8. The Wedding

Setelah seminggu pertemuan terakhir mereka, hari itu Enoch dan Mutia kembali bertemu untuk pengambilan foto pranikah. Bukan sesuatu yang menyenangkan untuk Enoch sebenarnya, karena dia tak pernah merasa nyaman untuk berada di depan kamera. Sedangkan Mutia kini sedang menghemat senyumnya. Ide ini tentu saja ide Linda dan Murnita, kedua wanita inilah yang bersemangat mempersiapkan pernikahan anak-anaknya. 

"Nggak ada pose mesra," Mutia ingat petuah Ayahnya ketika menelpon pagi tadi, yang kemudian wanita itu sampaikan kepada Enoch juga fotografer yang akan memotretnya siang ini. Enoch hanya mengangguk sementara raut kecewa malah ditampakkan oleh sang fotografer.

Sebenarnya mereka ingin mengambil foto outdoor di tepi danau buatan, tapi baru beberapa pose, gerimis datang. Memaksa mereka untuk menyewa salah satu sudut restoran yang ada di area itu. Beberapa pose diambil, dan sesuai pesan Agus, tak ada adegan berpelukan ataupun yang lain. Tapi sang fotografer tetap mampu mengarahkan gaya agar menimbulkan kesan romantis dan memiliki cerita.

Fotografer meminta mereka duduk berdampingan di sebuah kursi panjang, dengan arah pandangan ke sisi yang berlawanan.

"Mas, bisa geser sedikit lebih dekat ke Mbak Mutia? Kurang bagus kalau terlalu jauh," ujar sang fotografer sambil memberi aba-aba dengan tangannya. Enoch hanya bergeser beberapa senti. Fotografer kembali membidik melalui view finder, "Dekat lagi bisa, Mas? Tenang, Mbak Muti nggak gigit kok!"

Ucapan itu sontak menimbulkan tawa dari Mutia, bukan hanya tawa kecil, tapi tawa yang membuat Mutia mengatur napasnya. Ada perasaan lega di dada Enoch mendengar suara tawa Mutia, putri es yang sedari tadi pagi dijumpainya sudah menghilang, kembali pada Mutia yang ceria.

"Dia nggak tau aja," ada senyum rahasia di nada bicara Mutia, kalimat itu hanya didengar oleh Enoch karena fotografer berdiri agak jauh dari mereka.

"Aku minta maaf, peruntungan aku jelek banget minggu lalu," Enoch berkata pelan sambil memegang bibirnya, terbayang perih bekas gigitan Mutia yang baru hilang setelah hari keempat, tapi juga rasa vanilla. Enoch menggeleng pelan.

"Ketika mengambil keputusan nanti, tolong pertimbangkan pendapatku, okey?" ujar Mutia tenang, wajahnya kini lebih santai ketika menghadap kamera.

##

"Sah!" seru para hadirin yang menyaksikan akan nikah Enoch dan Mutia. Agus masih menjabat erat tangan Enoch sampai beberapa saat, dan Enoch menatap ayah mertuanya tanpa goyah. Sebuah beban berat telah berpindah ke bahu Enoch meskipun tampaknya Agus masih belum rela.

Ada rasa yang mengembang di dada Enoch, menyesakkan hingga jantung dan meremas lambungnya. Dia sadar kini hidupnya bukan hanya tentang dirinya sendiri, dia bertanggung jawab atas kehidupan orang lain mulai hari ini. Dia telah memilih untuk mengambil tanggungjawab itu, sebuah pilihan penuh kesadaran.

Haru merebak dalam di Mutia, membuat tenggorokannya tercekat sehingga sulit bernapas. Kini bertambah satu lagi orang yang akan mendapatkan baktinya. Surga terasa dekat jika dia bisa menjalankan pengabdiannya. Tapi dia tahu, tak pernah mudah mendapatkan surga jika usahamu biasa saja.

##

Enoch mandi ketika Mutia sibuk melepas satu persatu aksesoris kebaya yang digunakan untuk resepsi pernikahan mereka. Resepsi telah selesai setengah jam lalu, dan sekarang adalah malam pengantin mereka. Kupu-kupu memutuskan mengadakan pesta di dalam perut Mutia dan dia yakin jika makeupnya telah terhapus mukanya akan semerah kepiting rebus.

Ketika Enoch sudah keluar dari kamar mandi dengan menggunakan mantel mandi, Mutia segera masuk dari pintu yang baru dilewati suaminya. Tak berani memandang secara langsung. Kikuk. Enoch hanya tersenyum ketika pintu berdebam karena terlalu buru-buru ditutup.

Enoch telah memakai piyamanya ketika pintu kamar mandi dibuka. Makeup Mutia sudah dihapus, dan wanita itu mengenakan mantel mandi. Tapi Enoch tahu istrinya itu belum mandi karena rambutnya masih terlihat tersusun rapi.

"Aku dapet!" ujar Mutia, kesal.

"Dapet?" Enoch sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan wanita itu, dan Mutia hanya memutar bola matanya makin kesal.

"Dapet, haid, periode, mens, mentruasi. Dapet!" Mutia tidak sabar, butuh beberapa detik untuk Enoch akhirnya mengerti, dan dia hanya ber-O.

"Lalu?" kembali Enoch bertanya, tapi ketika melihat gelagat Mutia yang sepertinya akan meledak lagi, buru-buru dia memikirkan pertanyaan lain. "Biasanya berapa lama?"

"Sepuluh sampai empat belas hari," Mutia membuang pandangannya. Dia tak mempersiapkan diri untuk ini. Dia tahu jadwal menstruasinya selalu maju, tapi ini lebih cepat dari biasanya. Mungkin perpaduan stress persiapan pernikahan dan kelelahan membuat siklusnya bergeser. "Aku nggak punya pembalut."

"Terus?" Enoch sama sekali tak pernah berhubungan tentang hal-hal seperti ini, tak tahu apa yang harus dilakukan.

"Tolong belikan di minimarket depan hotel. Yang ekstra slim, bersayap, panjang tiga puluh senti." Mutia segera membalikkan badan dan menutup pintu kamar mandi dengan kencang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top