

"Sha, aku bicara denganmu. Kenapa kau seolah tidak mengenalku?" ujarku lagi.

"Maaf, Pak. Saya sedang banyak pekerjaan," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.

"Aku menunggumu sore nanti di ruangan, sebelum kamu pulang," kataku sambil berjalan kembali ke ruangan. Meninggalkannya.

Maafkan aku, Sha. Aku hanya ingin bertanya kemana kamu selama ini.

Aku menghubungi assistenku Linda untuk memanggil Shabrina ke ruanganku. Mungkin kalau orang lain yang menyuruh, ia akan menurut.

Benar saja tak berapa lama kemudian suara pintu diketuk, aku bangkit dan segera membukakan pintu.

Kulihat wajahnya yang nampak cemberut, sungguh itu malah membuatku semakin gemas.

"Terima kasih kamu mau menemuiku, masuklah, Sha!" pintaku.

Ia berjalan menunduk di hadapanku. Kami memang bagai atasan dan bawahan, padahal masa lalu telah menyatukan kami.

"Duduklah," pintaku lagi.

Dia menurut, meski dengan wajah yang ditekuk bagai uang lecek.

Sejenak kami saling diam, mencoba menghilangkan perasaan tak menentu aku melihatnya yang gugup sedang memilin ujung jilbab. Deru degup jantungku mulai tak beraturan, merasa terjebak di masa lalu. Mendadak semua kenangan itu kembali menyeruak ke permukaan.

Aku tahu, kamu pasti marah, sedih, dan kecewa karena aku telah meninggalkanmu begitu saja, tapi apakah ini waktu yang tepat untukku menceritakan semuanya, sebab mengapa aku meninggalkanmu.

Belum sempat aku bicara, ia sudah bangkit dari duduknya. Kucengkeram erat tangannya, ia memberontak.

"Jangan dekati aku, biarkan aku pergi!" Shabrina mencoba melepaskan tanganku.

"Kamu tidak bisa pergi begitu saja, Shabrina. Sebelum kamu jelaskan kemana kamu selama ini!" Aku masih berusaha menahannya.

"Lepasin! Kamu menyakitiku," pekiknya seraya meringis.

"Maaf, aku hanya ingin mendengar jawabanmu." Perlahan aku melepaskan cengkeraman tanganku.

"Kemana aku pergi bukan urusanmu! Kenapa kamu bertanya padaku? Seharusnya kamu berkaca sebelum menanyakan hal itu!" Ucapan itu keluar dari bibir mungilnya, aku mengernyit, ya aku tahu, harusnya aku menceritakan ini padamu.

"Sha, aku ...." Aku akan mulai bercerita.

Tok tok tok.
Suara pintu diketuk.
"Sial!" umpatku. Siapa sih, menggangu saja.

Aku berjalan ke arah pintu. Mendengus pelan melihat siapa yang datang, Stella. Mengapa ia harus datang di waktu yang tak tepat.

"Maaf, Pak Kenzo, saya harus segera pulang. Permisi." Dengan sedikit berlari Shabrina pamit meninggalkanku.

Aku hanya dapat menatap punggungnya yang menjauh, maafkan aku, Shabrina.

***
.
.
Malam harinya, selepas salat Isya, kami berkumpul lagi di ruang makan.

Kali ini Ibu masak opor ayam dan juga orek tempe kesukaanku. Tiada hari tanpa tempe. Sepertinya makanan itu sudah mendarah daging di keluarga kami, menjadi saksi bisu akan kisah perjalanan hidup.

"Bu, aku ingin bicara, kalau aku satu kantor dengan Shabrina," kataku.

"Uhuk." Ibu tersedak. Segera kuambilkan ia segelas air. Diminumnya perlahan.

"Maaf, kalau membuat Ibu kaget," kataku lagi.

"Sudahlah, lupakan dia! Sekarang kamu jalani kehidupanmu tanpa bayang-bayangnya, sudah cukup keluarga kita dihina di masa lalu, kalau ingat itu, seakan luka yang telah lama kering terbuka lagi, sakit, Nak. Hati Ibu sakit." Mata Ibu mulai berkaca-kaca.

Tak tega memang rasanya melihat orang tua yang tengah membesarkanku itu menangis dan bersedih lagi. Tapi, jujur dari dalam lubuk hati yang paling dalam, aku masih sangat mencintai Shabrina.

Apa yang harus aku lakukan? Akankah cinta yang telah lama hilang itu bisa kudapat lagi tanpa harus melukai hati Ibu.

"Udah sih, Mas. Ngapain mikirin mbak Shabrina lagi, udah masa lalu. Palingan juga dia udah hidup enak sama suami barunya." Adikku mulai menjadi kompor.

Tapi aku yakin, kalau Shabrina masih mencintaiku, entah mengapa aku merasa kalau dia belum menikah lagi. Tak ada seorangpun yang berhak menggantikan posisiku sebagai suaminya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top